Suhu Politik Memanas, Sikapi dengan Bijak
loading...
A
A
A
MESKIPUN pemilihan umum (pemilu) termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden baru akan dihelat 16 bulan lagi, namun tensi dan suhu politik mulai memanas. Narasi-narasi memecah belah dengan diksi intoleran, antikeberagaman, bahkan radikalisme kembali dimunculkan. Ruang publik kini mulai dipenuhi oleh umpatan, hujatan dan narasi adu domba.
Belajar dari dua perhelatan pemilu sebelumnya, sejatinya masyarakat sudah harus dan wajib paham bahwa narasi-narasi yang patut diduga dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu itu adalah lagu lama yang diputar kembali. Dari pengalaman sebelumnya pula, masyarakat perlu sadar bahwa jargon-jargon intoleran, dan antikeberagaman sejatinya hanyalah alat politik pihak-pihak tertentu.
Baca Juga: koran-sindo.com
Tensi dan suhu politik bisa jadi akan semakin tinggi di awal tahun depan, mengingat partai politik diperkirakan akan menentukan siapa calon yang akan diusung untuk menjadi capres dan cawapres untuk lima tahun kedepannya.
Perlu kesadaran dari masyarakat, termasuk para elite politik untuk memberikan edukasi politik yang masif kepada masyarakat dan para kontestan politik, agar tidak terprovokasi oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bermanfaat.
Penting juga untuk melakukan peningkatan literasi politik di kalangan masyarakat dalam menyambut pemilihan umum 2024.
Tahun 2023 dipastikan akan mulai riuh dengan kontestasi, persaingan, dan manuver dari berbagai partai politik serta elite politik untuk menaikkan citra dari masing-masing partai dan meraup dukungan masyarakat.
Sehingga berpotensi diwarnai oleh berbagai isu politik, seperti isu korupsi, isu politik uang, dan berbagai isu lainnya termasuk isu SARA dengan kontra propaganda yang berpotensi mencederai kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Karenanya, penting untuk melakukan peningkatan literasi politik bagi masyarakat untuk mengantisipasi berbagai isu yang akan mencuat di media sosial maupun media massa.
Terlebih karakteristik nilai-nilai demokrasi yang bersifat dinamis dan berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan zaman sehingga memang perlu untuk terus menyampaikan nilai-nilai demokrasi yang bermartabat dari generasi ke generasi.
Pendidikan politik kepada masyarakat dapat menciptakan kehidupan demokrasi yang sehat dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas dan dewasa dalam berpolitik.
Pemilih rasional yang cerdas dan kritis secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral melainkan juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi.
Memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti politik uang. Serta memahami betul arti penting suara yang mereka miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari.
Untuk meningkatkan kecerdasan dan daya kritis para pemilih pemula, berbagai pihak khususnya KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah maupun peserta pemilu (khususnya partai politik) perlu memperkuat upaya pendidikan pemilih terutama melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi.
Senab, selama ini, edukasi yang diberika beljm memberikan dampak yang berarti untuk menumbuhkan kecerdasan dan daya kritis pemilih pemula. Secara umum sosialisasi pemilu hanya berhasil meningkatkan pengetahuan dan kesadaran teknis elektoral seperti kapan, dimana dan bagaimana cara memberikan suara pada hari dan tanggal pemungutan suara dilakukan.
Sementara aspek-aspek substantif elektoral seperti arti penting setiap suara yang diberikan, pentingnya membangun otonomi dan kemandirian politik, dampak buruk dari praktik-praktik transaksi politik yang tidak sehat seperti money politics, dan dampak atau konsekuensi pilihan politik di kemudian hari, cenderung terabaikan dan gagal ditumbuhkan secara masif sebagai bentuk kesadaran substantif di kalangan pemilih pemula.
