DPD Pertanyakan Dana Bagi Hasil Sawit untuk Masyarakat Papua

Jum'at, 07 Oktober 2022 - 20:25 WIB
loading...
DPD Pertanyakan Dana...
Anggota DPD asal Papua Barat Filep Wamafma mempertanyakan Dana Bagi Hasil (DHB) pajak perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat adat Papua dan pemerintah daerah. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Anggota DPD asal Papua Barat Filep Wamafma mempertanyakan Dana Bagi Hasil (DHB) pajak perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat adat Papua dan pemerintah daerah. DBH sawit bagi daerah penghasil merupakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

"Apakah masyarakat dan pemda di tanah Papua telah memperoleh DBH perkebunan kelapa sawit? Sebagai daerah penghasil, wajib hukumnya untuk mendapatkan DBH perkebunan kelapa sawit, sebagaimana hasil minyak bumi dan gas bumi (migas)," kata Filep dalam keterangannya, Jumat (7/10/2022).

Ia menjelaskan, Pasal 111 UU Nomor 1 Tahun 2022 menyebut bahwa DBH diambil dari pajak dan sumber daya alam. Pemerintah daerah dapat menetapkan jenis DBH lainnya yang berpotensi bagi daerah seperti perkebunan sawit.

Selain UU, kata Filep, alasan pemberian DBH kepada daerah penghasil karena kewenangan pemberian izin ada di pemerintah daerah. Menurutnya, daerah membutuhkan dana pembinaan untuk pengelolaan usaha perkebunan sawit. Sebab daerah penghasil yang menanggung dampak ekologi, ekonomi, dan sosial dari aktivitas perkebunan sawit.

Filep juga menyoroti putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang mengabulkan gugatan PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia dan membatal Keputusan Bupati Sorong Selatan yang mencabut Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan Sawit dua perusahaan tersebut pada 10 Agustus 2022. Ia mempertanyakan manfaat keberadaan dua perusahaan yang beroperasi di wilayah Sorong Selatan bagi warga sekitar.

"Kalau kita buka data tingkat pengangguran masih tinggi, angka rasio gini juga tertinggi di Papua Barat. Hal ini perlu menjadi perhatian serius," kata senator asal Papua Barat ini.

Berdasarkan data BPS Papua Barat, pada 2019-2021, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang merepresentasikan penduduk usia kerja belum terserap pada lapangan kerja di Kabupaten Sorong Selatan merupakan yang tertinggi setelah Kota Sorong. Begitu pula dengan angka rasio gini, data BPS Papua Barat menunjukkan angka Kabupaten Sorong Selatan merupakan yang tertinggi dengan rerata sebesar 0.43 sejak tahun 2019-2021 di antara kabupaten/kota di Papua Barat. Rasio gini digunakan untuk menginformasikan ketimpangan pendapatan penduduk dalam suatu wilayah.

"Apakah pemerintah daerah dan masyarakat adat telah memperoleh Dana Bagi Hasil dari pajak perkebunan kelapa sawit dari kedua perusahaan tersebut? Kalaupun belum, maka sangat disayangkan. Mengingat dampak sosial, ekonomi, dan ekologinya ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah daerah," ujar Filep.

Filep mengungkapkan, perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat menjadi sektor penghasil uang yang besar di daerah. Pada 2021, hasil produksi sawit Papua sebesar 574.681 ton dengan rata-rata pertumbuhannya 26,83% dan Papua Barat sebesar 109.589 ton dengan rata-rata pertumbuhannya 5,47%.

Data Kementan menunjukkan luas lahan perkebunan dan produksi kelapa sawit di Papua dan Papua Barat terus meningkat tiga tahun terakhir. Situasi ini dikhawatirkan memunculkan konflik horizontal karena masyarakat adat Suku Afsya di Kampung Bariat, Distrik Konda, dan masyarakat adat Tehit di Sorong Selatan sejak awal menolak perkebenunan sawit.

Sesuai Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, pejabat berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, kecuali telah dicapai persetujuan. Sementara pada Pasal 62 UU yang sama disebutkan, pengembangan perkebunan diselenggarakan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologi.

Sebagai Anggota Komite I DPD, Filep Wamafma meminta pemerintah segera membuat regulasi kuat dan komprehensif terkait hasil perkebunan kelapa sawit, terutama bagi warga Papua, khususnya masyarakat adat.

"Ini urgent supaya sebagai lex specialis, UU Otsus juga bisa mengaturnya. Kalau umbrella act atau aturan payungnya tidak ada, bagaimana kita bisa minta tanggung jawab perusahaan-perusahaan sawit soal perkebunan sawit yang berkelanjutan?" katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2000 seconds (0.1#10.140)