Tak Dibarengi Transisi Administrasi dan Politik, Otsus Papua Harus Direvisi

Minggu, 05 Juli 2020 - 11:03 WIB
loading...
Tak Dibarengi Transisi Administrasi dan Politik, Otsus Papua Harus Direvisi
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta Adriana Elisabeth menilai, Otsus Papua harus direvisi. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penerapan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua dan Papua Barat harus direvisi. Pasalnya, kebijakan tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan di daerah tersebut.

Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta Adriana Elisabeth menilai, Otsus Papua tidak terbukti menjadi “jalan tengah”, karena masih ada disharmonisasi relasi dan perbedaan perspektif antara pemerintah dan masyarakat Papua tentang keberhasilan atau kegagalan Otsus. ”Meskipun ada Otsus dengan dana yang terus meningkat setiap tahun, ketidakpuasan masih melanda sebagian warga Papua. Akumulasi persoalan ketidakadilan sosial ekonomi, masalah keamanan dan pelanggaran HAM mudah meletup menjadi aksi –aksi massa seperti pada Agustus-Oktober 2019 dan sebagian berlangsung anarkis,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Minggu (5/7/2020). (Baca juga: Legislator Papua Akui Otonomi Khusus Sudah Baik tapi Perlu Dibenahi)

Terlepas dari adanya kelompok politik yang sengaja meniupkan isu identitas yakni, diskriminasi rasial terhadap Papua, kata dia, banyaknya persoalan yang belum teratasi sejak pemberlakuan Otsus Papua 2001 seakan menjadi “bom waktu”. Ditambah prasangka buruk dan simpang siur informasi (misinformasi berita), semua ini mudah memantik kemarahan masyarakat. ”Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberi aba-aba untuk mengubah paradigma lama Membangun di Papua menjadi Papua Membangun sesuai dengan kondisi antropologis dan sosiologis masyarakat Papua yang sangat heterogen,” ucapnya.

Meskipun sebagian orang meyakini Otsus Papua telah gagal, namun perlu diingat bahwa pada awal Otsus Papua ditetapkan, hal itu tidak dibarengi dengan proses transisi administrasi dan politik yang mulus. Termasuk tidak ada pendampingan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Provinsi Papua yang harus mengemban kewenangan otonom berbeda dari masa sebelum Otsus. (Baca juga: Penerapan Otonomi Khusus di Papua oleh Pemerintah Diapresiasi)

”Bagaimana kewenangan dan tanggung jawab mengelola daerah dengan dana Otsus harus dikelola secara transparan dan akuntabel? Tampaknya ini tidak dibahas bersama sebelum Otsusdi berlakukan. Selain Otsus hanya dipahami sebagai uang. Kesalahan ini bukan hanya substantif, namun Otsus juga menyebabkan perubahan mental dan etos kerja,” kata dia.

Akibatnya, sebagian orang hanya menunggu jatuh tempo pencairan dana Otsus dan dana-dana lainnya. “Penting juga dipahami Otsus Papua (2001) dan Papua Barat (2008) secara formal menyatakan urgensi pemihakan, perlindungan dan pendampingan bagi Orasng Asli Papua (OAP) agar dapat mencapai kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) di berbagai bidang. Namun Otsus Papua bukan hanya milik orang Papua, melainkan juga milik semua warga Papua,” ujarnya. (Baca juga: Minta Dana Otsus Dievaluasi Menyeluruh, Jokowi Ingin Ada Kebijakan Baru)

Kesalahpahaman selama ini berdampak pada sikap apatis warga non-Papua terhadap kemajuan pembangunan Papua. Seolah-olah mereka tidak bertanggung jawab atas proses pembangunan di Tanah Papua khususnya sejak 2001. Narasi negatif terhadap warga non-Papua pun muncul, apalagi faktanya mereka lebih mampu mengambil keuntungan dari adanya Otsus Papua, baik terkait akses pelayanan public maupun dalam bidang ekonomi lokal, termasuk ekonomi tradisional.

”Otsus Papua harus direvisi, namun prosesnya tidak bisa ditentukan oleh Pemerintah Pusat saja, melainkan perlu melibatkan elemen-elemen di tujuh wilayah adat di seluruh Papua. Membuka ruang konsultasi public dalam konteks revisi Otsus Papua setidaknya akan membangun kesadaran bersama bahwa setiap proses memerlukan legitimasi dan ownership, sehingga setiap keberhasilan ataupun kegagalan akan menjadi tanggung jawab bersama. Ruang publik harus dibuka dengan bahasa dan komunikasi tanpa kekerasan (non-violent communication), tanpa stigma dan diskriminasi,” tegasnya. (Baca juga: Otsus Perlu Disempurnakan untuk Kesejahteraan Papua)

Dia menambahkan, sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang diperbarui dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 bersama dengan Nangroe Aceh, kedua provinsi di Tanah Papua tersebut juga memiliki hak-hak ekonomi dan sosial dan budaya.

Hak ekonomi antara lain, dana Otsus sebesar 2% dari seluruh DAU (dana alokasi umum) dari APBN. Ada pula Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) yang berlaku 25 tahun untuk dua provinsi di Papua. Dana Otsus yang bergulir sejak 2002 itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan OAP, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan DIT untuk mendukung pengembangan infrastruktur daerah. Belum lagi, program-program khusus dari satuan kerja kementerian dan lembaga (K/L), baik secara langsung maupun lewat instansi yang secara vertikal berada di bawahnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2082 seconds (0.1#10.140)