RUU KUHP Disahkan Jadi UU, Menkumham: Momen Bersejarah Penyelenggaraan Hukum Pidana
loading...
A
A
A
Perluasan Jenis Pidana Kepada Pelaku Tindak Pidana
Menteri Yasonna selanjutnya menjelaskan bahwa pengesahan RUU KUHP tidak sekadar menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia. RUU KUHP menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Yasonna menjelaskan terdapat tiga pidana yang diatur di dalamnya, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus.
Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda saja, tetapi menambahkan pidana, pidana pengawasan, serta pidana kerja sosial.
“Perbedaan yang mendasar, RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun,” tutur Yasonna.
Selain pidana mati, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman mengenai keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana. Keadaan-keadaan tersebut antara lain, jika terdakwa adalah anak, baru pertama kali melakukan tindak pidana, termasuk terdakwa telah berusia diatas 75 tahun, dan beberapa keadaan lainnya.
“Meskipun demikian, diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan-keadaan tertentu. Yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, atau tindak pidana yang merugikan masyarakat, serta merugikan perekonomian negara,” katanya.
Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.
Pelaku tindak pidana dapat pula dijatuhi tindakan, sebagai perwujudan nyata dari diterapkannya double track system dalam pemidanaan Indonesia. Contohnya, RUU KUHP mengatur tindakan apa yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan Tindakan yang dapat dikenakan kepada seseorang dengan disabilitas mental atau intelektual.
Terakhir, di dalam UU KUHP mengatur juga badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dapat dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.
Menteri Yasonna selanjutnya menjelaskan bahwa pengesahan RUU KUHP tidak sekadar menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia. RUU KUHP menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Yasonna menjelaskan terdapat tiga pidana yang diatur di dalamnya, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus.
Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda saja, tetapi menambahkan pidana, pidana pengawasan, serta pidana kerja sosial.
“Perbedaan yang mendasar, RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun,” tutur Yasonna.
Selain pidana mati, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman mengenai keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana. Keadaan-keadaan tersebut antara lain, jika terdakwa adalah anak, baru pertama kali melakukan tindak pidana, termasuk terdakwa telah berusia diatas 75 tahun, dan beberapa keadaan lainnya.
“Meskipun demikian, diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan-keadaan tertentu. Yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, atau tindak pidana yang merugikan masyarakat, serta merugikan perekonomian negara,” katanya.
Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.
Pelaku tindak pidana dapat pula dijatuhi tindakan, sebagai perwujudan nyata dari diterapkannya double track system dalam pemidanaan Indonesia. Contohnya, RUU KUHP mengatur tindakan apa yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan Tindakan yang dapat dikenakan kepada seseorang dengan disabilitas mental atau intelektual.
Terakhir, di dalam UU KUHP mengatur juga badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dapat dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.
(kri)