Intervensi Remaja Menuju 'Zero New Stunting'

Jum'at, 04 November 2022 - 10:15 WIB
loading...
Intervensi Remaja Menuju Zero New Stunting
Ali Khomsan (Foto: Ist)
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

BERBAGAI kajian ilmiah telah mengungkap dampak buruk stunting. Kemampuan kognitif anak stunting diketahui lebih rendah sehingga mengakibatkan rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM).

Pada saat dewasa anak stunting akan lebih mudah mengembangkan penyakit kronis (misal: diabetes) yang akan menurunkan produktivitas kerja. Selain itu, stunting menyebabkan generasi yang akan datang lebih mudah gemuk.

Kalau kita menelaah masalah stunting, pertama-tama yang harus kita cermati adalah problem di hulu. Salah satu target program gizi di hulu adalah remaja putri usia SMP-SMA. Memasuki periode remaja, ancaman gizi yang mereka hadapi adalah anemia. Anemia hingga kini masih menjadi problem gizi yang paling sulit diatasi.

Baca Juga: koran-sindo.com

Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya asupan pangan hewani di kalangan masyarakat Indonesia. Konsumsi ikan, telur, daging, maupun susu yang rendah merupakan cermin kurangnya daya beli kita.

Jadi, kalau saat remaja mereka sudah mengalami anemia, pada periode selanjutnya, yakni dewasa muda hingga memasuki jenjang pernikahan, mereka akan senantiasa diintip problem gizi ini. Anemia di saat hamil mendatangkan risiko bayi lahir stunting. Stunting menjadi lingkaran setan yang sulit diatasi, kecuali dilakukan intervensi gizi sejak remaja.

Intervensi gizi andalan pemerintah untuk remaja putri adalah pemberian tablet tambah darah (TTD Rematri) yang harus diminum seminggu sekali sepanjang tahun. Dalam implementasinya program ini dapat dikatakan belum optimal. Mengapa? Meski ketersediaan TTD di tingkat puskesmas hingga sekolah sudah lebih dari cukup, kepatuhan remaja putri untuk minum TTD masih sangat rendah.

Berbagai alasan yang muncul di kalangan remaja putri untuk tidak minum TTD adalah karena rasa mual sehabis minum tablet, bau besi saat bersendawa, kurangnya edukasi sehingga TTD dianggap hanya cocok untuk wanita hamil, kurang optimalnya dukungan dari pihak sekolah, dll.

Sepertinya hanya sektor kesehatan yang selama ini sibuk dengan program ini. Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan TTD dan distribusinya hingga puskesmas dan sekolah, dinas kesehatan telah berperan secara signifikan dalam program TTD Rematri ini. Padahal, sektor pendidikan dan agama yang memiliki siswi-siswi di tingkat SMP, SMA, dan madrasah harus juga mendorong terjaganya kepatuhan para siswi untuk minum TTD secara rutin.

Dalam praktiknya, ketika pihak sekolah tidak mendeklarasikan hari tertentu sebagai hari minum TTD di sekolah dan membiarkan tablet diminum di rumah, kegagalan program ini sudah tampak di depan mata. Banyak siswi yang kemudian membuang tablet, tidak meminumnya sesuai anjuran, dan uang negara untuk program TTD Rematri hilang percuma.

Kegiatan pemantauan kepatuhan minum TTD bersumber pada pihak sekolah. Bila pemantauan tidak dilakukan serius dan pelaporan hanya memenuhi kewajiban administratif, sesungguhnya program TTD Rematri menjadi tidak bisa diandalkan sebagai program hulu untuk atasi stunting. Akibatnya, zero new stunting akan sulit diraih apabila remaja-remajanya sudah mempunyai problem gizi sejak awal. Zero new stunting berarti ibu-ibu melahirkan anak tidak stunting dengan panjang badan lahir >48 cm.

Kewajiban ibu hamil untuk minum TTD selama tiga bulan dalam rentang kehamilannya adalah untuk menjaga agar ibu tidak menderita anemia dan kualitas bayi yang akan dilahirkan menjadi lebih baik. Ironisnya, angka anemia ibu hamil justru meningkat dari 37,1% (2013) menjadi 48,9% (2018).

Risiko yang mungkin muncul dari ibu hamil anemia adalah lahirnya bayi dengan berat badan lahir rendah (<2,5 kg) atau panjang badan lahir kurang (<48 cm). Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa persoalan di hulu sangatlah besar dan harus dibenahi terlebih dulu sebelum kita berharap pada penurunan angka stunting menjadi 14% pada 2024.

Periode balita yang sering disebut golden age menjadi titik rawan bagi seorang anak untuk mengalami gangguan gizi. Problem kemiskinan yang mendera 27 juta penduduk Indonesia akan menekan akses pangan keluarga. Anak balita termasuk kelompok rawan (vulnerable group) yang tumbuh kembangnya sangat dipengaruhi lingkungan sekitar, terutama ketersediaan pangan di tingkat keluarga. Kemiskinan, buruknya sanitasi lingkungan, dan pola asuh yang tidak optimal akan melahirkan generasi stunting.

Dengan pendekatan food-based approach Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah mengembangkan wadah Dashat (Dapur Sehat Atasi Stunting) berupa pemberdayaan masyarakat untuk bergotong-royong membantu anak-anak stunting atau berisiko stunting untuk mendapatkan makanan sesuai anjuran gizi.

Untuk mengisi Dashat, PT Nestle Indonesia dan LSM SPEAK (Strategi Pengkajian Edukasi Aletrantif Komunikasi) saat ini sedang melaksanakan program pemberian makanan pada balita stunting di Kabupaten Karawang. Dengan suplementasi makanan 3 kali/minggu selama 3 bulan diharapkan perbaikan gizi anak stunting dapat terwujud.

Generasi stunting akan mengalami keterbatasan wawasan karena secara intelektual mereka akan kalah dibandingkan anak-anak yang pertumbuhannya normal. Dengan kemampuan kognitif yang rendah, ini akan mengancam daya saing generasi yang akan datang.

Istilah hidden hunger atau kelaparan tersembunyi dipakai untuk menggambarkan problem kekurangan gizi, terutama gizi mikro (termasuk defisiensi zat besi), yang memunculkan bahaya stunting. IQ lost yang terjadi akibat defisiensi (kekurangan) gizi mikro sungguh tak terbayangkan. Penyakit anemia akibat kurang gizi mikro zat besi menyebabkan penduduk Indonesia kehilangan 40-80 juta IQ poin. Anemia diderita oleh 613 juta orang di seluruh dunia.

Anemia adalah problem gizi yang belum tuntas sejak berpuluh tahun lalu. Di negara-negara maju yang masyarakatnya cukup mengonsumsi pangan hewani diketahui problem anemia jarang muncul. Karena itu, perbaikan gizi membutuhkan prasyarat penting, yakni perbaikan kesejahteraan masyarakat. Membuka lapangan kerja dan pengurangan pengangguran serta pemberian upah yang layak sangatlah penting sebagai faktor pendukung utama eliminasi problem gizi mikro dan stunting.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3346 seconds (0.1#10.140)