Deradikalisasi Harus Jadi Komitmen Bersama
loading...
A
A
A
AKSI bom bunuh diri yang dilakukan Agus Sujatno di Mapolsek Astana Anyar, Kota Bandung, Rabu (7/12) menjadi keprihatinan banyak pihak. Kasus ini sekaligus menjadi alarm kuat bahwa potensi bom dengan sel-sel jaringan terorisme yang aktif di dalamnya begitu dekat dan ada di sekitar kita.
Begitu bahayanya, kita bahkan tidak pernah tahu bagaimana sel-sel yang cukup aktif itu akan meletupkan aksinya. Kapan dan di mana, semua masih misteri. Jika pekan lalu menyasar markas polisi, bisa saja di lain waktu terjadi di pasar, mal, gedung perkantoran, pemerintahan, alat transportasi, dan sebagainya.
Ini terasa agak menakutkan meski negara ini memiliki seperangkat aparat. Tapi, begitulah realitasnya. Para pelaku terorisme kerap kali tak pandang bulu. Bom Bali 2002 misalnya, ada sekitar 200 nyawa warga sipil harus hilang akibat ulah mereka.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kini ancaman terorisme makin kompleks dan luas. Setelah Bom Bali, aksi-aksi terorisme seolah terus terjadi hingga saat ini. Yang lebih membahayakan, jaringan itu terus berkembang, bahkan sebagian sulit dimatikan atau dikendalikan.
Bom bunuh diri oleh Agus Sujatno di Mapolsek Astana Anyar menjadi salah satu bukti nyata bahwa jaringan itu terus hidup hingga saat ini. Sebagaimana diketahui, Agus adalah bekas napi teroris kasus Bom Cicendo pada 2017. Agus belum lama keluar dari penjara. Nyatanya, penjara tak mampu mencuci ideologi, cara pikir, dan sikap Agus yang radikal. Kasus lain seperti Bom Makassar 2021 juga jadi bukti deradikalisasi saat ini bukanlah langkah final.
Khusus terhadap para napi teroris, pemerintah sebenarnya telah membuat program khusus deradikalisasi seperti dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88, Kementerian Sosial, dan sebagainya. Namun, mengubah cara pandang para pelaku terorisme bukan langkah gampang.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendata, hingga Desember 2022, jumlah napi teroris di Indonesia yang menjalani program deradikalisasi mencapai 1.290 orang. Dari jumlah itu, napi yang menolak keras berikrar setia kepada NKRI mencapai 120 orang atau sekitar 8%.
Jumlah ini tergolong besar jika mempertimbangkan potensi bahaya yang ada di dalamnya. Setelah rampung menjalani hukuman, napi teroris menjadi manusia bebas yang hakikatnya memendam ancaman. Jika mereka mendapat pemicu dan dukungan kuat dari jaringannya seperti pada kasus Agus Sujatno, maka sangat mudah meletupkan aksinya. Sujatno diduga tidak sependapat dengan pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan, aksi Sujatno terjadi hanya sehari setelah pengesahan KUHP baru di DPR tersebut.
Begitu mudahnya napi teroris akan mengulangi tindakannya juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian. Dari penelitian itu terungkap 8-10% eks napi teroris sangat mudah melakukan aksi terorisme setelah bebas dari penjara.
Fakta penanganan terorisme ini patut menjadi perhatian bersama seluruh elemen bangsa. Melihat masih begitu besarnya napi teroris yang bersikap keras itu, tak mungkin untuk menyandarkan tugas deradikalisasi pada satu pintu, yakni di BNPT. Saatnya program deradikalisasi diperkuat dengan melibatkan berbagai unsur lain yang dinilai lebih efektif. Pelibatan aktif ormas keagamaan semisal Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah misalnya. Dua ormas ini memiliki akar keorganisasian hingga level terendah yakni desa atau kelurahan.
Harapannya, ketika napi teroris balik ke kampungnya, mereka tidak teralienasi, dikucilkan, atau bahkan dicela. Melalui tokoh-tokohnya atau tim khusus, ormas bisa secara aktif menggandeng dan mengawal mereka untuk kembali ke pemahaman keagamaan atau kehidupan yang wajar dan moderat. Ini penting sebab seringkali napi teroris ini sulit kembali bermasyarakat lantaran cap sebagai pelaku terorisme adalah stigma yang begitu kuat untuk dihapus.
Di antara ikhtiar untuk membentengi masyarakat berpandangan atau bersikap radikal, pemerintah sebenarnya telah memiliki program nasional, yakni Moderasi Beragama. Namun, program ini jangan berhenti sebatas pada aspek jargon semata atau ritual diskusi tanpa menyentuh jantung persoalan. Lebih dari itu, deradikalisasi ini tidak akan mencapai hasil optimal tanpa ada perhatian, kesadaran, dan komitmen kuat bersama.