Memilih calon anggota legislatif hingga capres dan cawapres perlu dilakukan dengan rasional, tidak emosional dan sektarian. Hal itu penting agar pemimpin yang terpilih mampu membawa bangsa ke arah yang lebih baik bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Lihat Juga: Pram-Doel Menang Pilkada Jakarta Satu Putaran, Jubir Anies Harap Bisa Diterima Semua Pihak
Belajar dari dua perhelatan pemilu sebelumnya, sejatinya masyarakat sudah harus dan wajib paham bahwa narasi-narasi yang patut diduga dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu itu adalah lagu lama yang diputar kembali. Dari pengalaman sebelumnya pula, masyarakat perlu sadar bahwa jargon-jargon intoleran, dan antikeberagaman sejatinya hanyalah alat politik pihak-pihak tertentu.
Baca Juga: koran-sindo.com
Tensi dan suhu politik bisa jadi akan semakin tinggi di awal tahun depan, mengingat partai politik diperkirakan akan menentukan siapa calon yang akan diusung untuk menjadi capres dan cawapres untuk lima tahun kedepannya.
Perlu kesadaran dari masyarakat, termasuk para elite politik untuk memberikan edukasi politik yang masif kepada masyarakat dan para kontestan politik, agar tidak terprovokasi oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bermanfaat.
Penting juga untuk melakukan peningkatan literasi politik di kalangan masyarakat dalam menyambut pemilihan umum 2024.
Tahun 2023 dipastikan akan mulai riuh dengan kontestasi, persaingan, dan manuver dari berbagai partai politik serta elite politik untuk menaikkan citra dari masing-masing partai dan meraup dukungan masyarakat.
Sehingga berpotensi diwarnai oleh berbagai isu politik, seperti isu korupsi, isu politik uang, dan berbagai isu lainnya termasuk isu SARA dengan kontra propaganda yang berpotensi mencederai kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Karenanya, penting untuk melakukan peningkatan literasi politik bagi masyarakat untuk mengantisipasi berbagai isu yang akan mencuat di media sosial maupun media massa.
Terlebih karakteristik nilai-nilai demokrasi yang bersifat dinamis dan berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan zaman sehingga memang perlu untuk terus menyampaikan nilai-nilai demokrasi yang bermartabat dari generasi ke generasi.
Pendidikan politik kepada masyarakat dapat menciptakan kehidupan demokrasi yang sehat dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas dan dewasa dalam berpolitik.
Pemilih rasional yang cerdas dan kritis secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral melainkan juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi.
Memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti politik uang. Serta memahami betul arti penting suara yang mereka miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari.
Untuk meningkatkan kecerdasan dan daya kritis para pemilih pemula, berbagai pihak khususnya KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah maupun peserta pemilu (khususnya partai politik) perlu memperkuat upaya pendidikan pemilih terutama melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi.
Senab, selama ini, edukasi yang diberika beljm memberikan dampak yang berarti untuk menumbuhkan kecerdasan dan daya kritis pemilih pemula. Secara umum sosialisasi pemilu hanya berhasil meningkatkan pengetahuan dan kesadaran teknis elektoral seperti kapan, dimana dan bagaimana cara memberikan suara pada hari dan tanggal pemungutan suara dilakukan.
Sementara aspek-aspek substantif elektoral seperti arti penting setiap suara yang diberikan, pentingnya membangun otonomi dan kemandirian politik, dampak buruk dari praktik-praktik transaksi politik yang tidak sehat seperti money politics, dan dampak atau konsekuensi pilihan politik di kemudian hari, cenderung terabaikan dan gagal ditumbuhkan secara masif sebagai bentuk kesadaran substantif di kalangan pemilih pemula.
Memilih calon anggota legislatif hingga capres dan cawapres perlu dilakukan dengan rasional, tidak emosional dan sektarian. Hal itu penting agar pemimpin yang terpilih mampu membawa bangsa ke arah yang lebih baik bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Lihat Juga: Pram-Doel Menang Pilkada Jakarta Satu Putaran, Jubir Anies Harap Bisa Diterima Semua Pihak
(bmm)