Babak Baru Kasus Gagal Ginjal Akut
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PENANGANAN kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI), perlu terus dikawal. Jangan sampai kasus kemanusiaan yang banyak merenggut nyawa anak-anak tak berdosa, menguap begitu saja.
Suatu hal wajar, setiap kasus dituntaskan penyelesaiannya hingga ke akar masalahnya. Siapa pun terlibat mesti dimintakan pertanggungjawaban. Siapa pun menjadi korban, layak diberikan santuan, atau ganti kerugian. Keadilan, menjadi penting diwujudkan, dan diberikan kepada yang berhak.
Tanggal 11 November 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) digugat oleh Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) di PTUN Jakarta, tercatat dalam register No.400/G/TF/2022/PTUN JKT. Gugatan diajukan karena beberapa tindakan BPOM dinilai terkategorikan sebagai pembohongan publik. Karenanya, cukup beralasan, digugat melakukan perbuatan melawan hukum penguasa.
Gugatan lain datang dari keluarga korban. Diwakili kuasa hukumnya, mereka menggugat beberapa perusahaan farmasi, distributor, BPOM, serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ada 9 (sembilan) tergugat: (1) PT Afi Farma. Dalihnya, obat sirup dari PT Afi Farma dikonsumsi oleh 11 anak hingga meninggal dunia; (2) PT Universal Pharmaceutical Industries. Dalihnya, terdapat 1 orang anak yang mengonsumsi Unibebi Cough Syrup sampai menjalani perawatan hingga kini; (3) Tergugat ke-3 hingga ke-7 adalah pemasok bahan kimia ke industri farmasi.
Secara berurutan: PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Mega Setia Agung Kimia; (4) Tergugat ke-8 adalah BPOM; dan (5) Tergugat ke-9 adalah Kemenkes.
Dalam petitumnya, penggugat antara lain memohon agar: (1) Perusahaan farmasi dan distributor (tergugat 1-7) disita hartanya, dan bertanggung jawab terhadap akibat perbuatan melawan hukum; (2) Menuntut BPOM memperbaiki aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik(CPOB). Sebab jika CPOB sudah baik sejak awal, seharusnya tidak ada kejadian kasus gagal ginjal seperti yang terjadi saat ini; (3) Meminta Kemenkes menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB), agar korban yang tengah menjalani perawatan saat ini ditanggung biaya perawatannya; (4) Meminta ganti rugi senilai Rp 2,05 miliar per orang meninggal, dan Rp 1,03 miliar per orang sakit.
Hemat saya, tragedi AKI, layak dikategorikan sebagai malapraktik medis, khususnya bidang kefarmasian. Demi keadilan, maka aspek hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administratif, mesti ditegakkan. Di luar dua gugatan tersebut, mestinya, ada tindakan lain oleh aparat, baik untuk kasus malapraktik administratif, maupun malapraktik kriminal.
Dalam kasus AKI, nyata dijumpai malapraktik administrasi, antara lain: ketidak-profesionalan banyak pihak dalam memproduksi, mengedarkan, dan mengawasi kualitas obat-obat sirup untuk anak-anak. Akibat kelalaian ini, banyak korban terganggunya kesehatan, bahkan meninggal dunia.
Berdasarkan PP Nomor 72 Tahun 1998, keluarga korban mempunyai hak untuk mendapatkan ganti kerugian akibat malapraktik kefarmasian itu (Pasal 43 ayat 1). Patut diapresiasi, dan dibenarkan, atas kasus ini, KKI dan beberapa pengacara membantu keluarga korban untuk memperjuangkan hak-haknya (Pasal 49).
Demi keadilan, amat elegan, bila perjuangan tersebut direntang lebih luas, yakni memasukkan aspek perlindungan konsumen, pelaksanaan undang-undang kesehatan, undang-undang rumah sakit, undang-undang praktik kedokteran, tanggungjawab birokrasi, hingga aspek spiritual religius.
Merupakan kewajiban hukum dan kewajiban moral bahwa setiap manusia wajib menegakkan keadilan, pada setiap perbuatan yang dilakukannya. Hakikat keadilan adalahmemperlakukan seseorang atau orang lain sesuai haknya, atas kewajiban yang dilakukannya. Keadilan merupakan hak, sekaligus kebutuhan spiritual-religius, setiap manusia. Sudah semestinya, Negara hadir dan bertanggungjawab untuk pemenuhannya.
Di dalam Pancasila, keadilan disebutkan 2 (dua) kali, yakni: (1) keadilan individual (Sila ke-2), yang mesti dimiliki setiap penyelenggara negara dan warga negara (orang beradab); dan (2) keadilan sosial (Sila ke-5), yang mesti dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kasus AKI, dua jenis keadilan Pancasila tersebut, seluruhnya wajib diwujudkan. Pengadilan sebagai lembaga pemerintah (wadah penyelenggara negara/hakim), sekaligus lembaga sosial (tempat pencarian keadilan sosial), harus serius dan profesional dalam memeriksa gugatan kasus AKI, hingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh korban-korban AKI.
Amat diharapkan, pejabat publik (dan siapa pun) yang digugat karena diduga terlibat kasus AKI, hendaknyalegawamenghadapi gugatan tersebut. Kalaupun ada pembelaan diri, mesti dilakukan secara wajar, elegan, tanpa emosi. Tak perlu grogi. Kemandirian pengadilan, sungguh sangat diharapkan, agar vonis yang dihasilkannya, dapat dipertanggungjawabkan di ranah sosial-kebangsaan, maupun kelak di akhirat.Wallahu’alam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PENANGANAN kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI), perlu terus dikawal. Jangan sampai kasus kemanusiaan yang banyak merenggut nyawa anak-anak tak berdosa, menguap begitu saja.