Begitu bahayanya, kita bahkan tidak pernah tahu bagaimana sel-sel yang cukup aktif itu akan meletupkan aksinya. Kapan dan di mana, semua masih misteri. Jika pekan lalu menyasar markas polisi, bisa saja di lain waktu terjadi di pasar, mal, gedung perkantoran, pemerintahan, alat transportasi, dan sebagainya.
Ini terasa agak menakutkan meski negara ini memiliki seperangkat aparat. Tapi, begitulah realitasnya. Para pelaku terorisme kerap kali tak pandang bulu. Bom Bali 2002 misalnya, ada sekitar 200 nyawa warga sipil harus hilang akibat ulah mereka.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kini ancaman terorisme makin kompleks dan luas. Setelah Bom Bali, aksi-aksi terorisme seolah terus terjadi hingga saat ini. Yang lebih membahayakan, jaringan itu terus berkembang, bahkan sebagian sulit dimatikan atau dikendalikan.
Bom bunuh diri oleh Agus Sujatno di Mapolsek Astana Anyar menjadi salah satu bukti nyata bahwa jaringan itu terus hidup hingga saat ini. Sebagaimana diketahui, Agus adalah bekas napi teroris kasus Bom Cicendo pada 2017. Agus belum lama keluar dari penjara. Nyatanya, penjara tak mampu mencuci ideologi, cara pikir, dan sikap Agus yang radikal. Kasus lain seperti Bom Makassar 2021 juga jadi bukti deradikalisasi saat ini bukanlah langkah final.
Khusus terhadap para napi teroris, pemerintah sebenarnya telah membuat program khusus deradikalisasi seperti dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88, Kementerian Sosial, dan sebagainya. Namun, mengubah cara pandang para pelaku terorisme bukan langkah gampang.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendata, hingga Desember 2022, jumlah napi teroris di Indonesia yang menjalani program deradikalisasi mencapai 1.290 orang. Dari jumlah itu, napi yang menolak keras berikrar setia kepada NKRI mencapai 120 orang atau sekitar 8%.
Jumlah ini tergolong besar jika mempertimbangkan potensi bahaya yang ada di dalamnya. Setelah rampung menjalani hukuman, napi teroris menjadi manusia bebas yang hakikatnya memendam ancaman. Jika mereka mendapat pemicu dan dukungan kuat dari jaringannya seperti pada kasus Agus Sujatno, maka sangat mudah meletupkan aksinya. Sujatno diduga tidak sependapat dengan pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan, aksi Sujatno terjadi hanya sehari setelah pengesahan KUHP baru di DPR tersebut.
Begitu mudahnya napi teroris akan mengulangi tindakannya juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian. Dari penelitian itu terungkap 8-10% eks napi teroris sangat mudah melakukan aksi terorisme setelah bebas dari penjara.
Fakta penanganan terorisme ini patut menjadi perhatian bersama seluruh elemen bangsa. Melihat masih begitu besarnya napi teroris yang bersikap keras itu, tak mungkin untuk menyandarkan tugas deradikalisasi pada satu pintu, yakni di BNPT. Saatnya program deradikalisasi diperkuat dengan melibatkan berbagai unsur lain yang dinilai lebih efektif. Pelibatan aktif ormas keagamaan semisal Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah misalnya. Dua ormas ini memiliki akar keorganisasian hingga level terendah yakni desa atau kelurahan.
Harapannya, ketika napi teroris balik ke kampungnya, mereka tidak teralienasi, dikucilkan, atau bahkan dicela. Melalui tokoh-tokohnya atau tim khusus, ormas bisa secara aktif menggandeng dan mengawal mereka untuk kembali ke pemahaman keagamaan atau kehidupan yang wajar dan moderat. Ini penting sebab seringkali napi teroris ini sulit kembali bermasyarakat lantaran cap sebagai pelaku terorisme adalah stigma yang begitu kuat untuk dihapus.
Di antara ikhtiar untuk membentengi masyarakat berpandangan atau bersikap radikal, pemerintah sebenarnya telah memiliki program nasional, yakni Moderasi Beragama. Namun, program ini jangan berhenti sebatas pada aspek jargon semata atau ritual diskusi tanpa menyentuh jantung persoalan. Lebih dari itu, deradikalisasi ini tidak akan mencapai hasil optimal tanpa ada perhatian, kesadaran, dan komitmen kuat bersama.
(bmm)