Redenominasi Rupiah Wacana Lama Hidup Lagi
loading...
A
A
A
KATA redenominasi rupiah yang sempat akrab di telinga masyarakat beberapa waktu lalu kembali bergema. Redenominasi rupiah atau penyederhanaan uang rupiah dengan menghilangkan angka nol kembali digulirkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Wacana mengubah Rp1.000 menjadi Rp1 oleh Kemenkeu diusulkan sebagai bagian dari 19 Program Legislasi Nasional (Proglenas) Jangka Menengah di dalam Rencana Strategis 2020-2024. Kini timbul pertanyaan, perlukah sekarang wacana itu direalisasikan segera? Bukankah redenominasi biasanya dilaksanakan saat situasi dan kondisi perekonomian sedang stabil?
Pihak Kemenkeu membeberkan sejumlah dampak positif terkait redominasi rupiah, di antaranya bisa mendatangkan efisiensi pada perekonomian. Melalui redenominasi dapat mengurangi waktu transaksi, human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah. Selain itu, sistem transaksi dan akuntansi lebih sederhana dengan pengurangan angka nol pada rupiah. Keuntungan bagi negara adalah penyederhanaan pelaporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tak kalah penting bisa menaikkan martabat rupiah yang saat ini terlalu banyak diahiasi angka nol sehingga terkesan tidak bernilai.
Secara defenisi, redenominasi versi Bank Indonesia (BI) adalah langkah penyederhanaan dan penyetaraan nilai mata uang saat kondisi ekonomi stabil serta sehat. Redenominasi berarti menghilangkan beberapa angka nol pada nilai uang sehingga penulisannya lebih sederhana karena sistem akuntansi dan pembayaran lebih simpel tanpa menimbulkan dampak negatif pada petrekonomian. Jadi, nilai uang terhadap barang atau jasa tidak berubah karena hanya penyederhanaan penulisan mata uang. Memang masih ada anggapan penuh kekhawatiran pada masyarakat yang menyamakan pengertian antara redenominasi dengan sanering atau pemotongan nilai uang. Contoh, uang pecahan Rp50.000 bila dilakukan sanering, maka nilainya menciut menjadi Rp25.000. Kebijakan sanering muncul karena terjadi gejolak ekonomi suatu negara dan diterapkan secara mendadak, seperti terjadi hiperinflasi.
Kebijakan redenominasi sebenarnya bukan hal baru karena sejumlah negara sudah menerapkan. Hanya saja, di antara negara yang sudah mempraktikkan redenominasi terhadap mata uangnya ada yang sukses, tapi ada pula yang gagal. Perlu menjadi perhatian bagi pemerintah bahwa negara yang gagal melaksanakan redenominasi dengan mulus ternyata berdampak pada perekonomian negara itu sendiri. Turki adalah salah satu negara yang sukses meredenominasi mata uang selain Rumania, Polandia, dan Ukraina. Lima belas tahun lalu, mata uang Turki yang disebut Lira (TL) dikonversi menjadi Lira baru berkode YTL dengan menghilangkan enam angka nol atau 1 YTL untuk 1.000.000 TL. Pemerintah Turki menjalankan kebijakan tersebut dengan sangat hati-hati. Selama setahun TL dan YTL beredar simultan, lalu TL ditarik bertahap. Hal itu berlangsung selama tujuh tahun karena pada saat itu stabilitas perekonomian Turki terjaga dengan baik.
Sementara itu, Korea Utara, Zimbabwe, Rusia, dan Argentina tergolong negara gagal yang menerapkan redenominasi karena waktu pelekasanaan tidak tepat dan strategi yang diterapkan kurang paten. Rusia mengeluarkan kebijakan redenominasi di saat kondisi perekonomian tidak stabil dengan tingkat inflasi tinggi. Lain lagi cerita untuk Korea Utara yang menghilangkan angka nol mata uangnya dari 100 Won menjadi 1 Won pada 2009 lalu. Kegagalan penerapan redenominasi pada negara yang sangat tertutup itu dipicu oleh stok mata uang baru terbatas. Ketika warga Korea Utara hendak menukarkan uang lama menjadi uang baru, stoknya tidak tersedia. Brasil juga tercatat negara yang pernah gagal menerapkan redenominasi pada periode 1986 sampai dengan 1989. Saat dilaksanakan redenominasi, kurs mata uang Brasil terdepresiasi tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sehingga pemerintah tak mampu mengendalikan inflasi yang mencapai 500% per tahun. Namun, pemerintah Negeri Samba itu berhasil membalikkan keadaan pada 1994 alias sukses menerapkan redenominasi.
Meski pemerintah dalam hal ini Kemenkeu telah membeberkan dampak positif dari kebijakan redenominasi rupiah, tapi tetap menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat tentang sejauh mana pentingnya wacana redenominasi rupiah dimasukkan dalam Prolegnas saat ini. Kalangan yang pro terhadap pembahasan redenominasi rupiah berpendapat bahwa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) bukanlah halangan. Pasalnya, agar pembahasan undang-undang (UU) bisa cepat diselesaikan sebab penerapannya butuh waktu panjang. Sebaliknya, mereka yang kontra menilai urusan redenominasi tidak mendesak sebab untuk suksesnya kebijakan tersebut setidaknya didukung pertumbuhan ekonomi di level 6% alias perekonomian dalam kondisi stabil dengan tingkat inflasi terjaga. Suara pro dan kontra di tengah masyarakat bukanlah masalah, setidaknya itu menunjukkan bahwa masyarakat peduli pada kebijakan yang akan diterbitkan pemerintah. Karena itu, pemerintah harap bijak merespons suara masyarakat dalam setiap pengambilan kebiajakan.
