Ketika OJK Diguncang
loading...
A
A
A
Abdul Mongid
Guru Besar STIE Perbanas
KETIKA membaca berita di laman Reuters pada 2 Juli 2020, ada perasaan kaget dan sulit percaya. Berita sensasional itu terkait pengalihan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali ke Bank Indonesia (BI). Ini benar atau hoaks? Kalau hoaks mana mungkin Reuters yang terkenal sangat berhati-hati "kecolongan" menyebarkan hoaks? Di tengah kebingungan, saya baca berulang kali untuk memastikan kebenaran berita ini.
Ketika paginya melihat berita yang sama di media massa nasional, akhirnya saya paham konstelasinya. Tampaknya ada beberapa pihak yang tidak puas dengan OJK. Lantas mereka mencoba "menggiring" opini untuk mengalihkan pengawasan lembaga keuangan dari OJK ke BI. Ajaibnya, sumber beritanya hanyalah "orang dekat" sehingga tidak jelas siapa dia. Anomim karena alasannya sensitif. Hebatnya, nama Presiden yang "dicatut" sehingga efek beritanya besar dan mengguncangkan.
Sulit memastikan apakah Presiden benar berkata sebagaimana yang "sumber" katakan. Namun, ketika Presiden juga tidak segera memberikan klarifikasi, bisa jadi berita itu benar. Adagium menyatakan ketika Anda "membiarkan" artinya Anda "setuju". Sulit memastikan apakah Presiden "benar-benar ingin" atau hanya "orang dekat" Presiden yang berkeinginan untuk mengalihkan fungsi pengawasan. Saya lebih meyakini bukan. Namun, Presiden ingin memuaskan orang di sekitarnya. Ini mengingatkan cerita Dahlan Iskan ketika dimarahi Presiden SBY terkait penunjukan direktur utama Bank Mandiri. "Menyenangkan" orang lain.
Sebagai politisi yang naik dari bawah, Jokowi pasti sudah "berhitung" dengan sangat komprehensif. Dalam situasi ekonomi yang melemah saat ini, pandemi Covid-19 masih merajalela, serta banyak masalah lain yang perlu fokus untuk diselesaikan, sangat tidak yakin dan tidak masuk akal kalau Presiden membuat masalah baru. Seperti diketahui, problem ketidakefektifan kerja kabinet, pemulihan ekonomi nasional, pemindahan ibu kota negara dan defisit kembar lebih mendesak untuk diselesaikan.
Kurang bijak untuk mengeluarkan pemikiran pengalihan pengawasan lembaga keuangan di tengah kondisi krisis. Pembubaran lembaga sebesar OJK tidak sama dengan pembubaran komisi atau badan. Presiden memang berkali-kali menyatakan akan membubarkan lembaga negara atau kabinet jika tidak mendukung program pemulihan ekonomi. Namun, OJK adalah lembaga besar yang fungsinya sangat strategis. Pengalaman pembentukan OJK mengajarkan bahwa proses peralihan kewenangan itu tidak mudah dan tidak murah. Membubarkannya juga akan sama. Dari dulu selalu ada tarik ulur kepentingan dan semua sadar bahwa ini adalah pilihan politik.
Problem pengalihan pengawasan bank dari BI secara legal formal sudah selesai. Namun, secara psikologis masih belum usai. Kalau fungsi OJK dialihkan lagi ke BI, problemnya juga akan berulang. Presiden pasti tahu betapa rumitnya ketika Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dikembalikan ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tarik ulur posisi jabatan dan nomenklatur tidak bisa diselesaikan cepat.
Bila itu terjadi pada OJK, yang memiliki ribuan pegawai, bisa diperkirakan dampaknya akan jauh lebih kompleks, memakan banyak waktu dan biaya. Perubahan struktur kelembagaan tanpa dilandasi hasil kajian yang matang dan mendalam hanya menciptakan ketidakpastikan. Mereka yang mendorong pembubaran OJK bisa jadi adalah orang-orang "dekat" yang kepentingan ekonominya terganggu oleh keputusan OJK akhir-akhir ini.
Respons OJK atas berita itu juga cukup menarik. Juru Bicara OJK menyatakan bahwa mereka tidak akan menanggapi isu-isu tersebut dan akan fokus menjalankan fungsinya. Lebih lanjut OJK akan tetap aktif serta selalu mendukung kebijakan pemerintah dan sesuai kewenangannya sebagai regulator telah mengeluarkan berbagai peraturan dalam rangka mendukung pemerintah dalam penanganan dampak ekonomi dari Covid-19.
