Kemenkes Sebut Penyakit Tidak Menular Kini Mengancam Usia Muda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular pada Kementerian Kesehatan ( Kemenkes ) Cut Putri Ariane menyebutkan sebelum pandemi COVID-19, Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit katastropik dengan penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Hal ini mengakibatkan hilangnya hari produktif bagi penderita dan pendamping.
Menurut Cut, saat ini tren PTM semakin meningkat, dan menyerap biaya terbesar dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). "Kalau kita lihat, jantung koroner merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi, diikuti kanker, diabetes melitus dengan komplikasi, ada tuberculosis, kemudian PPOK," kata Cut dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (4/7/2020).
Sementara itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan bahwa saat ini perkembangan PTM di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pasalnya, peningkatan tren PTM diikuti oleh pergeseran pola penyakit. Jika dulu penyakit jenis ini biasanya dialami oleh kelompok lanjut usia, maka kini mulai mengancam kelompok usia produktif. ( )
"PTM sangat memprihatinkan, karena kalau dulu anggapannya kan pada orang tua, tapi sekarang trennya mulai naik pada usia 10 sampai 14 tahun," kata Cut.
Ancaman ini, menurut Cut, akan berdampak besar bagi sumber daya manusia dan perekonomian Indonesia ke depan. Sebab, pada 2030-2040 mendatang, Indonesia akan menghadapi bonus demografi, yang mana usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan kelompok usia nonproduktif.
Namun, apabila tren PTM usia muda naik, maka upaya Indonesia menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas menuju Indonesia maju pada 2045 mendatang, sulit tercapai. "Kita kan sebentar lagi menghadapi bonus demografi, yang kita harapkan pada usia-usia produktif yang tidak hanya cerdas secara akademis tapi juga sehat, karena sehat itu modal awal produktivitas," kata Cut.
Ia mengungkapkan, tingginya prevalensi PTM di Indonesia disebabkan gaya hidup yang tidak sehat. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 95,5% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5% masyarakat kurang aktivitas fisik, 29,3% masyarakat usia produktif merokok setiap hari, 31% mengalami obesitas sentral serta 21,8% terjadi obesitas pada dewasa.( )
"Perilaku kita di era teknologi sekarang ini, ternyata tidak semakin baik. Mungkin momentum ini yang mengingatkan kita semua bahwa ketika imunitas tubuh kita turun, orang semakin banyak yang peduli untuk mengubah gaya hidup," kata Cut.
Cut menekankan perubahan gaya hidup harus dilakukan sedini mungkin sebagai investasi kesehatan masa depan. Pun dengan pengendalian faktor risiko juga harus dilakukan sedini mungkin. Masyarakat harus memiliki kesadaran kesehatan agar tahu kondisi badannya, agar semakin mudah diobati sehingga tidak terlambat. "Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan skrining minimal 6 bulan sampai 1 tahun sekali," katanya.
Di masa pandemi ini, Kementerian Kesehatan memberikan fleksibilitas kepada penyandang PTM dengan memberikan kemudahan untuk mendapatkan obat untuk jangka waktu 2 bulan ke depan guna mengurangi mobilitas mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Menurut Cut, saat ini tren PTM semakin meningkat, dan menyerap biaya terbesar dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). "Kalau kita lihat, jantung koroner merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi, diikuti kanker, diabetes melitus dengan komplikasi, ada tuberculosis, kemudian PPOK," kata Cut dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (4/7/2020).
Sementara itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan bahwa saat ini perkembangan PTM di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pasalnya, peningkatan tren PTM diikuti oleh pergeseran pola penyakit. Jika dulu penyakit jenis ini biasanya dialami oleh kelompok lanjut usia, maka kini mulai mengancam kelompok usia produktif. ( )
"PTM sangat memprihatinkan, karena kalau dulu anggapannya kan pada orang tua, tapi sekarang trennya mulai naik pada usia 10 sampai 14 tahun," kata Cut.
Ancaman ini, menurut Cut, akan berdampak besar bagi sumber daya manusia dan perekonomian Indonesia ke depan. Sebab, pada 2030-2040 mendatang, Indonesia akan menghadapi bonus demografi, yang mana usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan kelompok usia nonproduktif.
Namun, apabila tren PTM usia muda naik, maka upaya Indonesia menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas menuju Indonesia maju pada 2045 mendatang, sulit tercapai. "Kita kan sebentar lagi menghadapi bonus demografi, yang kita harapkan pada usia-usia produktif yang tidak hanya cerdas secara akademis tapi juga sehat, karena sehat itu modal awal produktivitas," kata Cut.
Ia mengungkapkan, tingginya prevalensi PTM di Indonesia disebabkan gaya hidup yang tidak sehat. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 95,5% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5% masyarakat kurang aktivitas fisik, 29,3% masyarakat usia produktif merokok setiap hari, 31% mengalami obesitas sentral serta 21,8% terjadi obesitas pada dewasa.( )
"Perilaku kita di era teknologi sekarang ini, ternyata tidak semakin baik. Mungkin momentum ini yang mengingatkan kita semua bahwa ketika imunitas tubuh kita turun, orang semakin banyak yang peduli untuk mengubah gaya hidup," kata Cut.
Cut menekankan perubahan gaya hidup harus dilakukan sedini mungkin sebagai investasi kesehatan masa depan. Pun dengan pengendalian faktor risiko juga harus dilakukan sedini mungkin. Masyarakat harus memiliki kesadaran kesehatan agar tahu kondisi badannya, agar semakin mudah diobati sehingga tidak terlambat. "Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan skrining minimal 6 bulan sampai 1 tahun sekali," katanya.
Di masa pandemi ini, Kementerian Kesehatan memberikan fleksibilitas kepada penyandang PTM dengan memberikan kemudahan untuk mendapatkan obat untuk jangka waktu 2 bulan ke depan guna mengurangi mobilitas mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan.
(abd)