Hebatnya Warga Kampung Karanggede Bantul, Tetap Jaga Pura meski Tak Ada Lagi Penganut Hindu
loading...
A
A
A
Sekilas Kampung Karanggede di Pedukuhan Dagen, Kalurahan Pendowoharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul ini tak berbeda dengan kampung-kampung lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Siapa sangka, di kampung kecil ini terdapat empat tempat ibadah berbeda. Para penganut agama ini juga bisa hidup damai dan saling menghormati.
Lokasi kampung ini berada di pinggir Jalan Bantul. Jika dari arah utara atau dari arah Kota Yogyakarta, lokasi kampung ini di sebelah kanan jalan. Sekitar 100 meeter sebelum gapura selamat datang di Bantul ada jalan ke arah barat atau kanan jalan. Di situ terdapat gapura dengan tulisan besar “Karanggede RT 01”.
Begitu masuk ke Kampung Karanggede, kesan yang ditangkap adalah kampung yang bersih. Jalanan kampung terbuat dari batako. Kanan kiri jalan mayoritas terdapat pagar bumi. Tampak beberapa temat sampah besar sengaja di taruh di pinggir jalan.
Di ujung jalan kampung tepatnya di sisi kanan jalan dari arah masuk, terdapat Susteran Gembala Baik. Bangunannya memanjang dari pinggir jalan Bantul hingga di pinggir gang kampung. Tepat di samping bangunan Susteran Gembala Baik ini berdiri sebuah Pura. Dalam papan nama yang tertempel di tembok tertulis ‘Pura Karanggede’.
Di gapura pintu masuk Pura Karanggede itu tertulis Om Swastyastu. Antara bangunan susteran dan pura hanya terpisah gang kecil tak sampai tiga meter. Kedua bangunan itu sejajar di utara jalan atau kanan jalan dari arah masuk.
Lurus ke depan, masih di jalan masuk kampung itu terdapat sebuah masjid dengan genteng bercat hijau dan dinding berwarna putih gading. Masjid ini hanya berjarak sekitar 50 meter dari pura. Lokasinya juga berada di pinggir jalan kampung. Satu jalan dengan Susteran Gembala Baik dan Pura Karanggede.
Bangunan masjid itu lumayan besar. Ada semacam menara yang digunakan untuk memasang pengeras suara yang menghadap ke sejumlah arah.
Sekitar 30 meteran dari masjid ke aarah selatan ini juga berdiri sebuah rumah ibadah yakni Gereja Pantekosta di Indonesia (Gpdi) Pendowoharjo. Gereja ini berdiri tepat di pinggir jalan, di seberang jalan ada selokan yang cukup lebar sekitar tiga meteran. Gereja ini tampak seperti rumah biasa. Sepintas tidak terlihat jika itu adaah bangunan gereja.
Saat jurnalis MNC Portal datang ke kampung itu, tampak dua pria tengah ngobrol asyik di depan rumah yang letaknya persis di depan Pura Karanggede. Mereka kemudian menyapa MNC Portal. “Orang sini los dol kok,” ujar Samsu,35, salah satu pria tersebut sambil tersenyum.
Samsu memakai istilah los dol untuk mengambarkan betapa tolerannya warga Karanggede terhadap penganut agama lain. Menurutnya isu-isu intoleran dan SARA tak mempan di kampungnya ini. “Yang di medsos-medsos itu nggak mempan kalau di sini. Itu yang di Lampung pernah ada konflik agama Islam dan Hindu di sini juga santai-santai saja. Warga sini nggak gagas, rukun-rukun saja,” ujar Samsu.
Mayoritas warga Karanggede adalah penganut Islam. Dari 137 kepala keluarga (KK), hanya ada tiga KK yang menganut agama Kristen, dan empat KK beragama Katolik. Sementara meski ada pura di kampung itu, warga Karanggede sama sekali tidak ada yang beragama Hindu. “Dulu ada yang beragama Hindu tapi sekarang sudah tidak ada,” kata Ketua RT 01 Heri Joko.