Seperti kita ketahui, saat ini memang kita mengalami situasi extraordinary. Makanya, pemerintah menerbitkan ketentuan "sapu jagat" berupa Perppu Nomor 1/2020 pada 31 Maret. Perppu ini harus ada karena situasinya benar-benar darurat dan semua negara mengalami. Sebagai respons atas kondisi yang sama, OJK juga menerbitkan kebijakan lebih awal mengenai relaksasi kredit perbankan berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) pada 16 Maret.
Kalau mengacu pada POJK Nomor 11/POJK. 03/2020, banyak kemudahan yang diberikan oleh OJK sebagai stimulus bagi perekonomian nasional. Bank diberi kemudahan dalam hal restrukturisasi kredit, yaitu memberikan penundaan atau keringanan pembayaran angsuran melalui program restrukturisasi kredit untuk jangka waktu maksimal satu tahun tanpa kewajiban penyediaan provisi. Dari sisi penilaian kolektibilitas dikenakan satu pilar saja, yaitu jika debitur membayar pokok atau bunga kreditnya saja, maka untuk kredit sampai Rp10 miliar dianggap sebagai kolektibilitas lancar.
Jika kredit direstrukturisasi, perlakuan akuntansinya tidak dianggap sebagai perburukan kualitas kredit sehingga pencadangan bisa diminimumkan. Namun, dalam rangka GCG, sebaiknya jika mampu bank tetap membentuk pencadangan karena riilnya memang kualitas kreditnya menurun. Tanpa membentuk pencadangan, sangat bahaya jika bank mencatat keuntungan dan lantas membayar pajak karena riilnya memang tidak untung.
Walaupun ada stimulus ekonomi dari pemerintah, akibat Covid-19 terhadap perbankan masih saja berat. Terus terang, informasi perkembangan kondisi kredit bank saat ini membuat kita menjadi perlu waspada. Berdasarkan laporan dari OJK, ternyata sampai bulan Juni ini sudah terjadi restrukturisasi kredit senilai Rp655 triliun. Dengan jumlah kredit per Maret sebesar Rp5.781 triliun, berarti jumlah restrukturisasi mencapai 11%.
Jumlah nasabah yang mendapatkan restrukturisasi totalnya sudah di atas 6 juta. Mereka yang menikmati restrukturisasi ini bukan hanya debitur UMKM, tapi ternyata juga debitur korporasi. Total debitur korporasi yang mendapatkan restrukturisasi sekitar 1,1 juta nasabah dengan total kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp350 triliun. Dari jumlah sekitar 12,2 juta debitur UMKM, ada sekitar 5,2 juta yang potensi memerlukan restrukturisasi. Sampai saat ini debitur UMKM yang sudah direstrukturisasi mencapai 2,6 juta dengan nilai Rp298 triliun.
Artinya, kalau OJK dianggap tidak proaktif dalam hal ini juga tidak tepat. Apalagi kalau diperhatikan dari tambahan stimulus seperti dukungan subsidi bunga ke UMKM terdampak dan penempatan dana pemerintah untuk likuiditas perbankan dalam rangka mendukung sektor riil, ada kontribusi OJK. Tentu OJK tidak bisa memberikan stimulus dalam bentuk uang. Insentif non-uang dalam bentuk relaksasi ketentuan untuk perbankan kalau dihitung ternyata nilainya sudah mencapai Rp97 triliun.
Terus terang, membandingkan kontribusi OJK dengan kontribusi BI atau Kementerian Keuangan dalam menanggulangi dampak krisis jelas tidak tepat. OJK adalah pengawas dan dia tidak punya kemampuan dalam menciptakan uang atau kemampuan sisi fiskal. Insentif yang bisa dikeluarkan OJK adalah kelonggaran dalam regulasi yang sifatnya nonkeuangan. Itu pun hanya sementara waktu.
OJK adalah pengawas lembaga keuangan. OJK bukan "bohir" (bouwheer ) yang punya banyak duit untuk dibagi-bagikan. OJK adalah otoritas sebagai pengatur agar integritas dan perilaku (integrity and conduct) sektor keuangan sesuai yang diharapkan. Karena itu, wacana dan pemikiran membubarkan OJK harus dihentikan. Jangan kejengkelan "beberapa orang dekat" yang kebetulan punya akses ke Presiden mengembuskan isu-isu yang kontraproduktif.
Isu ini tidak produktif, tidak ada gunanya dan bisa merusak stabilitas dan ketenangan pasar keuangan. Saat ini kita membutuhkan sinergi antarlembaga di dalam mengatasi masalah besar ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Berita "pembubaran" ini menjadikan hubungan antara BI dan OJK tidak nyaman. Demikian juga antara pimpinan OJK dan Presiden.
