Hilirisasi Industri dan Kepentingan Ekonomi
loading...
A
A
A
Adhitya Wardhono
Dosen dan peneliti Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset “Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy”(Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember
MEDIO November lalu Bank Indonesia (BI) merilis buku yang berjudul “Penguatan Struktur Ekonomi Indonesia: Tinjauan Local Value Chain, Hilirisasi, dan Industri Hijau”. Di tengah kondisi global yang sedang tidak baik-baik saja, BI berupaya mendukung pemerintah untuk pemantapan program hilirisasi yang menjadi bagian dari upaya pengembangan industri manufaktur dengan menciptakan struktur industri yang kuat dan bernilai tambah tinggi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ke depannya, komoditas yang diekspor bukan lagi berupa bahan baku, tetapi berupa barang setengah jadi atau barang jadi. Ini diyakini akan mendorong peningkatan ekspor berkualitas dan juga terintegrasinya global value chain bersamaan pengurangan impor. Keyakinan berlanjut, hilirisasi bisa memperkuat keterkaitan domestik dengan industri pendukung dari daerah lainnya yang mendorong pembangunan yang inklusif. Merujuk risalah penelitian ADB (2019) menunjukkan bahwa partisipasi Indonesia dalam global value chain ke depan (forward) telah mengalami penurunan dari 21,5% di tahun 2000 menjadi 12,9% pada 2017.
Begitu pula dengan global value chain ke belakang (backward) yang turun dari 16,9% ke 10,1% pada tenggang waktu yang sama. Komposisi impor industri yang didominasi oleh bahan baku sebesar 72,1% sepanjang bulan Januari hingga Oktober di tahun 2021. Ini menunjukkan produk industri masih memiliki ketergantungan tinggi pada bahan baku impor. Ragam masalah yang tengah terjadi ini tentu menggugah asa untuk segera membangun industri yang mandiri nan berkualitas.
Sejatinya, misi utama yang ingin dicapai dalam aras hilirisasi industri adalah upaya untuk mendobrak stagnasi pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya saing internasional melalui penciptaan nilai tambah produk. Pada titik ini, fakta penting yang tidak bisa dipungkiri adalah, ekspor masih menjadi lokomotif utama dalam menggerakan perekonomian Indonesia.
Namun, mayoritasnya masih disumbang oleh komoditas primer yang bersifat mentah dan rendah teknologi. Situasi ini menciptakan ilusi di mana neraca perdagangan nampak surplus, tetapi sebenarnya semu dan kurang memiliki nilai tambah produk. Lebih jauh, insufisiensi industri dan ketergantungan pada harga komoditas global juga kerap kali menciptakan fluktuasi yang ujungnya memberikan tekanan pada neraca transaksi berjalan.
Sementara itu, kebijakan ekonomi negara maju mulai mengarah pada proteksionisme. Dan paradigmanya bergeser ke logika ekonomi hijau, sehingga membuka ruang pada peluang risiko hambatan non-tarif terhadap komoditas ekspor Indonesia di masa depan.
Akhirnya, hilirisasi mau tidak mau menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka menyiapkan dan mengembangkan industri ke dalam global value chain demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tetapi misi ini tentu tidaklah mudah dan banyak persoalan yang patut dikaji secara komprehensif.
Tantangan Hilirisasi
Salah satu hambatannya terletak pada kesulitan menemukan titik temu antara teknologi dengan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Pasalnya, hilirisasi membutuhkan pengadopsian teknologi tinggi untuk bisa terjadi. Namun, SDM yang tersedia umumnya masih banyak yang belum memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam mengoperasikan teknologi tersebut. Situasi ini tentunya menyebabkan industri juga perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk dapat memenuhi modal SDM tersebut, selain modal teknologi yang sebenarnya sudah sangat mahal.
Di lain sisi, keuntungan yang didapatkan tanpa melakukan proses hilirisasi pun juga sudah cukup besar. Alhasil, industri menjadi kurang termotivasi dan enggan keluar dari zona nyaman. Pemberian suntikan dana pun tidak serta merta menjadi solusi. Pasalnya, proses hilirisasi ini membutuhkan waktu yang panjang dengan biaya yang besar. Selain itu, produk hilirisasi juga belum tentu bisa sepenuhnya diserap oleh pasar. Tentunya, ini bisa menciptakan trade-off yang cukup besar pada pengelolaan fiskal bila nantinya harus dibiayai dengan anggaran negara.
Logika hilirisasi sendiri dapat dirunut dari perspektif teori pertumbuhan endogen yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang didorong oleh semangat akumulasi pengetahuan yang pada akhirnya melahirkan inovasi dan mendorong produktivitas tenaga kerja. Secara fundamental, akumulasi pengetahuan sendiri sangat ditentukan oleh kombinasi faktor produksi yang dikhususkan untuk kegiatan research and development (R&D).
