Ini 11 Alasan Anggota DPR dan DPRD Sumbar Gugat UU Pilkada

Senin, 06 Juli 2020 - 13:37 WIB
loading...
Ini 11 Alasan Anggota...
Empat orang menggugat ketentuan pengunduran diri sebagai anggota legislatif sejak resmi ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). FOTO/SINDOnews/SABIR LALUHU
A A A
JAKARTA - Empat orang yang terdiri dari satu anggota DPR, dua anggota DPRD Sumatera Barat, dan seorang wiraswasta menggugat ketentuan pengunduran diri sebagai anggota legislatif sejak resmi ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan umum kepala daerah ( pilkada ) ke Mahkamah Konstitusi (MK) . Ketentuan itu tertera pada Pasal Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.

Para pemohon masing-masing Anwar Hafid, anggota DPR periode 2019-2024 dari Fraksi Partai Demokrat, Arkadius Dt Intan Bano dan Darman Sahladi, anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat periode 2019-2024 Fraksi Partai Demokrat, serta Mohammad Taufan Daeng Malino, seorang wiraswasta sekaligus politikus Partai Demokrat Sulawesi Tengah.

Pada Senin (6/7/2020) ini, MK menggelar sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan nomor perkara: 22/PUU-XVIII/2020. Sidang dilaksanakan secara virtual. Hakim panel perkara ini dipimpin oleh Anwar Usman dengan anggota Saldi Isra dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.

Isi perbaikan permohonan, dibacakan oleh kuasa hukum para pemohon yakni Muh Salman Darwin. Dua kuasa lainnya yakni Refly Harun dan Richard Erlangga mengikuti sidang dari tempat berbeda.( )

"Yang Mulia, yang menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan saya sendiri. Dari sisi pemohon satu sebagai anggota DPR, kami pertajam argumentasinya pada angka 11, 12, dan 13, Yang Mulia," ujar Salman.

Berdasarkan dokumen perbaikan permohonan, ada 11 alasan permohonan yang diajukan empat pemohon. Satu, para pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10 tahun 2016 yang memuat keharusan "anggota legislatif mengundurkan diri dari jabatannya sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan", telah merugikan hak konstitusional para pemohon, yaitu tidak memberikan jaminan persamaan dan keadilan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Dua, secara konseptual jabatan anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan, yaitu "jabatan politik". Sehingga berdasarkan prinsip keadilan dan persamaan (equal treatmen), maka seseorang yang sedang menduduki jabatan politik tidak perlu "mengundurkan diri" untuk mencalonkan diri dalam jabatan politik lainnya.

Tiga, dalam konteks keadilan dalam pencalonan kepala daerah, maka jabatan anggota legislatif seyogianya dipersamakan dengan calon petahana (incumbent). Di mana incumbent yang hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye.

Empat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XI/2013 jabatan menteri merupakan jabatan politik, tetapi tidak diharuskan untuk mengundurkan diri pada saat mencalonkan diri dalam kontestasi Pemilu. Pertimbangan putusan a quo sejalan dengan "jabatan legislatif" yang eksistensinya terikat dan sangat bergantung pada partai politik.( )

"Kami memperbandingkan antara jabatan legislatif dengan jabatan lain, sehingga pemberhentiannya seharusnya tidak perlu diberlakukan," tegas Salman.

Lima, selain itu terdapat mekanisme pergantian antarwaktu yang menjadi kewenangan partai politik. Mekanisme ini dapat digunakan untuk mengganti anggota legislatif yang tidak menjalankan amanah rakyat dan melanggar prinsip-prinsip pemilihan dalam pencalonannya.

Enam, penegasan peserta pemilu untuk memilih anggota legislatif adalah partai politik. Artinya anggota legislatif representasi partai politik di lembaga parlemen, yang eksistensinya terikat pada sumpah jabatan, mekanisme kontrol baik bersifat internal maupun eksternal dari Mahkamah Partai Politik, Mahkamah Kehormatan Dewan, jajaran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan masyarakat. Dengan begitu, tidak lantas menjadikan anggota legislatif dapat menyalahgunakan kewenangannya.

Tujuh, meskipun tidak mengundurkan diri, anggota legislatif tidak mutatis mutandis mempunyai posisi lebih menguntungkan dari calon lainnya dan dapat memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pemenangan. Pasalnya, pada prinsipnya kelembagaan kekuasaan legislatif (legislative power) tidak memiliki jaringan birokrasi yang dapat ditarik menjadi bagian dari strategi pemenangan serta bersifat kolektif kolegial yang tidak akan memengaruhi pelaksanaan kewenangan kelembagaan legislatif.

Delapan, terkait dengan adanya kemungkinan hambatan kinerja lembaga dalam pencalonan anggota legislatif dalam jabatan kepala daerah, maka syarat mengundurkan diri dapat diterapkan atau diberlakukan hanya pada jabatan alat kelengkapan dewan tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif. Sembilan, menurut para Pemohon, secara prinsipal pengaturan "pengunduran diri dari jabatan legislatif untuk maju dalam pemilihan kepala daerah" bukan merupakan persoalan konstitusionalitas, melainkan pelaksanaan dari norma hukum.

Sepuluh, Mahkamah dalam beberapa putusan telah pernah mengubah pandangannya terhadap keberlakuan muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang sehingga para pemohon menilai Mahkamah dapat mengubah pandangannya terkait ketentuan pasal a quo. Sebelas, sejalan dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan yang harus melekat dalam putusan badan peradilan, maka para pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memprioritaskan penyelesaian perkara dan diputus sebelum tahapan pendaftaran pasangan calon pada tanggal 28 Agustus 2020-3 September 2020.

Di bagian akhir permohonan, Salman meminta agar Mahkamah memutuskan, dalam provisi, mengabulkan permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, satu, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Atau, tiga, menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuai dimaknai "mengundurkan diri dari jabatan alat kelengkapan dewan sejak ditetapkan sebagai calon". Empat, memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

"Atau jika Majelis Hakim Konstitusi mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono," tegas Salman.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2725 seconds (0.1#10.140)