Masjid Klenteng, Simbol Toleransi di Salatiga

Selasa, 29 November 2022 - 12:52 WIB
loading...
Masjid Klenteng, Simbol Toleransi di Salatiga
Pengelola Masjid Klenteng Salatiga Cholid Mawardi menceritakan, Masjid Klenteng ini didirikan oleh seorang mualaf warga Tionghoa bernama Yusuf Hidayatullah pada 2005 silam.
A A A
Ada bangunan yang sangat unik dan menggoda mata untuk dilihat di Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Sekilas, bangunan yang terletak di Jalan Abiyoso Nomor 14 Dukuh tersebut adalah klenteng, tempat ibadah penganut agama Konghucu.

Gapura besar berkelir merah dipadu kuning cerah yang ada di pinggir Jalan Abiyoso pun menguatkan asumsi itu. Namun siapa sangka, ketika dilihat lebih dekat, bangunan dengan ornamen Tionghoa yang didominasi warna merah dan dihiasi lampu lampion tersebut merupakan masjid, tempat ibadah umat Islam.

Masjid bernuansa klenteng ini bernama Majelis Taklim Hidayatullah. Tapi masyarakat Salatiga lebih mengenal dengan sebutan Masjid Klenteng.

Mengapa sampai ada masjid berupa klenteng? Pengelola Masjid Klenteng Salatiga Cholid Mawardi menceritakan, Masjid Klenteng ini didirikan oleh seorang mualaf warga Tionghoa bernama Yusuf Hidayatullah pada 2005 silam. Yusuf merupakan pengusaha makanan khas Salatiga, yakni enting-enting gepuk.

Yusuf membangun masjid tersebut sepulang dia beribadah di Tanah Suci Mekah dan Madinah. Yusuf sengaja membangun masjid dengan ornamen khas Tionghoa karena dirinya ingin memeluk agama Islam tanpa meninggalkan budaya nenek moyangnya.

Setelah Yusuf Abdullah wafat, kakak Cholid yakni Agus Ahmad membeli tanah serta bangunan ini. “Akhirnya kita akuisisi atau kita beli dua tahun yang lalu yakni 2020. Jadi kita hanya meneruskan yang sudah ada. Bangunan Masjid Klenteng ini kita wakafkan tapi yang lainnya tidak,” ujarnya.

Pengelola masjid pun tidak mengubah bangunan tersebut melainkan merenovasi jika ada yang sudah rusak. “Kami tidak akan mengubah bangunan ini, tapi jika ada yang sudah jelek atau rusak kami renovasi karena memang bentuknya yang unik serta akulturasi budaya yang sesuai dengan ciri khas Kota Salatiga,” ujarnya.

Pengelola masjid lantas menambah sejumlah fasilitas di Masjid Klenteng ini seperti aula. “Kami menambah fasilitas seperti Aula H. Zaenal Abidin tetapi tetap dengan corak serta dekorasi khas Tionghoa,” ucapnya.

Selain tempat ibadah, di masjid ini juga terdapat Pondok Pesantren Enterpreneur. Tujuan pendirian pondok ini adalah agar Masjid Klenteng kian semarak. Saat ini, ada sekitar 35 santri yang mondok. Mereka dari pagi hingga malam selalu mengisi kegiatannya di Masjid Klenteng, mulai dari salat sampai mengaji bersama.

Untuk pengembangan, lahan sebelah timur masjid juga dibangun mess bagi santri. Saat ini sudah ada 10 santriwan dan 25 santriwati dari berbagai daerah di Indonesia. Santriwan dan santriwati itu belajar mulai dari jenjang SMP, SMA dan kuliah.

Seperti pada umumnya, pesantren ini juga untuk memperdalam ilmu agama. Namun nilai plus lain di ponpes di bawah Yayasan H. Zaenal Abidin ini adalah para santri juga dibekali dengan ilmu kewirausahaan (entrepreneurship).

Salah seorang pendiri Yayasan Zaenal Abidin, Ustaz Agus Ahmad (46) mengatakan, selain memperdalam ilmu agama berbasis salaf dengan kitab-kitab kuning, santri juga dibekali dengan ilmu entrepeneuer atau berbisnis. Harapannya ketika lulus kuliah dan lulus dari ponpes, santri tidak bingung masalah pekerjaan karena sudah bisa menghasilkan uang sendiri.

Tak hanya dikenal dengan pesantren wirausaha, Masjid Klenteng juga masyhur dengan aktivitas sosial kemasyarakatan. Ini mudah terlihat ketika Bulan Ramadan. Pengelola Masjid Klenteng dan santri rutin menggelar bagi-bagi takjil. Bahkan, begitu menyatunya dengan masyarakat maupun budayanya, pengelola juga menggelar buka puasa bersama.

