Sulit Disamai! 2 Jenderal Lulusan Terbaik Akmil Ini Sukses Jadi Panglima TNI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masa pengabdian Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa di militer tinggal hitungan hari. Akhir Desember 2022, prajurit yang memulai karier di Kopassus ini memasuki pensiun. Seiring momen itu, bursa pergantian jabatan Panglima TNI pun menyeruak.
Tiga kepala staf angkatan dinilai memiliki peluang. Mereka yakni KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman, KSAL Laksamana TNI Yudo Margono, dan KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo. Kendati demikian, hingga kini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menyerahkan surat presiden (surpres) kepada DPR terkait penggantian ini.
Anggota Komisi I DPR Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengatakan KSAD, KSAL, dan KSAU sudah pasti memenuhi syarat menjadi Panglima TNI. Karena itu, DPR menyerahkan sepenuhnya kewenangan memilih kepada Presiden. “Presiden Jokowi lah yang lebih mengetahui kebutuhan bagi institusi TNI,” ujarnya dihubungi SINDOnews belum lama ini.
Mengacu sejarah militer Indonesia, jenderal AD, AL hingga AU pernah mengisi jabatan puncak TNI ini. Namun dari deretan perwira tinggi bintang empat itu, baru dua orang yang memiliki predikat lulusan terbaik Akademi Militer.
Dua sosok tersebut yakni mendiang Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat dan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. Kebetulan catatan karier keduanya hampir mirip, sama-sama menjadi KSAD sebelum kemudian ditunjuk Presiden sebagai Panglima TNI.
Untuk diketahui, titel lulusan terbaik dengan meraih penghargaan Garuda Yaksa baru disematkan pada 1960 atau angkatan pertama lulusan Akademi Militer Nasional (AMN). Selain Garuda Yaksa adapula Kartika Cendekia yang mengacu terbaik dari sisi akademik. Penyebutan ini dilakukan hingga 1966.
Setelah itu terjadi perubahan yakni Adhi Makayasa dan Tri Sakti Wiratama. Penghargaan Adhi Makayasa diberikan kepada lulusan terbaik dari tiga aspek: akademis, jasmani, dan kepribadian (mental) selama menempuh masa pendidikan.
Sedangkan Tri Sakti Wiratama merupakan penghargaan untuk lulusan terbaik dari tiga aspek (sama seperti Adhi Makayasa), namun hanya diberikan di tingkat akhir. Banyak lulusan Adhi Makayasa sekaligus meraih Tri Sakti Wiratama. Namun ada kalanya penghargaan itu diraih orang berbeda.
Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat
Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat merupakan lulusan AMN angkatan pertama pada 1960. Prestasinya selama pendidikan mentereng: menjadi lulusan terbaik atau Garuda Yaksa, istilah pada zaman itu.
Seperti kecemerlangannya di bidang akademis, karier militernya juga terang-benderang. Serdadu kelahiran Jambi 22 April 1938 itu mula-mula ditugaskan sebagai Komandan Peleton di Batalyon Infanteri 515/Tanggul, Jember (1961-1962). Setelah itu dia diterjunkan di medan tempur Operasi Trikora.
Mengutip laman Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional, Edi juga pernah diceburkan dalam operasi penumpasan Republik Maluku Selatan. Saat menembus bintang satu, jenderal bertubuh ceking ini antara lain dipercaya sebagai Panglima Komando Tempur Lintas Udara Kostrad.
Setelah itu dia dipromosikan sebagai Pangdam II/Bukit Barisan di Medan, kemudian Pangdam Kodam III/Siliwangi di Bandung pada kurun 1983-1985. Kariernya makin mengilap dengan penunjukan sebagai Asisten Operasi Kasum ABRI, berlanjut ke Wakil Kepala Staf TNI AD (1986-1988) dengan tiga bintang emas di pundak (letjen).
Tak berselang lama, jabatan prestisius mampir lagi di pundaknya. Edi dipercaya menjadi KSAD, menggantikan Jenderal TNI Try Sutrisno yang diangkat Soeharto sebagai Panglima ABRI. Menariknya ketika Try berakhir masa jabatan, Edi Sudrajat kembali menggantikan.
Dia menjabat Panglima dalam periode sangat singkat yakni 19 Februari 1993-21 Mei 1993. Setelah itu Soeharto lebih memfokuskannya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (1993-1998). Adapun sosok yang menggantikannya sebagai Panglima yakni Jenderal TNI Feisal Tanjung.