Guru Besar STIE Perbanas
KETIKA membaca berita di laman Reuters pada 2 Juli 2020, ada perasaan kaget dan sulit percaya. Berita sensasional itu terkait pengalihan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali ke Bank Indonesia (BI). Ini benar atau hoaks? Kalau hoaks mana mungkin Reuters yang terkenal sangat berhati-hati "kecolongan" menyebarkan hoaks? Di tengah kebingungan, saya baca berulang kali untuk memastikan kebenaran berita ini.
Ketika paginya melihat berita yang sama di media massa nasional, akhirnya saya paham konstelasinya. Tampaknya ada beberapa pihak yang tidak puas dengan OJK. Lantas mereka mencoba "menggiring" opini untuk mengalihkan pengawasan lembaga keuangan dari OJK ke BI. Ajaibnya, sumber beritanya hanyalah "orang dekat" sehingga tidak jelas siapa dia. Anomim karena alasannya sensitif. Hebatnya, nama Presiden yang "dicatut" sehingga efek beritanya besar dan mengguncangkan.
Sulit memastikan apakah Presiden benar berkata sebagaimana yang "sumber" katakan. Namun, ketika Presiden juga tidak segera memberikan klarifikasi, bisa jadi berita itu benar. Adagium menyatakan ketika Anda "membiarkan" artinya Anda "setuju". Sulit memastikan apakah Presiden "benar-benar ingin" atau hanya "orang dekat" Presiden yang berkeinginan untuk mengalihkan fungsi pengawasan. Saya lebih meyakini bukan. Namun, Presiden ingin memuaskan orang di sekitarnya. Ini mengingatkan cerita Dahlan Iskan ketika dimarahi Presiden SBY terkait penunjukan direktur utama Bank Mandiri. "Menyenangkan" orang lain.
Sebagai politisi yang naik dari bawah, Jokowi pasti sudah "berhitung" dengan sangat komprehensif. Dalam situasi ekonomi yang melemah saat ini, pandemi Covid-19 masih merajalela, serta banyak masalah lain yang perlu fokus untuk diselesaikan, sangat tidak yakin dan tidak masuk akal kalau Presiden membuat masalah baru. Seperti diketahui, problem ketidakefektifan kerja kabinet, pemulihan ekonomi nasional, pemindahan ibu kota negara dan defisit kembar lebih mendesak untuk diselesaikan.
Kurang bijak untuk mengeluarkan pemikiran pengalihan pengawasan lembaga keuangan di tengah kondisi krisis. Pembubaran lembaga sebesar OJK tidak sama dengan pembubaran komisi atau badan. Presiden memang berkali-kali menyatakan akan membubarkan lembaga negara atau kabinet jika tidak mendukung program pemulihan ekonomi. Namun, OJK adalah lembaga besar yang fungsinya sangat strategis. Pengalaman pembentukan OJK mengajarkan bahwa proses peralihan kewenangan itu tidak mudah dan tidak murah. Membubarkannya juga akan sama. Dari dulu selalu ada tarik ulur kepentingan dan semua sadar bahwa ini adalah pilihan politik.
Problem pengalihan pengawasan bank dari BI secara legal formal sudah selesai. Namun, secara psikologis masih belum usai. Kalau fungsi OJK dialihkan lagi ke BI, problemnya juga akan berulang. Presiden pasti tahu betapa rumitnya ketika Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dikembalikan ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tarik ulur posisi jabatan dan nomenklatur tidak bisa diselesaikan cepat.
Bila itu terjadi pada OJK, yang memiliki ribuan pegawai, bisa diperkirakan dampaknya akan jauh lebih kompleks, memakan banyak waktu dan biaya. Perubahan struktur kelembagaan tanpa dilandasi hasil kajian yang matang dan mendalam hanya menciptakan ketidakpastikan. Mereka yang mendorong pembubaran OJK bisa jadi adalah orang-orang "dekat" yang kepentingan ekonominya terganggu oleh keputusan OJK akhir-akhir ini.
Respons OJK atas berita itu juga cukup menarik. Juru Bicara OJK menyatakan bahwa mereka tidak akan menanggapi isu-isu tersebut dan akan fokus menjalankan fungsinya. Lebih lanjut OJK akan tetap aktif serta selalu mendukung kebijakan pemerintah dan sesuai kewenangannya sebagai regulator telah mengeluarkan berbagai peraturan dalam rangka mendukung pemerintah dalam penanganan dampak ekonomi dari Covid-19.