Masyarakat Multikultural
Masjid Klenteng, Simbol Toleransi di Salatiga

Masjid Klenteng. (Foto: dok Kemenag Jateng)

Masjid Klenteng adalah sedikit potret keunikan dari Kota Salatiga yang dikenal dengan kota dengan toleransi tinggi. Toleransi ini terbangun karena masyarakat kota yang bermukim di bawah Gunung Merbabu ini sudah terbiasa menjalankan cara pandang, sikap dan perilaku yang moderat dalam beragama.

Berkat praktik moderasi beragama yang teguh dijaga ini, Kota Salatiga pun selalu masuk dalam langganan tiga besar kota tertoleran se-Indonesia sejak 2015 hingga sekarang. Pada 2015, Salatiga dinobatkan sebagai kota paling toleran nomor dua. Kemudian pada 2017 turun di nomor tiga.

Pada 2018 naik ke nomor 2 dan 2020 Salatiga ditetapkan sebagai kota tertoleran nomor satu di Indonesia.

Selain beragama yang moderat di tengah masyarakat multikultural, keberhasilan ini, tak lepas dari kebijakan pemerintah kota yang tidak diskriminatif terhadap semua penganut agama.

Hal ini juga didukung oleh kuatnya kolaborasi dan sinergi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah kota selaku pemangku kebijakan, Kementerian Agama, Forkopimda, organisasi keagamaan terutama Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Salatiga. Terus terjaganya kerukunan ini juga sejalan dengan program prioritas Kementerian Agama yang menempatkan 2022 sebagai Tahun Toleransi.

Gambaran lain kuatnya toleransi dan kerukunan beragama ini bisa dilihat dalam momen hari besar agama. Seperti saat Bulan Suci Ramadan, umat kristiani di Salatiga turut menyediakan takjil untuk berbuka puasa bagi warga muslim yang melintas di depan Gereja Paulus Miki, di Jalan Diponegoro Salatiga dan tempat lainnya.

Saat Idul Fitri, warga nonmuslim juga memberikan ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dan saling meminta maaf. Begitu pula saat warga Nasrani merayakan Natal.

Warga muslim seperti anggota Banser dan organisasi keagamaan lainnya di Salatiga juga ikut menjaga pelaksanaan Misa Natal yang digelar di alun-alun Pancasila dan sejumlah gereja. Ini wujud tingginya toleransi dan kuatnya kerukunan beragama di Salatiga.

Ketua FKUB Kota Salatiga Noor Rofiq mengakui hal ini. FKUB bahkan terus berupaya mempererat toleransi antar umat beragama di antaranya sosialisasi terkait toleransi kepada pelajar SMA dan PKK hingga tingkat RT.

“Upaya yang kita lakukan juga mengantarkan Salatiga meraih penghargaan kota tertoleran pelajar se-Indonesia yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan belum lama ini,” katanya.

Selain soal tempat ibadah, tingginya praktik moderasi beragama juga terlihat di kampus atau lembaga pendidikan. Di Kota Salatiga terdapat perguruan tinggi yang mahasiswanya berasal dari Sabang sampai Merauke.

Ini turut memberikan andil terhadap kemajemukan di Kota Salatiga. Bahkan Kota Salatiga yang dihuni oleh penduduk dari beragam suku, agama dan ras berbeda, namun kehidupan sosial dan kerukunan beragama bisa terjalin rukun, sejuk dan damai.

Ketua DPRD Kota Salatiga Dance Ishak Palit menuturkan Kota Salatiga dikenal sebagai Indonesia Mini karena terdapat lebih dari 30 etnis yang hidup berdampingan dengan menjaga semangat kebersamaan. Masyarakat juga bisa merawat kebhinekaan dan keberagaman.

“Ini tercapai berkat kerja keras dan peran serta tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat keamanan serta masyarakat. Karena modal awal toleransi adalah memahami semua perbedaan dan semangat untuk merawat keberagaman tersebut,” katanya.

Dia menyatakan, proses menempatkan Kota Salatiga sebagai kota paling toleran se-Indonesia tidak pendek. Masyarakat juga berpengaruh dan memiliki peran penting dalam meraih prestasi ini.

“Kemudian yang juga berpengaruh adalah peran pemerintah terkait kebijakan, regulasi dan tindakan dalam mengelola gejolak di masyarakat,” tuturnya. Adv-anf
(ars)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2159 seconds (0.1#10.140)