Meski mayoritas beragama Islam, namun warga Karanggede juga selalu membantu jika ada penganut agama lain tengah ada sembahyangan. Seperti di Pura Karanggede. Setiap purnama sekali, di lokasi itu digelar sembahyang oleh umat Hindu yang semuanya berasal dari luar daerah di Karanggede. “Kami tetap bantu mulai dari parkir hingga keamanan. Saya juga tak terganggu. Pokoknya los dol ,” ujar Samsu.
Hal yang sama juga dilakukan saat di Susteran Gembala Baik digelar ibadah. Meski statusnya semacam asrama bagi para suster namun dalam waktu-waktu tertentu di tempat itu juga digelar ibadah dengan mendatangkan jemaat banyak. Warga Karanggede juga berbondong-bondong membantu.
Dengan adnya empat tempat ibadah dalam satu kampung itu, Karanggede dinobatkan sebagai Desa Sadar Kerukunan oleh Kementerian Agama. Peresmian sebagai Desa Sadar Kerukunan ini dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada November 2021 silam. Tak hanya itu, Kampung Karanggede juga menjadi lokasi studi banding tentang kerukunan beragama dan toleransi. Ini seiring dengan Tahun 2022 yang dicanangkan sebagai Tahun Toleransi oleh Kementerian Agama.
Baru-baru ini, sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus juga datang ke kampung ini untuk belajar toleransi beragama. Secara khusus para mahasiswa ini menginap beberapa hari di rumah warga untuk memotret langsung kerukunan beragama di Karanggede.
Para mahasiswa ini berbaur dan merasakan sendiri betapa tolerannya warga Karanggede. Mereka juga mendatangi langsung masing-masing tempat ibadah yang ada di tempat ini.(adv - anf)
Toleransi tak hanya diberikan oleh warga mayoritas, para penganut agama minoritas di Kampung Karanggede ini juga mempunyai toleransi yang tinggi. “Pak Pendeta setiap Lebaran juga keliling kampung ke tokoh-tokoh dan warga. Dan itu rutin dilakukan. Kami juga monggo saja dengan senang hati kami terima,” ujar Pak RT, Heri Joko.
Lokasi kampung ini berada di pinggir Jalan Bantul. Jika dari arah utara atau dari arah Kota Yogyakarta, lokasi kampung ini di sebelah kanan jalan. Sekitar 100 meeter sebelum gapura selamat datang di Bantul ada jalan ke arah barat atau kanan jalan. Di situ terdapat gapura dengan tulisan besar “Karanggede RT 01”.
Begitu masuk ke Kampung Karanggede, kesan yang ditangkap adalah kampung yang bersih. Jalanan kampung terbuat dari batako. Kanan kiri jalan mayoritas terdapat pagar bumi. Tampak beberapa temat sampah besar sengaja di taruh di pinggir jalan.
Di ujung jalan kampung tepatnya di sisi kanan jalan dari arah masuk, terdapat Susteran Gembala Baik. Bangunannya memanjang dari pinggir jalan Bantul hingga di pinggir gang kampung. Tepat di samping bangunan Susteran Gembala Baik ini berdiri sebuah Pura. Dalam papan nama yang tertempel di tembok tertulis ‘Pura Karanggede’.
Di gapura pintu masuk Pura Karanggede itu tertulis Om Swastyastu. Antara bangunan susteran dan pura hanya terpisah gang kecil tak sampai tiga meter. Kedua bangunan itu sejajar di utara jalan atau kanan jalan dari arah masuk.
Lurus ke depan, masih di jalan masuk kampung itu terdapat sebuah masjid dengan genteng bercat hijau dan dinding berwarna putih gading. Masjid ini hanya berjarak sekitar 50 meter dari pura. Lokasinya juga berada di pinggir jalan kampung. Satu jalan dengan Susteran Gembala Baik dan Pura Karanggede.