Pihak Kemenkeu membeberkan sejumlah dampak positif terkait redominasi rupiah, di antaranya bisa mendatangkan efisiensi pada perekonomian. Melalui redenominasi dapat mengurangi waktu transaksi, human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah. Selain itu, sistem transaksi dan akuntansi lebih sederhana dengan pengurangan angka nol pada rupiah. Keuntungan bagi negara adalah penyederhanaan pelaporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tak kalah penting bisa menaikkan martabat rupiah yang saat ini terlalu banyak diahiasi angka nol sehingga terkesan tidak bernilai.
Secara defenisi, redenominasi versi Bank Indonesia (BI) adalah langkah penyederhanaan dan penyetaraan nilai mata uang saat kondisi ekonomi stabil serta sehat. Redenominasi berarti menghilangkan beberapa angka nol pada nilai uang sehingga penulisannya lebih sederhana karena sistem akuntansi dan pembayaran lebih simpel tanpa menimbulkan dampak negatif pada petrekonomian. Jadi, nilai uang terhadap barang atau jasa tidak berubah karena hanya penyederhanaan penulisan mata uang. Memang masih ada anggapan penuh kekhawatiran pada masyarakat yang menyamakan pengertian antara redenominasi dengan sanering atau pemotongan nilai uang. Contoh, uang pecahan Rp50.000 bila dilakukan sanering, maka nilainya menciut menjadi Rp25.000. Kebijakan sanering muncul karena terjadi gejolak ekonomi suatu negara dan diterapkan secara mendadak, seperti terjadi hiperinflasi.
Kebijakan redenominasi sebenarnya bukan hal baru karena sejumlah negara sudah menerapkan. Hanya saja, di antara negara yang sudah mempraktikkan redenominasi terhadap mata uangnya ada yang sukses, tapi ada pula yang gagal. Perlu menjadi perhatian bagi pemerintah bahwa negara yang gagal melaksanakan redenominasi dengan mulus ternyata berdampak pada perekonomian negara itu sendiri. Turki adalah salah satu negara yang sukses meredenominasi mata uang selain Rumania, Polandia, dan Ukraina. Lima belas tahun lalu, mata uang Turki yang disebut Lira (TL) dikonversi menjadi Lira baru berkode YTL dengan menghilangkan enam angka nol atau 1 YTL untuk 1.000.000 TL. Pemerintah Turki menjalankan kebijakan tersebut dengan sangat hati-hati. Selama setahun TL dan YTL beredar simultan, lalu TL ditarik bertahap. Hal itu berlangsung selama tujuh tahun karena pada saat itu stabilitas perekonomian Turki terjaga dengan baik.
Sementara itu, Korea Utara, Zimbabwe, Rusia, dan Argentina tergolong negara gagal yang menerapkan redenominasi karena waktu pelekasanaan tidak tepat dan strategi yang diterapkan kurang paten. Rusia mengeluarkan kebijakan redenominasi di saat kondisi perekonomian tidak stabil dengan tingkat inflasi tinggi. Lain lagi cerita untuk Korea Utara yang menghilangkan angka nol mata uangnya dari 100 Won menjadi 1 Won pada 2009 lalu. Kegagalan penerapan redenominasi pada negara yang sangat tertutup itu dipicu oleh stok mata uang baru terbatas. Ketika warga Korea Utara hendak menukarkan uang lama menjadi uang baru, stoknya tidak tersedia. Brasil juga tercatat negara yang pernah gagal menerapkan redenominasi pada periode 1986 sampai dengan 1989. Saat dilaksanakan redenominasi, kurs mata uang Brasil terdepresiasi tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sehingga pemerintah tak mampu mengendalikan inflasi yang mencapai 500% per tahun. Namun, pemerintah Negeri Samba itu berhasil membalikkan keadaan pada 1994 alias sukses menerapkan redenominasi.
Meski pemerintah dalam hal ini Kemenkeu telah membeberkan dampak positif dari kebijakan redenominasi rupiah, tapi tetap menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat tentang sejauh mana pentingnya wacana redenominasi rupiah dimasukkan dalam Prolegnas saat ini. Kalangan yang pro terhadap pembahasan redenominasi rupiah berpendapat bahwa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) bukanlah halangan. Pasalnya, agar pembahasan undang-undang (UU) bisa cepat diselesaikan sebab penerapannya butuh waktu panjang. Sebaliknya, mereka yang kontra menilai urusan redenominasi tidak mendesak sebab untuk suksesnya kebijakan tersebut setidaknya didukung pertumbuhan ekonomi di level 6% alias perekonomian dalam kondisi stabil dengan tingkat inflasi terjaga. Suara pro dan kontra di tengah masyarakat bukanlah masalah, setidaknya itu menunjukkan bahwa masyarakat peduli pada kebijakan yang akan diterbitkan pemerintah. Karena itu, pemerintah harap bijak merespons suara masyarakat dalam setiap pengambilan kebiajakan.
(ras)