Ketika OJK Diguncang
loading...
A
A
A
Kalau mengacu pada POJK Nomor 11/POJK. 03/2020, banyak kemudahan yang diberikan oleh OJK sebagai stimulus bagi perekonomian nasional. Bank diberi kemudahan dalam hal restrukturisasi kredit, yaitu memberikan penundaan atau keringanan pembayaran angsuran melalui program restrukturisasi kredit untuk jangka waktu maksimal satu tahun tanpa kewajiban penyediaan provisi. Dari sisi penilaian kolektibilitas dikenakan satu pilar saja, yaitu jika debitur membayar pokok atau bunga kreditnya saja, maka untuk kredit sampai Rp10 miliar dianggap sebagai kolektibilitas lancar.
Jika kredit direstrukturisasi, perlakuan akuntansinya tidak dianggap sebagai perburukan kualitas kredit sehingga pencadangan bisa diminimumkan. Namun, dalam rangka GCG, sebaiknya jika mampu bank tetap membentuk pencadangan karena riilnya memang kualitas kreditnya menurun. Tanpa membentuk pencadangan, sangat bahaya jika bank mencatat keuntungan dan lantas membayar pajak karena riilnya memang tidak untung.
Walaupun ada stimulus ekonomi dari pemerintah, akibat Covid-19 terhadap perbankan masih saja berat. Terus terang, informasi perkembangan kondisi kredit bank saat ini membuat kita menjadi perlu waspada. Berdasarkan laporan dari OJK, ternyata sampai bulan Juni ini sudah terjadi restrukturisasi kredit senilai Rp655 triliun. Dengan jumlah kredit per Maret sebesar Rp5.781 triliun, berarti jumlah restrukturisasi mencapai 11%.
Jumlah nasabah yang mendapatkan restrukturisasi totalnya sudah di atas 6 juta. Mereka yang menikmati restrukturisasi ini bukan hanya debitur UMKM, tapi ternyata juga debitur korporasi. Total debitur korporasi yang mendapatkan restrukturisasi sekitar 1,1 juta nasabah dengan total kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp350 triliun. Dari jumlah sekitar 12,2 juta debitur UMKM, ada sekitar 5,2 juta yang potensi memerlukan restrukturisasi. Sampai saat ini debitur UMKM yang sudah direstrukturisasi mencapai 2,6 juta dengan nilai Rp298 triliun.
Artinya, kalau OJK dianggap tidak proaktif dalam hal ini juga tidak tepat. Apalagi kalau diperhatikan dari tambahan stimulus seperti dukungan subsidi bunga ke UMKM terdampak dan penempatan dana pemerintah untuk likuiditas perbankan dalam rangka mendukung sektor riil, ada kontribusi OJK. Tentu OJK tidak bisa memberikan stimulus dalam bentuk uang. Insentif non-uang dalam bentuk relaksasi ketentuan untuk perbankan kalau dihitung ternyata nilainya sudah mencapai Rp97 triliun.
Terus terang, membandingkan kontribusi OJK dengan kontribusi BI atau Kementerian Keuangan dalam menanggulangi dampak krisis jelas tidak tepat. OJK adalah pengawas dan dia tidak punya kemampuan dalam menciptakan uang atau kemampuan sisi fiskal. Insentif yang bisa dikeluarkan OJK adalah kelonggaran dalam regulasi yang sifatnya nonkeuangan. Itu pun hanya sementara waktu.
OJK adalah pengawas lembaga keuangan. OJK bukan "bohir" (bouwheer ) yang punya banyak duit untuk dibagi-bagikan. OJK adalah otoritas sebagai pengatur agar integritas dan perilaku (integrity and conduct) sektor keuangan sesuai yang diharapkan. Karena itu, wacana dan pemikiran membubarkan OJK harus dihentikan. Jangan kejengkelan "beberapa orang dekat" yang kebetulan punya akses ke Presiden mengembuskan isu-isu yang kontraproduktif.
