Akankah Indonesia Impor Beras?
loading...
A
A
A
Ridho Ilahi
Fungsional Statistisi Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka
BADAN Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) dan Kementerian Pertanian (Kementan) silang data dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama NFA, Kementan, Badan Urusan Logistik (Bulog), dan ID FOOD di DPR.
Data stok beras dalam negeri dari kedua lembaga pemerintah itu berbeda padahal data itu penting untuk ketersediaan beras dalam negeri. Sementara itu, Kepala Bulog memaparkan kondisi di lapangan terkait stok beras di gudang Bulog.
Baca Juga: koran-sindo.com
Menurutnya, stok beras di Bulog saat ini tersedia 594.000 ton sementara kebutuhan dalam negeri hingga akhir tahun ini mencapai 1,2 juta ton sehingga perlu peningkatan stok cadangan beras. Penambahan stok tersebut guna menjamin stabilitas harga dan mengamankan kebutuhan masyarakat apabila terjadi kondisi kedaruratan.
Lantas apakah Indonesia akan mengimpor beras? Saat ini, Indonesia benar-benar membutuhkan tambahan stok cadangan beras guna intervensi pasar dan mengantispasi kondisi tidak terduga seperti bencana. Namun, wacana opsi impor beras mestinya disetop. Pasalnya, kebijakan ini menimbulkan polemik akibat data stok beras antara Bulog dan Kementan berbeda.
Klaim data Kementan menunjukkan produksi dalam negeri masih cukup dan meminta Bulog mengoptimalkan penyerapan beras dari petani. Penyerapan beras oleh Bulog nyatanya selalu tidak memenuhi target. Saat puncak panen di Indonesia pada Maret, April, Juli, dan Oktober justru Bulog tidak menyerap maksimal beras yang ada di petani.
Setidaknya ada 4 (empat) penyebab menipisnya stok beras dalam beberapa pekan ini. Pertama, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Kedua, adanya kenaikan harga komponen pupuk sehingga berdampak pada naiknya variabel cost produksi beras. Ketiga, rendahnya serapan beras-beras yang ada di petani. Keempat, jumlah stok beras yang ada di Perum Bulog itu sendiri.
Seandainya Indonesia terpaksa mengimpor, adakah negara-negara yang bersedia mengekspor berasnya? Ironinya, negara-negara produsen beras sedang membatasi ekspornya demi menjaga ketersediaan beras dalam negeri. Ancaman krisis beras mulai terjadi akibat pembatasan kegiatan masyarakat sejak pandemi Covid-19 serta pembatasan distribusi barang antarnegara yang menghambat distribusi beras.
Selain itu, Food and Agriculture Organization(FAO) juga mencatat angka prevalensi kerawanan pangan terhadap jumlah penduduk dunia mencapai 11,7% pada 2021. Persentase tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan prevalensi kerawanan pangan Indonesia pada 2021 sebesar 8,49% (BPS, 2022). Namun, jika dilihat hasil proyeksi penduduk Indonesia sebanyak 275,77 juta jiwa pada 2022, maka jumlah penduduk yang rawan pangan mencapai 23,41 juta jiwa. Angka ini tergolong besar di tengah kenaikan laju inflasi pangan dan krisis energi.
Kondisi ini diperparah dengan konflik Rusia dan Ukraina yang tak kunjung berakhir dan memberi ripple effect yang berdampak pada krisis pangan. Jika tidak segera diatasi akan menimbulkan masalah kesehatan dan harapan hidup masyarakat Indonesia.
Fungsional Statistisi Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka
BADAN Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) dan Kementerian Pertanian (Kementan) silang data dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama NFA, Kementan, Badan Urusan Logistik (Bulog), dan ID FOOD di DPR.
Data stok beras dalam negeri dari kedua lembaga pemerintah itu berbeda padahal data itu penting untuk ketersediaan beras dalam negeri. Sementara itu, Kepala Bulog memaparkan kondisi di lapangan terkait stok beras di gudang Bulog.
Baca Juga: koran-sindo.com
Menurutnya, stok beras di Bulog saat ini tersedia 594.000 ton sementara kebutuhan dalam negeri hingga akhir tahun ini mencapai 1,2 juta ton sehingga perlu peningkatan stok cadangan beras. Penambahan stok tersebut guna menjamin stabilitas harga dan mengamankan kebutuhan masyarakat apabila terjadi kondisi kedaruratan.
Lantas apakah Indonesia akan mengimpor beras? Saat ini, Indonesia benar-benar membutuhkan tambahan stok cadangan beras guna intervensi pasar dan mengantispasi kondisi tidak terduga seperti bencana. Namun, wacana opsi impor beras mestinya disetop. Pasalnya, kebijakan ini menimbulkan polemik akibat data stok beras antara Bulog dan Kementan berbeda.
Klaim data Kementan menunjukkan produksi dalam negeri masih cukup dan meminta Bulog mengoptimalkan penyerapan beras dari petani. Penyerapan beras oleh Bulog nyatanya selalu tidak memenuhi target. Saat puncak panen di Indonesia pada Maret, April, Juli, dan Oktober justru Bulog tidak menyerap maksimal beras yang ada di petani.
Setidaknya ada 4 (empat) penyebab menipisnya stok beras dalam beberapa pekan ini. Pertama, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Kedua, adanya kenaikan harga komponen pupuk sehingga berdampak pada naiknya variabel cost produksi beras. Ketiga, rendahnya serapan beras-beras yang ada di petani. Keempat, jumlah stok beras yang ada di Perum Bulog itu sendiri.
Seandainya Indonesia terpaksa mengimpor, adakah negara-negara yang bersedia mengekspor berasnya? Ironinya, negara-negara produsen beras sedang membatasi ekspornya demi menjaga ketersediaan beras dalam negeri. Ancaman krisis beras mulai terjadi akibat pembatasan kegiatan masyarakat sejak pandemi Covid-19 serta pembatasan distribusi barang antarnegara yang menghambat distribusi beras.
Selain itu, Food and Agriculture Organization(FAO) juga mencatat angka prevalensi kerawanan pangan terhadap jumlah penduduk dunia mencapai 11,7% pada 2021. Persentase tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan prevalensi kerawanan pangan Indonesia pada 2021 sebesar 8,49% (BPS, 2022). Namun, jika dilihat hasil proyeksi penduduk Indonesia sebanyak 275,77 juta jiwa pada 2022, maka jumlah penduduk yang rawan pangan mencapai 23,41 juta jiwa. Angka ini tergolong besar di tengah kenaikan laju inflasi pangan dan krisis energi.
Kondisi ini diperparah dengan konflik Rusia dan Ukraina yang tak kunjung berakhir dan memberi ripple effect yang berdampak pada krisis pangan. Jika tidak segera diatasi akan menimbulkan masalah kesehatan dan harapan hidup masyarakat Indonesia.