Diplomasi Santri di Negeri Paman Sam
loading...
A
A
A
Aat Surya Safaat
Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Kepala Biro Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA New York 1993-1998, dan Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA 2016.
Siapa sangka sebuah buku berjudul “Diplomasi Santri” yang mengkaji peranan para pemimpin Indonesia terutama ulama dalam menyelesaikan berbagai konflik agama di dunia menjadi bahan diskusi akademis di kampus ternama, Universitas Yale di Amerika. Buku tersebut juga menjadi salah satu koleksi Yale University Sterling Memorial Library.
Bukan itu saja, buku setebal 303 halaman itu telah menjadi koleksi Library of Congress di Washington DC dan New York Public Library. “Secara ragawi aku pergi. Namun butir-butir pemikiranku tertinggal dan tersimpan rapi di perpustakaan negeri Paman Sam,” kata sang penulis buku, Dr Arifi Saiman MA, seorang diplomat yang baru menyelesaikan tugasnya selaku Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) New York.
Erik Harms, Ketua Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Yale saat bedah buku Diplomasi Santri di Universitas Yale di New Haven Connecticut, pada 31 Agustus 2022, mengapresiasi terbitnya buku itu. Menurut Harms, buku tersebut sangat menarik terkait bagaimana peran santri dalam menyelesaikan misi diplomasi di Asia Tenggara dan menciptakan solusi atas terjadinya konflik yang sangat keras di wilayah itu.
“Saya berharap untuk belajar lebih banyak hal tentang diplomasi santri ini,” katanya dalam bedah buku yang dihadiri para mahasiswa post doctoral dan akademisi di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Amerika itu.
Dalam bukunya yang sudah dipublish Penerbit Gramedia Pustaka Utama itu, Dr Arifi menjelaskan, kaum santri yang kesehariannya berpenampilan sederhana, bahkan terkesan kolot dan tradisionalis justru sejatinya merupakan kumpulan manusia cerdas dan berilmu, namun tetap tawadhu (rendah hati, tidak sombong). Di balik keluhuran sifat dan perilaku kaum santri tersebut, mereka memiliki kemampuan luar biasa dan mumpuni di luar keahliannya (selain di bidang agama). Salah satunya di bidang diplomasi.
Dalam konteks sumbangsih di bidang diplomasi, kaum santri setidaknya telah menorehkan “tinta emas”, antara lain melalui Komite Hijaz pada 1920-an, dan melalui misi diplomasi membantu penyelesaian konflik di Thailand Selatan pada dekade pertama abad ke-21. Khusus dalam misi perdamaian di Thailand Selatan, PBNU ketika itu turun langsung di bawah kepemimpinan Ketua Umumnya, KH Ahmad Hasyim Muzadi.
Sebagai sebuah soft power diplomacy, diplomasi santri itu sendiri hadir dan mulai berkiprah di bumi Nusantara pada abad ke-20 melalui Komite Hijaz, beberapa dekade sebelum Indonesia merdeka. Komite Hijaz notabene menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926.
Komite itu dibentuk kalangan ulama di Indonesia untuk meminta penguasa baru di Arab Saudi yang mendukung faham Wahabi di bawah kepemimpinan Ibnu Sa’ud, agar umat Islam di Indonesia tetap dapat melaksanakan ajaran agama dengan mengikuti salah satu mazhab ahlussunnah wal jama’ah versi Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hambali.
Misi Damai Santri
Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Kepala Biro Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA New York 1993-1998, dan Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA 2016.
Siapa sangka sebuah buku berjudul “Diplomasi Santri” yang mengkaji peranan para pemimpin Indonesia terutama ulama dalam menyelesaikan berbagai konflik agama di dunia menjadi bahan diskusi akademis di kampus ternama, Universitas Yale di Amerika. Buku tersebut juga menjadi salah satu koleksi Yale University Sterling Memorial Library.
Bukan itu saja, buku setebal 303 halaman itu telah menjadi koleksi Library of Congress di Washington DC dan New York Public Library. “Secara ragawi aku pergi. Namun butir-butir pemikiranku tertinggal dan tersimpan rapi di perpustakaan negeri Paman Sam,” kata sang penulis buku, Dr Arifi Saiman MA, seorang diplomat yang baru menyelesaikan tugasnya selaku Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) New York.
Erik Harms, Ketua Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Yale saat bedah buku Diplomasi Santri di Universitas Yale di New Haven Connecticut, pada 31 Agustus 2022, mengapresiasi terbitnya buku itu. Menurut Harms, buku tersebut sangat menarik terkait bagaimana peran santri dalam menyelesaikan misi diplomasi di Asia Tenggara dan menciptakan solusi atas terjadinya konflik yang sangat keras di wilayah itu.
“Saya berharap untuk belajar lebih banyak hal tentang diplomasi santri ini,” katanya dalam bedah buku yang dihadiri para mahasiswa post doctoral dan akademisi di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Amerika itu.
Dalam bukunya yang sudah dipublish Penerbit Gramedia Pustaka Utama itu, Dr Arifi menjelaskan, kaum santri yang kesehariannya berpenampilan sederhana, bahkan terkesan kolot dan tradisionalis justru sejatinya merupakan kumpulan manusia cerdas dan berilmu, namun tetap tawadhu (rendah hati, tidak sombong). Di balik keluhuran sifat dan perilaku kaum santri tersebut, mereka memiliki kemampuan luar biasa dan mumpuni di luar keahliannya (selain di bidang agama). Salah satunya di bidang diplomasi.
Dalam konteks sumbangsih di bidang diplomasi, kaum santri setidaknya telah menorehkan “tinta emas”, antara lain melalui Komite Hijaz pada 1920-an, dan melalui misi diplomasi membantu penyelesaian konflik di Thailand Selatan pada dekade pertama abad ke-21. Khusus dalam misi perdamaian di Thailand Selatan, PBNU ketika itu turun langsung di bawah kepemimpinan Ketua Umumnya, KH Ahmad Hasyim Muzadi.
Sebagai sebuah soft power diplomacy, diplomasi santri itu sendiri hadir dan mulai berkiprah di bumi Nusantara pada abad ke-20 melalui Komite Hijaz, beberapa dekade sebelum Indonesia merdeka. Komite Hijaz notabene menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926.
Komite itu dibentuk kalangan ulama di Indonesia untuk meminta penguasa baru di Arab Saudi yang mendukung faham Wahabi di bawah kepemimpinan Ibnu Sa’ud, agar umat Islam di Indonesia tetap dapat melaksanakan ajaran agama dengan mengikuti salah satu mazhab ahlussunnah wal jama’ah versi Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hambali.
Misi Damai Santri