Suatu hal wajar, setiap kasus dituntaskan penyelesaiannya hingga ke akar masalahnya. Siapa pun terlibat mesti dimintakan pertanggungjawaban. Siapa pun menjadi korban, layak diberikan santuan, atau ganti kerugian. Keadilan, menjadi penting diwujudkan, dan diberikan kepada yang berhak.
Tanggal 11 November 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) digugat oleh Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) di PTUN Jakarta, tercatat dalam register No.400/G/TF/2022/PTUN JKT. Gugatan diajukan karena beberapa tindakan BPOM dinilai terkategorikan sebagai pembohongan publik. Karenanya, cukup beralasan, digugat melakukan perbuatan melawan hukum penguasa.
Gugatan lain datang dari keluarga korban. Diwakili kuasa hukumnya, mereka menggugat beberapa perusahaan farmasi, distributor, BPOM, serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ada 9 (sembilan) tergugat: (1) PT Afi Farma. Dalihnya, obat sirup dari PT Afi Farma dikonsumsi oleh 11 anak hingga meninggal dunia; (2) PT Universal Pharmaceutical Industries. Dalihnya, terdapat 1 orang anak yang mengonsumsi Unibebi Cough Syrup sampai menjalani perawatan hingga kini; (3) Tergugat ke-3 hingga ke-7 adalah pemasok bahan kimia ke industri farmasi.
Secara berurutan: PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Mega Setia Agung Kimia; (4) Tergugat ke-8 adalah BPOM; dan (5) Tergugat ke-9 adalah Kemenkes.
Dalam petitumnya, penggugat antara lain memohon agar: (1) Perusahaan farmasi dan distributor (tergugat 1-7) disita hartanya, dan bertanggung jawab terhadap akibat perbuatan melawan hukum; (2) Menuntut BPOM memperbaiki aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik(CPOB). Sebab jika CPOB sudah baik sejak awal, seharusnya tidak ada kejadian kasus gagal ginjal seperti yang terjadi saat ini; (3) Meminta Kemenkes menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB), agar korban yang tengah menjalani perawatan saat ini ditanggung biaya perawatannya; (4) Meminta ganti rugi senilai Rp 2,05 miliar per orang meninggal, dan Rp 1,03 miliar per orang sakit.
Hemat saya, tragedi AKI, layak dikategorikan sebagai malapraktik medis, khususnya bidang kefarmasian. Demi keadilan, maka aspek hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administratif, mesti ditegakkan. Di luar dua gugatan tersebut, mestinya, ada tindakan lain oleh aparat, baik untuk kasus malapraktik administratif, maupun malapraktik kriminal.
Dalam kasus AKI, nyata dijumpai malapraktik administrasi, antara lain: ketidak-profesionalan banyak pihak dalam memproduksi, mengedarkan, dan mengawasi kualitas obat-obat sirup untuk anak-anak. Akibat kelalaian ini, banyak korban terganggunya kesehatan, bahkan meninggal dunia.
Berdasarkan PP Nomor 72 Tahun 1998, keluarga korban mempunyai hak untuk mendapatkan ganti kerugian akibat malapraktik kefarmasian itu (Pasal 43 ayat 1). Patut diapresiasi, dan dibenarkan, atas kasus ini, KKI dan beberapa pengacara membantu keluarga korban untuk memperjuangkan hak-haknya (Pasal 49).
Demi keadilan, amat elegan, bila perjuangan tersebut direntang lebih luas, yakni memasukkan aspek perlindungan konsumen, pelaksanaan undang-undang kesehatan, undang-undang rumah sakit, undang-undang praktik kedokteran, tanggungjawab birokrasi, hingga aspek spiritual religius.
Merupakan kewajiban hukum dan kewajiban moral bahwa setiap manusia wajib menegakkan keadilan, pada setiap perbuatan yang dilakukannya. Hakikat keadilan adalahmemperlakukan seseorang atau orang lain sesuai haknya, atas kewajiban yang dilakukannya. Keadilan merupakan hak, sekaligus kebutuhan spiritual-religius, setiap manusia. Sudah semestinya, Negara hadir dan bertanggungjawab untuk pemenuhannya.
Di dalam Pancasila, keadilan disebutkan 2 (dua) kali, yakni: (1) keadilan individual (Sila ke-2), yang mesti dimiliki setiap penyelenggara negara dan warga negara (orang beradab); dan (2) keadilan sosial (Sila ke-5), yang mesti dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kasus AKI, dua jenis keadilan Pancasila tersebut, seluruhnya wajib diwujudkan. Pengadilan sebagai lembaga pemerintah (wadah penyelenggara negara/hakim), sekaligus lembaga sosial (tempat pencarian keadilan sosial), harus serius dan profesional dalam memeriksa gugatan kasus AKI, hingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh korban-korban AKI.
Amat diharapkan, pejabat publik (dan siapa pun) yang digugat karena diduga terlibat kasus AKI, hendaknyalegawamenghadapi gugatan tersebut. Kalaupun ada pembelaan diri, mesti dilakukan secara wajar, elegan, tanpa emosi. Tak perlu grogi. Kemandirian pengadilan, sungguh sangat diharapkan, agar vonis yang dihasilkannya, dapat dipertanggungjawabkan di ranah sosial-kebangsaan, maupun kelak di akhirat.Wallahu’alam.
(bmm)