Selepas dari tentara, dia sempat terjun ke politik dengan turut mendirikan dan menjabat Ketua Umum Pertai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Edi meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada 1 Desember 2006. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Jiwa heroik dan keberanian adalah salah satu pantulan karakter Pak Edi. Bagi banyak prajurit TNI, sosok Edi Sudrajat selaku perwira militer profesional memancarkan wibawa dari karakter yang kuat dan tangguh. Ia merupakan cermin sekaligus figur teladan bagi prajurit, yang mungkin sulit ditemukan lagi,” kata mantan Wakil KSAD Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam bukunya “Aku Hanya Tentara: Catatan Militer, Kepemimpinan dan Kebangsaan Kiki Syahnakri,” dikutip Sabtu (26/11/2022).
Jenderal TNI (Purn) Moeldoko
Lahir di Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur, Moeldoko memilih berkarier sebagai tentara. Dia masuk Akabri Darat (kini Akmil) dan lulus pada 1981. Prestasinya di Lembah Tidar itu sangat cemerlang. Moel merupakan peraih Adhi Makayasa-Tri Sakti Wiratama.
Penugasan militernya beragam, namun sebagian besar langsung di teritorial (kewilayahan). Moeldoko mula-mula menjabat sebagai Danton Yonif Linud 700/BS Kodam XIV/Hasanuddin (1981), kemudian Danki A Yonif Linud 700/BS Kodam XIV/Hasanuddin (1983) hingga Kasi Operasi Yonif Linud 700/BS Kodam VII/Wirabuana.
Perjalanan waktu mengantarkannya pada berbagai promosi jabatan. Semasa bintang dua, jabatan strategis yang diembannya antara lain Panglima Divisi Infanteri 1/Kostrad (2010), Pangdam XII/Tanjungpura dan Pangdam III/Siliwangi (2010). Kariernya terus meroket. Bintang emas di pundaknya juga bertambah.
Menyandang pangkat letjen, Moeldoko dipasrahi tanggung jawab sebagai Wakil Gubernur Lemhannas (2011). Namanya kian melejit saat ditunjuk sebagai Wakil KSAD pada 2013. Tak butuh lama, dia melesat menjadi orang nomor satu di matra Darat atau KSAD pada 2013. Moeldoko menggantikan seniornya, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo.
Menariknya, jabatan superstrategis itu hanya dipegang hanya tiga bulan. Sebab, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya sebagai Panglima TNI. Moeldoko menjabat sebagai orang nomor satu di militer dalam kurun 2013-2015. Selepas dari TNI, Moeldoko dipercaya Presiden Jokowi menjadi Kepala Staf Presiden hingga kini.
Tiga kepala staf angkatan dinilai memiliki peluang. Mereka yakni KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman, KSAL Laksamana TNI Yudo Margono, dan KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo. Kendati demikian, hingga kini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menyerahkan surat presiden (surpres) kepada DPR terkait penggantian ini.
Anggota Komisi I DPR Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengatakan KSAD, KSAL, dan KSAU sudah pasti memenuhi syarat menjadi Panglima TNI. Karena itu, DPR menyerahkan sepenuhnya kewenangan memilih kepada Presiden. “Presiden Jokowi lah yang lebih mengetahui kebutuhan bagi institusi TNI,” ujarnya dihubungi SINDOnews belum lama ini.
Mengacu sejarah militer Indonesia, jenderal AD, AL hingga AU pernah mengisi jabatan puncak TNI ini. Namun dari deretan perwira tinggi bintang empat itu, baru dua orang yang memiliki predikat lulusan terbaik Akademi Militer.
Dua sosok tersebut yakni mendiang Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat dan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. Kebetulan catatan karier keduanya hampir mirip, sama-sama menjadi KSAD sebelum kemudian ditunjuk Presiden sebagai Panglima TNI.
Untuk diketahui, titel lulusan terbaik dengan meraih penghargaan Garuda Yaksa baru disematkan pada 1960 atau angkatan pertama lulusan Akademi Militer Nasional (AMN). Selain Garuda Yaksa adapula Kartika Cendekia yang mengacu terbaik dari sisi akademik. Penyebutan ini dilakukan hingga 1966.
Setelah itu terjadi perubahan yakni Adhi Makayasa dan Tri Sakti Wiratama. Penghargaan Adhi Makayasa diberikan kepada lulusan terbaik dari tiga aspek: akademis, jasmani, dan kepribadian (mental) selama menempuh masa pendidikan.
Sedangkan Tri Sakti Wiratama merupakan penghargaan untuk lulusan terbaik dari tiga aspek (sama seperti Adhi Makayasa), namun hanya diberikan di tingkat akhir. Banyak lulusan Adhi Makayasa sekaligus meraih Tri Sakti Wiratama. Namun ada kalanya penghargaan itu diraih orang berbeda.
Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat
Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat merupakan lulusan AMN angkatan pertama pada 1960. Prestasinya selama pendidikan mentereng: menjadi lulusan terbaik atau Garuda Yaksa, istilah pada zaman itu.
Seperti kecemerlangannya di bidang akademis, karier militernya juga terang-benderang. Serdadu kelahiran Jambi 22 April 1938 itu mula-mula ditugaskan sebagai Komandan Peleton di Batalyon Infanteri 515/Tanggul, Jember (1961-1962). Setelah itu dia diterjunkan di medan tempur Operasi Trikora.
Mengutip laman Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional, Edi juga pernah diceburkan dalam operasi penumpasan Republik Maluku Selatan. Saat menembus bintang satu, jenderal bertubuh ceking ini antara lain dipercaya sebagai Panglima Komando Tempur Lintas Udara Kostrad.
Setelah itu dia dipromosikan sebagai Pangdam II/Bukit Barisan di Medan, kemudian Pangdam Kodam III/Siliwangi di Bandung pada kurun 1983-1985. Kariernya makin mengilap dengan penunjukan sebagai Asisten Operasi Kasum ABRI, berlanjut ke Wakil Kepala Staf TNI AD (1986-1988) dengan tiga bintang emas di pundak (letjen).
Tak berselang lama, jabatan prestisius mampir lagi di pundaknya. Edi dipercaya menjadi KSAD, menggantikan Jenderal TNI Try Sutrisno yang diangkat Soeharto sebagai Panglima ABRI. Menariknya ketika Try berakhir masa jabatan, Edi Sudrajat kembali menggantikan.
Dia menjabat Panglima dalam periode sangat singkat yakni 19 Februari 1993-21 Mei 1993. Setelah itu Soeharto lebih memfokuskannya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (1993-1998). Adapun sosok yang menggantikannya sebagai Panglima yakni Jenderal TNI Feisal Tanjung.
Selepas dari tentara, dia sempat terjun ke politik dengan turut mendirikan dan menjabat Ketua Umum Pertai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Edi meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada 1 Desember 2006. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Jiwa heroik dan keberanian adalah salah satu pantulan karakter Pak Edi. Bagi banyak prajurit TNI, sosok Edi Sudrajat selaku perwira militer profesional memancarkan wibawa dari karakter yang kuat dan tangguh. Ia merupakan cermin sekaligus figur teladan bagi prajurit, yang mungkin sulit ditemukan lagi,” kata mantan Wakil KSAD Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam bukunya “Aku Hanya Tentara: Catatan Militer, Kepemimpinan dan Kebangsaan Kiki Syahnakri,” dikutip Sabtu (26/11/2022).
Jenderal TNI (Purn) Moeldoko
Lahir di Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur, Moeldoko memilih berkarier sebagai tentara. Dia masuk Akabri Darat (kini Akmil) dan lulus pada 1981. Prestasinya di Lembah Tidar itu sangat cemerlang. Moel merupakan peraih Adhi Makayasa-Tri Sakti Wiratama.
Penugasan militernya beragam, namun sebagian besar langsung di teritorial (kewilayahan). Moeldoko mula-mula menjabat sebagai Danton Yonif Linud 700/BS Kodam XIV/Hasanuddin (1981), kemudian Danki A Yonif Linud 700/BS Kodam XIV/Hasanuddin (1983) hingga Kasi Operasi Yonif Linud 700/BS Kodam VII/Wirabuana.
Perjalanan waktu mengantarkannya pada berbagai promosi jabatan. Semasa bintang dua, jabatan strategis yang diembannya antara lain Panglima Divisi Infanteri 1/Kostrad (2010), Pangdam XII/Tanjungpura dan Pangdam III/Siliwangi (2010). Kariernya terus meroket. Bintang emas di pundaknya juga bertambah.
Menyandang pangkat letjen, Moeldoko dipasrahi tanggung jawab sebagai Wakil Gubernur Lemhannas (2011). Namanya kian melejit saat ditunjuk sebagai Wakil KSAD pada 2013. Tak butuh lama, dia melesat menjadi orang nomor satu di matra Darat atau KSAD pada 2013. Moeldoko menggantikan seniornya, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo.
Menariknya, jabatan superstrategis itu hanya dipegang hanya tiga bulan. Sebab, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya sebagai Panglima TNI. Moeldoko menjabat sebagai orang nomor satu di militer dalam kurun 2013-2015. Selepas dari TNI, Moeldoko dipercaya Presiden Jokowi menjadi Kepala Staf Presiden hingga kini.
(kri)