Integrasi dari hulu ke hilir ini sejatinya merupakan langkah dalam menciptakan perekonomian berbasis pengetahuan yang sesuai dengan kerangka teoritis pertumbuhan endogen. Hilirisasi merupakan suatu strategi yang relevan dan masuk akal. Sebenarnya, Indonesia memiliki prasyarat memadai, tetapi kurang mampu mengelola peluang dengan baik akibat bermacam persoalan klasik seperti rendahnya penguasaan SDM, kurangnya inklusivitas, dan carut marutnya birokrasi.
Kuatkan Konsolidasi Riset
Pada akhirnya, semua kembali pada masalah struktural yang perlu dibenahi seperti kualitas SDM, tata kelola, dan teknologi. Intinya bertujuan adalah untuk mereduksi masalah inefisiensi birokrasi maupun konflik kepentingan. Konsolidasi kekuatan riset nasional terus diupayakan dengan adanya sinergi dunia pendidikan dan industri nasional. Semuanya bermuara pada agenda pembangunan nasional. Dengan begitu diharapkan mengakselerasi kualitas SDM nasional.
Skema pembiayaan hilirisasi sebaiknya dilakukan melalui investasi untuk mengurangi risiko yang dapat membebani anggaran fiskal. Hilirisasi sendiri walaupun diiringi dengan berbagai macam risiko, tetapi sepadan dengan manfaat yang diberikan. Seperti, memperkuat devisa negara, meningkatkan resiliensi pasar, dan mampu mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.
Tidak hanya sebatas pada industri minerba, tetapi semangat hilirisasi ini alangkah baiknya juga ikut dirajut dalam industri potensial yang lain seperti pertanian, perhutanan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya. Indonesia sendiri merupakan negara kaya dengan suplai alam dan manusia berlimpah nan aneka ragam. Melalui program hilirisasi, niscaya Indonesia mampu menjaga kedaulatan dan supremasi di ketidakpastian pasar global.
Pada saat bersamaan pemerintah harus juga melakukan pemberian insentif bagi pelaku ekonomi, seperti pelonggaran pajak dan penurunan bea masuk untuk produk pendukung industri hilir juga bisa terus diberikan. Maka dari itu, besar harapan misi ini dapat tercapai guna menjaga eksistensi perekonomian nasional.
Dosen dan peneliti Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset “Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy”(Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember
MEDIO November lalu Bank Indonesia (BI) merilis buku yang berjudul “Penguatan Struktur Ekonomi Indonesia: Tinjauan Local Value Chain, Hilirisasi, dan Industri Hijau”. Di tengah kondisi global yang sedang tidak baik-baik saja, BI berupaya mendukung pemerintah untuk pemantapan program hilirisasi yang menjadi bagian dari upaya pengembangan industri manufaktur dengan menciptakan struktur industri yang kuat dan bernilai tambah tinggi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ke depannya, komoditas yang diekspor bukan lagi berupa bahan baku, tetapi berupa barang setengah jadi atau barang jadi. Ini diyakini akan mendorong peningkatan ekspor berkualitas dan juga terintegrasinya global value chain bersamaan pengurangan impor. Keyakinan berlanjut, hilirisasi bisa memperkuat keterkaitan domestik dengan industri pendukung dari daerah lainnya yang mendorong pembangunan yang inklusif. Merujuk risalah penelitian ADB (2019) menunjukkan bahwa partisipasi Indonesia dalam global value chain ke depan (forward) telah mengalami penurunan dari 21,5% di tahun 2000 menjadi 12,9% pada 2017.
Begitu pula dengan global value chain ke belakang (backward) yang turun dari 16,9% ke 10,1% pada tenggang waktu yang sama. Komposisi impor industri yang didominasi oleh bahan baku sebesar 72,1% sepanjang bulan Januari hingga Oktober di tahun 2021. Ini menunjukkan produk industri masih memiliki ketergantungan tinggi pada bahan baku impor. Ragam masalah yang tengah terjadi ini tentu menggugah asa untuk segera membangun industri yang mandiri nan berkualitas.
Sejatinya, misi utama yang ingin dicapai dalam aras hilirisasi industri adalah upaya untuk mendobrak stagnasi pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya saing internasional melalui penciptaan nilai tambah produk. Pada titik ini, fakta penting yang tidak bisa dipungkiri adalah, ekspor masih menjadi lokomotif utama dalam menggerakan perekonomian Indonesia.
