Pneumonia: Pembunuh Bayi dan Balita yang Terlupakan

Rabu, 09 November 2022 - 14:35 WIB
loading...
Pneumonia: Pembunuh Bayi dan Balita  yang Terlupakan
Rina Triasih (Foto: Ist)
A A A
Rina Triasih
Dokter Spesialis Anak Konsultan Respirologi, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Dosen FK-KMK UGM, Ketua UKK Respirologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia

SEJAK sebelum masa pandemi Covid-19, pneumonia atau radang paru-paru telah dijuluki sebagai “the forgotten killer” (pembunuh yang terlupakan) bagi bayi dan anak, terutama anak usia di bawah lima tahun (balita).

Pneumonia masih merupakan penyebab kematian utama pada anak di dunia, tapi kurang mendapatkan prioritas. Menurut UNICEF, setiap tahun pneumonia menyebabkan kematian pada sekitar 800.000 anak atau sekitar 2.200 anak di dunia meninggal akibat pneumonia per hari.

Menurut data yang dilaporkan di Profil Kesehatan Indonesia 2020, pada 2019 diperkirakan terdapat 885.551 balita yang mengalami pneumonia. Pneumonia dan diare merupakan penyebab utama kematian pada anak di Indonesia, dengan jumlah kematian sekitar 20.000 per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian akibat Covid-19 pada anak.

Baca Juga: koran-sindo.com

Pneumonia atau radang paru adalah penyakit yang bisa disebabkan oleh bakteri, virus (termasuk SARS-CoV-2) atau jamur. Pada pneumonia, kantong udara pada paru terisi cairan sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida. Akibatnya, anak dengan pneumonia mengalami kekurangan oksigen (hipoksemia) dan akan kesulitan bernapas.

Di tingkat global maupun nasional, program penanggulangan pneumonia yang komprehensif dengan slogan “lindungi, cegah dan obati”, merupakan program yang sudah sejak lama dikenal dan terbukti efektif. Program-program tersebut antara lain: pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan yang adekuat, pemberian vitamin A, vaksinasi, cuci tangan dengan sabun, pencarian pengobatan dini dan pemberian tata laksana (antibiotika dan oksigen) yang rasional.

Pneumonia dapat dicegah, dan upaya-upaya pencegahannya telah lama dikenal dan tersedia, antara lain dengan pemberian vaksin. Vaksin-vaksin yang bermanfaat untuk mencegah pneumonia adalah vaksin Diphteri, Pertusis, HiB, Campak dan Pneumokokus. Vaksin Diphteri, Pertusis, HiB dan Campak telah lama menjadi bagian dari program imunisasi nasional di Indonesia, dan telah rutin diberikan pada balita.

Vaksin pneumokokus terbukti efektif untuk mencegah pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, yaitu bakteri yang sering menyebabkan pneumonia berat dan kematian pada anak. Di tingkat global vaksin pneumokokus untuk anak telah direkomendaiskan sejak 2000-an, dan di Indonesia telah diberikan pada anak di layanan praktik swasta dengan harga yang tidak murah.

Tahun 2022 merupakan tonggak yang penting bagi pencegahan pneumonia pada anak di Indonesia karena pada tahun ini pemerintah memasukkan vaksin Pneumokokus sebagai vaksin rutin pada program imunisasi nasional untuk bayi usia < 12 bulan, yang bisa didapatkan secara gratis di Puskesmas.

Sebagian besar kematian pada pneumonia disebabkan oleh kondisi hipoksemia, yang sebenarnya dapat dicegah jika anak tidak terlambat diobati. Oleh karena itu pengenalan dini gejala pneumonia oleh orang tua dan tenaga kesehatan menjadi salah satu kunci penting untuk menghindarkan anak dari kematian akibat pneumonia. Gejala utama pneumonia, yaitu batuk dan napas cepat, merupakan gejala yang dapat dikenali oleh orang tua. Orang tua dapat diajari cara menghitung laju napas anak dalam satu menit, dan diberikan informasi tentang batasan napas cepat pada anak.

