Merancang Korupsi dari Ranjang

Sabtu, 11 Juli 2020 - 08:29 WIB
loading...
Merancang Korupsi dari...
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengungkapkan, pasutri terjerat korupsi bagian dari cerminan politik dinasti atau oligarki. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Dinasti politik tak pernah berakhir baik. Ibarat rumput liar yang tumbuh di taman demokrasi Indonesia. Berkali-kali menjadi masalah dan dicegah, tapi tak pernah mati. Selain menyuburkan praktik nepotisme, juga rentan melahirkan perkara rasuah.

Gelaran demokrasi melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak mestinya mampu memberikan kesempatan yang lebih luas bagi setiap orang. Melalui pemilu, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mengakses jabatan publik baik sebagai gubernur, bupati, maupun wali kota.

Sebaliknya, pilkada serentak justru menumbuhsuburkan dinasti politik di daerah. Kepemimpinan daerah didominasi keluarga inti dan sanak saudara. Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode akan menyiapkan “putra mahkota” untuk menggantikannya. Baik itu anak, istri, atau keponakan. Prinsipnya, kekuasaan harus tetap berada di seputaran keluarga. (Baca: KPK Disarankan Gandeng Auditor untuk Telusuri Aliran Dana Kartu Pra Kerja)

Kondisi ini cukup mengkhawatirkan, bukan hanya karena keluarga ikut menggantikan. Tidak jarang pula, dinasti politik melahirkan korupsi yang melibatkan keluarga, termasuk pasangan suami-istri (pasutri). Awal Juli lalu, KPK menangkap pasutri Ismunandar dan Encek UR Firgasih terkait dugaan suap. Ismunandar merupakan bupati Kutai Timur, sedangkan istrinya, Encek, ketua DPRD Kutai Timur. Keduanya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK dengan sangkaan suap pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur pada 2019-2020 sebesar Rp2,65 miliar.

Berdasarkan hasil penelusuran, korupsi yang dilakukan pasutri bukan hanya dilakukan bupati Kutai Timur dan istrinya. Sebelumnya ada sekitar 12 pasutri lain yang berurusan dengan lembaga antirasuah (lihat grafis).

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengungkapkan, pasutri terjerat korupsi bagian dari cerminan politik dinasti atau oligarki. Istri atau keluarga lainnya terlalu banyak mencampuri urusan bisnis atau proyek suami sehingga memicu penyelewengan anggaran.

“Kasus pasutri terjerat korupsi, saya kira tidak bisa dilepaskan dari dinasti politik. Dari sejumlah kasus, kekuasaan politik yang berhubungan dengan kekerabatan rentan melakukan korupsi. Apalagi, jika dinasti tersebut berkuasa dalam rentang waktu yang cukup lama,” ungkap Ujang kemarin.

Menurut dia, para kepala daerah atau pejabat seharusnya bisa becermin dari kehidupan mantan Presiden BJ Habibie. Saat menjadi pejabat, istri Pak Habibie tidak pernah mencampuri urusan suaminya. Sang istri hanya mendoakan atau mendukung penuh apa yang dilakukan suami. “Ini yang tidak dilakukan istri pejabat atau kepala daerah. Sebaliknya, para istri sangat bernafsu bagaimana mendapat proyek dan menghasilkan uang banyak,” ungkap Ujang. (Baca juga: AS Puji Respons Indonesia Terkait Pengungsi Rohingya)

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini menjelaskan, modus para istri membujuk suami berbuat korupsi biasanya dilakukan saat berada di atas ranjang. Selain urusan seks, mereka juga membuat rencana untuk mendapat uang dari sejumlah proyek. “Ide untuk korupsi itu banyak juga datang saat pasutri sedang berada di atas ranjang,” terang Ujang.

Peran perempuan, kata dia, sangat penting sebagai agen pemberantas korupsi. Ujang menganalogikan dengan istilah harta, tahta, dan wanita. Perempuan mempunyai potensi sangat besar karena berperan penting dalam pendidikan anak dan rumah tangga. Namun, peran serta pengajaran nilai antikorupsi masih minim. “Biasanya konstruksi budaya yang menyebabkan istri dan keluarga ikut tersandung bila seorang pejabat,” terangnya.

Mengapa rencana atau keputusan penting sering disusun di tempat tidur? Para ahli membagi cinta ke dalam tiga fase, yakni nafsu, ketertarikan, dan keterikatan. Fase pertama, hormon yang meningkat akan membuat seseorang memiliki hasrat yang intens. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)

Adrenalin dan norepinefrin akan membuat jantung berdetak lebih cepat serta tangan menjadi berkeringat. Di sisi lain, hormon dopamine akan memengaruhi otak untuk menciptakan perasaan euforia. Nah, saat euforia inilah apa pun bisa dilakukan, termasuk mengabulkan permintaan pasangan.

Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan saat menikah biasanya pasangan memiliki visi yang sama dan saling mendukung untuk bisa mencapai tujuan bersama. Banyak pasangan yang menginginkan kesuksesan dalam berbagai hal. “Pada banyak keluarga konsep kesuksesan adalah kekayaan yang sangat mungkin hanya bisa didapatkan melalui korupsi,” katanya. (Ratna Purnama/Okezone)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1928 seconds (0.1#10.140)