Seperti kita ketahui, saat ini memang kita mengalami situasi extraordinary. Makanya, pemerintah menerbitkan ketentuan "sapu jagat" berupa Perppu Nomor 1/2020 pada 31 Maret. Perppu ini harus ada karena situasinya benar-benar darurat dan semua negara mengalami. Sebagai respons atas kondisi yang sama, OJK juga menerbitkan kebijakan lebih awal mengenai relaksasi kredit perbankan berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) pada 16 Maret.
Kalau mengacu pada POJK Nomor 11/POJK. 03/2020, banyak kemudahan yang diberikan oleh OJK sebagai stimulus bagi perekonomian nasional. Bank diberi kemudahan dalam hal restrukturisasi kredit, yaitu memberikan penundaan atau keringanan pembayaran angsuran melalui program restrukturisasi kredit untuk jangka waktu maksimal satu tahun tanpa kewajiban penyediaan provisi. Dari sisi penilaian kolektibilitas dikenakan satu pilar saja, yaitu jika debitur membayar pokok atau bunga kreditnya saja, maka untuk kredit sampai Rp10 miliar dianggap sebagai kolektibilitas lancar.
Jika kredit direstrukturisasi, perlakuan akuntansinya tidak dianggap sebagai perburukan kualitas kredit sehingga pencadangan bisa diminimumkan. Namun, dalam rangka GCG, sebaiknya jika mampu bank tetap membentuk pencadangan karena riilnya memang kualitas kreditnya menurun. Tanpa membentuk pencadangan, sangat bahaya jika bank mencatat keuntungan dan lantas membayar pajak karena riilnya memang tidak untung.
Walaupun ada stimulus ekonomi dari pemerintah, akibat Covid-19 terhadap perbankan masih saja berat. Terus terang, informasi perkembangan kondisi kredit bank saat ini membuat kita menjadi perlu waspada. Berdasarkan laporan dari OJK, ternyata sampai bulan Juni ini sudah terjadi restrukturisasi kredit senilai Rp655 triliun. Dengan jumlah kredit per Maret sebesar Rp5.781 triliun, berarti jumlah restrukturisasi mencapai 11%.
Jumlah nasabah yang mendapatkan restrukturisasi totalnya sudah di atas 6 juta. Mereka yang menikmati restrukturisasi ini bukan hanya debitur UMKM, tapi ternyata juga debitur korporasi. Total debitur korporasi yang mendapatkan restrukturisasi sekitar 1,1 juta nasabah dengan total kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp350 triliun. Dari jumlah sekitar 12,2 juta debitur UMKM, ada sekitar 5,2 juta yang potensi memerlukan restrukturisasi. Sampai saat ini debitur UMKM yang sudah direstrukturisasi mencapai 2,6 juta dengan nilai Rp298 triliun.
Artinya, kalau OJK dianggap tidak proaktif dalam hal ini juga tidak tepat. Apalagi kalau diperhatikan dari tambahan stimulus seperti dukungan subsidi bunga ke UMKM terdampak dan penempatan dana pemerintah untuk likuiditas perbankan dalam rangka mendukung sektor riil, ada kontribusi OJK. Tentu OJK tidak bisa memberikan stimulus dalam bentuk uang. Insentif non-uang dalam bentuk relaksasi ketentuan untuk perbankan kalau dihitung ternyata nilainya sudah mencapai Rp97 triliun.
Terus terang, membandingkan kontribusi OJK dengan kontribusi BI atau Kementerian Keuangan dalam menanggulangi dampak krisis jelas tidak tepat. OJK adalah pengawas dan dia tidak punya kemampuan dalam menciptakan uang atau kemampuan sisi fiskal. Insentif yang bisa dikeluarkan OJK adalah kelonggaran dalam regulasi yang sifatnya nonkeuangan. Itu pun hanya sementara waktu.
OJK adalah pengawas lembaga keuangan. OJK bukan "bohir" (bouwheer ) yang punya banyak duit untuk dibagi-bagikan. OJK adalah otoritas sebagai pengatur agar integritas dan perilaku (integrity and conduct) sektor keuangan sesuai yang diharapkan. Karena itu, wacana dan pemikiran membubarkan OJK harus dihentikan. Jangan kejengkelan "beberapa orang dekat" yang kebetulan punya akses ke Presiden mengembuskan isu-isu yang kontraproduktif.
Isu ini tidak produktif, tidak ada gunanya dan bisa merusak stabilitas dan ketenangan pasar keuangan. Saat ini kita membutuhkan sinergi antarlembaga di dalam mengatasi masalah besar ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Berita "pembubaran" ini menjadikan hubungan antara BI dan OJK tidak nyaman. Demikian juga antara pimpinan OJK dan Presiden.
(ras)