Isu ini tidak produktif, tidak ada gunanya dan bisa merusak stabilitas dan ketenangan pasar keuangan. Saat ini kita membutuhkan sinergi antarlembaga di dalam mengatasi masalah besar ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Berita "pembubaran" ini menjadikan hubungan antara BI dan OJK tidak nyaman. Demikian juga antara pimpinan OJK dan Presiden.
Jika kredit direstrukturisasi, perlakuan akuntansinya tidak dianggap sebagai perburukan kualitas kredit sehingga pencadangan bisa diminimumkan. Namun, dalam rangka GCG, sebaiknya jika mampu bank tetap membentuk pencadangan karena riilnya memang kualitas kreditnya menurun. Tanpa membentuk pencadangan, sangat bahaya jika bank mencatat keuntungan dan lantas membayar pajak karena riilnya memang tidak untung.
Walaupun ada stimulus ekonomi dari pemerintah, akibat Covid-19 terhadap perbankan masih saja berat. Terus terang, informasi perkembangan kondisi kredit bank saat ini membuat kita menjadi perlu waspada. Berdasarkan laporan dari OJK, ternyata sampai bulan Juni ini sudah terjadi restrukturisasi kredit senilai Rp655 triliun. Dengan jumlah kredit per Maret sebesar Rp5.781 triliun, berarti jumlah restrukturisasi mencapai 11%.
Jumlah nasabah yang mendapatkan restrukturisasi totalnya sudah di atas 6 juta. Mereka yang menikmati restrukturisasi ini bukan hanya debitur UMKM, tapi ternyata juga debitur korporasi. Total debitur korporasi yang mendapatkan restrukturisasi sekitar 1,1 juta nasabah dengan total kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp350 triliun. Dari jumlah sekitar 12,2 juta debitur UMKM, ada sekitar 5,2 juta yang potensi memerlukan restrukturisasi. Sampai saat ini debitur UMKM yang sudah direstrukturisasi mencapai 2,6 juta dengan nilai Rp298 triliun.
Artinya, kalau OJK dianggap tidak proaktif dalam hal ini juga tidak tepat. Apalagi kalau diperhatikan dari tambahan stimulus seperti dukungan subsidi bunga ke UMKM terdampak dan penempatan dana pemerintah untuk likuiditas perbankan dalam rangka mendukung sektor riil, ada kontribusi OJK. Tentu OJK tidak bisa memberikan stimulus dalam bentuk uang. Insentif non-uang dalam bentuk relaksasi ketentuan untuk perbankan kalau dihitung ternyata nilainya sudah mencapai Rp97 triliun.
Terus terang, membandingkan kontribusi OJK dengan kontribusi BI atau Kementerian Keuangan dalam menanggulangi dampak krisis jelas tidak tepat. OJK adalah pengawas dan dia tidak punya kemampuan dalam menciptakan uang atau kemampuan sisi fiskal. Insentif yang bisa dikeluarkan OJK adalah kelonggaran dalam regulasi yang sifatnya nonkeuangan. Itu pun hanya sementara waktu.
OJK adalah pengawas lembaga keuangan. OJK bukan "bohir" (bouwheer ) yang punya banyak duit untuk dibagi-bagikan. OJK adalah otoritas sebagai pengatur agar integritas dan perilaku (integrity and conduct) sektor keuangan sesuai yang diharapkan. Karena itu, wacana dan pemikiran membubarkan OJK harus dihentikan. Jangan kejengkelan "beberapa orang dekat" yang kebetulan punya akses ke Presiden mengembuskan isu-isu yang kontraproduktif.
Isu ini tidak produktif, tidak ada gunanya dan bisa merusak stabilitas dan ketenangan pasar keuangan. Saat ini kita membutuhkan sinergi antarlembaga di dalam mengatasi masalah besar ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Berita "pembubaran" ini menjadikan hubungan antara BI dan OJK tidak nyaman. Demikian juga antara pimpinan OJK dan Presiden.
(ras)