MenasIhati orang tua untuk segera membawa anaknya ke fasilitas kesehatan terdekat jika terdapat napas cepat atau tanda bahaya lainnya, juga merupakan hal penting untuk mencegah keterlambatan penanganan pneumonia. Upaya-upaya sederhana tersebut tertuang dalam manajemen terpadu balita sakit (MTBS) yang dibuat oleh WHO dan UNICEF dan telah diperkenalkan sejak tahun 1996.

Implementasi MTBS di Puskesmas di Indonesia telah diadakan sejak awal 2000. Pemeriksaan untuk semua bayi dan balita sakit yang berkunjung ke Puskesmas seharusnya dilakukan dengan pendekatan MTBS dan dokter/perawat mengisi form pemeriksaan MTBS untuk masing-masing bayi/balita tersebut.

Dengan pendekatan MTBS, bayi/balita yang datang berobat ke Puskesmas akan dievaluasi secara komprehensif terkait beberapa hal dan penyakit yang sering menyebabkan kesakitan dan kematian pada bayi dan balita. Misalnya ada seorang anak yang dibawa ke Puskesmas karena batuk, dengan pendekatan MTBS, dokter/perawat akan melakukan pemeriksaan lengkap dan menanyakan gejala dan tanda demam, diare, infeksi telinga, masalah gizi, kelengkapan imunisasi dan lain-lain.

Tata laksana bayi dan balita sakit dengan menggunakan pendekatan MTBS telah terbukti efektif untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan balita di dunia. Pada 2020 dilaporkan bahwa presentase kabupaten/kota di Indonesia yang 50% puskesmasnya melaksanakan pemeriksaan dan tata laksana pneumonia sesuai standar pneumonia mencapai 60,7%, telah melampaui target Renstra tahun 2020 yaitu sebesar 50%.

Jika kita hanya melihat angka yang dilaporkan, kita akan merasa bahwa program MTBS telah berjalan dengan baik. Pada tahun ini penulis mengikuti kunjungan lapangan ke beberapa kabupaten/kota untuk mengevaluasi program penanggulangan pneumonia di fasilitas pelayanan kesehatan dan di komunitas, dan menemukan bahwa walaupun laporan yang diberikan oleh Puskesmas bagus, tetapi pelaksanaan MTBS masih belum sesuai dengan yang seharusnya.

Pelatihan MTBS bagi petugas kesehatan di Puskesmas telah lama tidak dilakukan. Masih ada dokter dan perawat Puskesmas yang belum paham tentang MTBS, termasuk gejala pneumonia dan tata laksananya.

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) di bidang kesehatan, yang salah satunya adalah mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada balita menjadi 25 per 1.000 kelahiran pada 2030. Jika kita bisa menurunkan angka kematian akibat pneumonia secara bermakna, hal ini akan berkontribusi besar untuk mencapai target SDGs tersebut.

Oleh karena itu, pneumonia pada anak perlu mendapat perhatian yang lebih serius dan menjadi salah satu prioritas. Walaupun telah rutin dilakukan, capaian program-program terkait “lindungi, cegah dan obati” pneumonia pada anak di Indonesia masih belum semuanya baik, dan kualitas pelaksanaan di lapangan perlu ditingkatkan.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan capaian, tetapi pneumonia masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada bayi dan anak. Pandemi Covid-19 telah memberikan pembelajaran yang sangat berarti dalam penanggulangan suatu penyakit. Upaya komprehensif, inovatif, masif dan melibatkan berbagai sektor sangat diperlukan untuk mengentaskan masalah pneumonia di Indonesia.

Tanggal 12 November mendatang yang diperingati sebagai Hari Pneumonia Sedunia perlu dijadikan momentum untuk mulai melakukan aksi bersama yang nyata. Setiap napas anak sangat berharga, lindungi anak Indonesia dari pneumonia!
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1627 seconds (0.1#10.140)