Bangunan masjid itu lumayan besar. Ada semacam menara yang digunakan untuk memasang pengeras suara yang menghadap ke sejumlah arah.
Sekitar 30 meteran dari masjid ke aarah selatan ini juga berdiri sebuah rumah ibadah yakni Gereja Pantekosta di Indonesia (Gpdi) Pendowoharjo. Gereja ini berdiri tepat di pinggir jalan, di seberang jalan ada selokan yang cukup lebar sekitar tiga meteran. Gereja ini tampak seperti rumah biasa. Sepintas tidak terlihat jika itu adaah bangunan gereja.
Saat jurnalis MNC Portal datang ke kampung itu, tampak dua pria tengah ngobrol asyik di depan rumah yang letaknya persis di depan Pura Karanggede. Mereka kemudian menyapa MNC Portal. “Orang sini los dol kok,” ujar Samsu,35, salah satu pria tersebut sambil tersenyum.
Samsu memakai istilah los dol untuk mengambarkan betapa tolerannya warga Karanggede terhadap penganut agama lain. Menurutnya isu-isu intoleran dan SARA tak mempan di kampungnya ini. “Yang di medsos-medsos itu nggak mempan kalau di sini. Itu yang di Lampung pernah ada konflik agama Islam dan Hindu di sini juga santai-santai saja. Warga sini nggak gagas, rukun-rukun saja,” ujar Samsu.
Mayoritas warga Karanggede adalah penganut Islam. Dari 137 kepala keluarga (KK), hanya ada tiga KK yang menganut agama Kristen, dan empat KK beragama Katolik. Sementara meski ada pura di kampung itu, warga Karanggede sama sekali tidak ada yang beragama Hindu. “Dulu ada yang beragama Hindu tapi sekarang sudah tidak ada,” kata Ketua RT 01 Heri Joko.
Meski mayoritas beragama Islam, namun warga Karanggede juga selalu membantu jika ada penganut agama lain tengah ada sembahyangan. Seperti di Pura Karanggede. Setiap purnama sekali, di lokasi itu digelar sembahyang oleh umat Hindu yang semuanya berasal dari luar daerah di Karanggede. “Kami tetap bantu mulai dari parkir hingga keamanan. Saya juga tak terganggu. Pokoknya los dol ,” ujar Samsu.
Hal yang sama juga dilakukan saat di Susteran Gembala Baik digelar ibadah. Meski statusnya semacam asrama bagi para suster namun dalam waktu-waktu tertentu di tempat itu juga digelar ibadah dengan mendatangkan jemaat banyak. Warga Karanggede juga berbondong-bondong membantu.
Dengan adnya empat tempat ibadah dalam satu kampung itu, Karanggede dinobatkan sebagai Desa Sadar Kerukunan oleh Kementerian Agama. Peresmian sebagai Desa Sadar Kerukunan ini dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada November 2021 silam. Tak hanya itu, Kampung Karanggede juga menjadi lokasi studi banding tentang kerukunan beragama dan toleransi. Ini seiring dengan Tahun 2022 yang dicanangkan sebagai Tahun Toleransi oleh Kementerian Agama.
Baru-baru ini, sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus juga datang ke kampung ini untuk belajar toleransi beragama. Secara khusus para mahasiswa ini menginap beberapa hari di rumah warga untuk memotret langsung kerukunan beragama di Karanggede.
Para mahasiswa ini berbaur dan merasakan sendiri betapa tolerannya warga Karanggede. Mereka juga mendatangi langsung masing-masing tempat ibadah yang ada di tempat ini.(adv - anf)
Toleransi tak hanya diberikan oleh warga mayoritas, para penganut agama minoritas di Kampung Karanggede ini juga mempunyai toleransi yang tinggi. “Pak Pendeta setiap Lebaran juga keliling kampung ke tokoh-tokoh dan warga. Dan itu rutin dilakukan. Kami juga monggo saja dengan senang hati kami terima,” ujar Pak RT, Heri Joko.
(atk)