Ancaman Bencana Hidrometeorologi Belum Reda
loading...
A
A
A
MEMASUKI akhir Oktober ini, potensi bencana hidrometeorologi di Indonesia belum sepenuhnya pergi. Bahkan dalam sepekan ke depan, hujan ekstrem yang disertai dengan angin kencang dimungkinkan banyak melanda wilayah Pulau Jawa.
Merujuk data yang dirilis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berbasis Satellite-based Disaster Early Warning System (SADEWA), hujan deras berpotensi turun pada dini hari. Yang lebih perlu diwaspadai, sebelum hujan dini hari itu turun, ada kemungkinan terjangan angin kencang hingga kecepatan 10 meter per detik. Penguatan angin barat ini terbentuk akibat pengaruh prakondisi pembentukan vorteks di atas Laut Jawa.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kedatangan angin kencang sudah terasa dalam beberapa hari terakhir. Senin (24/10) sore, angin kencang menyebabkan 17 rumah warga Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu rusak.
Potensi bencana yang masih akan melanda sejumlah wilayah Indonesia akibat cuaca ekstrem ini tidak boleh dianggap enteng. Apalagi, merujuk data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kemarin, sejumlah provinsi masih dikategorikan siaga bencana, yakni Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Sementara di Bali, terjangan banjir bandang yang melanda delapan kabupaten dan satu kota pekan lalu masih menyisakan trauma mendalam. Bahkan, jumlah korban meninggal dunia juga terus bertambah mencapai sembilan orang.
Bencana di Bali ini tergolong luar biasa sekaligus mengagetkan karena terjadi di 494 titik. Bencana besar ini jelas menjadi tantangan tersendiri karena jarang terjadi. Terjangan banjir bandang dan longsor juga terjadi kurang dari sebulan perhelatan G-20 yang bakal dihadiri puluhan pemimpin negara-negara besar di dunia. Jika Indonesia tidak tanggap menangani hal ini, justru bakal menjadi persoalan tersendiri, bahkan menjadi isu yang kontraproduktif dengan gelaran G-20 itu sendiri.
Oktober ini, bencana hidrometeorologi terdata cukup banyak terjadi di wilayah Indonesia. Pada periode 17-23 Oktober saja, merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi 74 bencana alam di 59 kabupaten/kota.
Meski saat ini telah memasuki akhir Oktober, potensi bencana baik banjir, longsor, maupun angin kencang belum benar-benar hilang. Apalagi, puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Desember 2022 hingga Februari 2023.
Berpijak banyaknya kasus banjir bandang seperti di Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat dalam beberapa hari terakhir hingga menyebabkan sejumlah korban jiwa dan kerusakan luas, saatnya untuk dijadikan pelajaran berharga bagi pemerintah dan kita semua. Ke depan bencana serupa masih berpotensi besar terjadi. Lebih-lebih, jika antisipasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana masih rendah.
Peringatan dini sekaligus kesadaran diri terhadap potensi bencana saatnya digencarkan. BMKG perlu secara aktif dan masif menyampaikan informasi ke publik terkait potensi bencana. Pada era kemajuan teknologi digital saat ini, sudah semestinya masifikasi informasi bukan lagi menjadi kendala besar. Dengan demikian, seharusnya pula hal ini berpengaruh terhadap tingginya kesadaran diri masyarakat akan dampak buruk dari cuaca ekstrem yang terjadi di wilayahnya.
Lebih dari itu, meski cuaca ekstrem yang kerap menimbulkan bencana sulit diprediksi, namun hal itu jangan menyurutkan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk membenahi infrastruktur seperti tanggul, daerah aliran sungai, pintu air, jembatan, dan sebagainya.
Matangnya kesiapan pemerintah dan masyarakat terhadap potensi bencana hidrometeorologi pasti berdampak terhadap minimnya korban maupun kerugian lainnya. Untuk itu, rentetan bencana yang terjadi dalam dua pekan terakhir menjadi pelajaran berharga agar kita tidak terjerembab pada kepiluan atas bencana yang sama.
Merujuk data yang dirilis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berbasis Satellite-based Disaster Early Warning System (SADEWA), hujan deras berpotensi turun pada dini hari. Yang lebih perlu diwaspadai, sebelum hujan dini hari itu turun, ada kemungkinan terjangan angin kencang hingga kecepatan 10 meter per detik. Penguatan angin barat ini terbentuk akibat pengaruh prakondisi pembentukan vorteks di atas Laut Jawa.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kedatangan angin kencang sudah terasa dalam beberapa hari terakhir. Senin (24/10) sore, angin kencang menyebabkan 17 rumah warga Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu rusak.
Potensi bencana yang masih akan melanda sejumlah wilayah Indonesia akibat cuaca ekstrem ini tidak boleh dianggap enteng. Apalagi, merujuk data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kemarin, sejumlah provinsi masih dikategorikan siaga bencana, yakni Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Sementara di Bali, terjangan banjir bandang yang melanda delapan kabupaten dan satu kota pekan lalu masih menyisakan trauma mendalam. Bahkan, jumlah korban meninggal dunia juga terus bertambah mencapai sembilan orang.
Bencana di Bali ini tergolong luar biasa sekaligus mengagetkan karena terjadi di 494 titik. Bencana besar ini jelas menjadi tantangan tersendiri karena jarang terjadi. Terjangan banjir bandang dan longsor juga terjadi kurang dari sebulan perhelatan G-20 yang bakal dihadiri puluhan pemimpin negara-negara besar di dunia. Jika Indonesia tidak tanggap menangani hal ini, justru bakal menjadi persoalan tersendiri, bahkan menjadi isu yang kontraproduktif dengan gelaran G-20 itu sendiri.
Oktober ini, bencana hidrometeorologi terdata cukup banyak terjadi di wilayah Indonesia. Pada periode 17-23 Oktober saja, merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi 74 bencana alam di 59 kabupaten/kota.
Meski saat ini telah memasuki akhir Oktober, potensi bencana baik banjir, longsor, maupun angin kencang belum benar-benar hilang. Apalagi, puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Desember 2022 hingga Februari 2023.
Berpijak banyaknya kasus banjir bandang seperti di Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat dalam beberapa hari terakhir hingga menyebabkan sejumlah korban jiwa dan kerusakan luas, saatnya untuk dijadikan pelajaran berharga bagi pemerintah dan kita semua. Ke depan bencana serupa masih berpotensi besar terjadi. Lebih-lebih, jika antisipasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana masih rendah.
Peringatan dini sekaligus kesadaran diri terhadap potensi bencana saatnya digencarkan. BMKG perlu secara aktif dan masif menyampaikan informasi ke publik terkait potensi bencana. Pada era kemajuan teknologi digital saat ini, sudah semestinya masifikasi informasi bukan lagi menjadi kendala besar. Dengan demikian, seharusnya pula hal ini berpengaruh terhadap tingginya kesadaran diri masyarakat akan dampak buruk dari cuaca ekstrem yang terjadi di wilayahnya.
Lebih dari itu, meski cuaca ekstrem yang kerap menimbulkan bencana sulit diprediksi, namun hal itu jangan menyurutkan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk membenahi infrastruktur seperti tanggul, daerah aliran sungai, pintu air, jembatan, dan sebagainya.
Matangnya kesiapan pemerintah dan masyarakat terhadap potensi bencana hidrometeorologi pasti berdampak terhadap minimnya korban maupun kerugian lainnya. Untuk itu, rentetan bencana yang terjadi dalam dua pekan terakhir menjadi pelajaran berharga agar kita tidak terjerembab pada kepiluan atas bencana yang sama.
(bmm)