Namun, mayoritasnya masih disumbang oleh komoditas primer yang bersifat mentah dan rendah teknologi. Situasi ini menciptakan ilusi di mana neraca perdagangan nampak surplus, tetapi sebenarnya semu dan kurang memiliki nilai tambah produk. Lebih jauh, insufisiensi industri dan ketergantungan pada harga komoditas global juga kerap kali menciptakan fluktuasi yang ujungnya memberikan tekanan pada neraca transaksi berjalan.
Sementara itu, kebijakan ekonomi negara maju mulai mengarah pada proteksionisme. Dan paradigmanya bergeser ke logika ekonomi hijau, sehingga membuka ruang pada peluang risiko hambatan non-tarif terhadap komoditas ekspor Indonesia di masa depan.
Akhirnya, hilirisasi mau tidak mau menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka menyiapkan dan mengembangkan industri ke dalam global value chain demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tetapi misi ini tentu tidaklah mudah dan banyak persoalan yang patut dikaji secara komprehensif.
Tantangan Hilirisasi
Salah satu hambatannya terletak pada kesulitan menemukan titik temu antara teknologi dengan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Pasalnya, hilirisasi membutuhkan pengadopsian teknologi tinggi untuk bisa terjadi. Namun, SDM yang tersedia umumnya masih banyak yang belum memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam mengoperasikan teknologi tersebut. Situasi ini tentunya menyebabkan industri juga perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk dapat memenuhi modal SDM tersebut, selain modal teknologi yang sebenarnya sudah sangat mahal.
Di lain sisi, keuntungan yang didapatkan tanpa melakukan proses hilirisasi pun juga sudah cukup besar. Alhasil, industri menjadi kurang termotivasi dan enggan keluar dari zona nyaman. Pemberian suntikan dana pun tidak serta merta menjadi solusi. Pasalnya, proses hilirisasi ini membutuhkan waktu yang panjang dengan biaya yang besar. Selain itu, produk hilirisasi juga belum tentu bisa sepenuhnya diserap oleh pasar. Tentunya, ini bisa menciptakan trade-off yang cukup besar pada pengelolaan fiskal bila nantinya harus dibiayai dengan anggaran negara.
Logika hilirisasi sendiri dapat dirunut dari perspektif teori pertumbuhan endogen yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang didorong oleh semangat akumulasi pengetahuan yang pada akhirnya melahirkan inovasi dan mendorong produktivitas tenaga kerja. Secara fundamental, akumulasi pengetahuan sendiri sangat ditentukan oleh kombinasi faktor produksi yang dikhususkan untuk kegiatan research and development (R&D).
Integrasi dari hulu ke hilir ini sejatinya merupakan langkah dalam menciptakan perekonomian berbasis pengetahuan yang sesuai dengan kerangka teoritis pertumbuhan endogen. Hilirisasi merupakan suatu strategi yang relevan dan masuk akal. Sebenarnya, Indonesia memiliki prasyarat memadai, tetapi kurang mampu mengelola peluang dengan baik akibat bermacam persoalan klasik seperti rendahnya penguasaan SDM, kurangnya inklusivitas, dan carut marutnya birokrasi.
Kuatkan Konsolidasi Riset
Pada akhirnya, semua kembali pada masalah struktural yang perlu dibenahi seperti kualitas SDM, tata kelola, dan teknologi. Intinya bertujuan adalah untuk mereduksi masalah inefisiensi birokrasi maupun konflik kepentingan. Konsolidasi kekuatan riset nasional terus diupayakan dengan adanya sinergi dunia pendidikan dan industri nasional. Semuanya bermuara pada agenda pembangunan nasional. Dengan begitu diharapkan mengakselerasi kualitas SDM nasional.
Skema pembiayaan hilirisasi sebaiknya dilakukan melalui investasi untuk mengurangi risiko yang dapat membebani anggaran fiskal. Hilirisasi sendiri walaupun diiringi dengan berbagai macam risiko, tetapi sepadan dengan manfaat yang diberikan. Seperti, memperkuat devisa negara, meningkatkan resiliensi pasar, dan mampu mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.
Tidak hanya sebatas pada industri minerba, tetapi semangat hilirisasi ini alangkah baiknya juga ikut dirajut dalam industri potensial yang lain seperti pertanian, perhutanan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya. Indonesia sendiri merupakan negara kaya dengan suplai alam dan manusia berlimpah nan aneka ragam. Melalui program hilirisasi, niscaya Indonesia mampu menjaga kedaulatan dan supremasi di ketidakpastian pasar global.
Pada saat bersamaan pemerintah harus juga melakukan pemberian insentif bagi pelaku ekonomi, seperti pelonggaran pajak dan penurunan bea masuk untuk produk pendukung industri hilir juga bisa terus diberikan. Maka dari itu, besar harapan misi ini dapat tercapai guna menjaga eksistensi perekonomian nasional.
(bmm)