MPR: Dampak Perekonomian Global Harus Dijawab dengan Kebijakan yang Efektif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kekhawatiran publik dalam menghadapi dampak perekonomian global harus dijawab dengan meningkatkan kebijakan pemulihan ekonomi yang efektif. Termasuk mengoptimalkan setiap potensi yang ada.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema "Peluang Indonesia dalam Ketidakpastian Ekonomi Global" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/10/2022)
"Kendati berbagai lembaga internasional memprediksi ekonomi Indonesia 2022 tumbuh pada level antara 5,1% hingga 5,4%, aktivitas ekonomi dalam negeri perlu diperkuat dengan mengoptimalkan setiap potensi ekonomi yang kita miliki," katanya.
Diskusi yang dimoderatori dosen Universitas Pelita Harapan Radityo Fajar Arianto itu menghadirkan Tenaga Ahli Menteri Keuangan RI sekaligus Staf Pengajar FEB UI Kiki Verico, CEO Strategic ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC) Shanti Shamdasani.
Menteri Keuangan RI Periode 2013 – 2014 Muhammad Chatib Basri dan Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga Rudi Purwono. Termasuk Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual dan Financial Expert CNBC Indonesia Olivia Louise.
Menurut Lestari, saat ini pertumbuhan ekonomi nasional terus berlanjut, namun melambat di banyak negara. Meski demikian, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, kinerja ekonomi Indonesia saat ini relatif tumbuh kuat dengan kinerja sektor eksternal Indonesia yang sangat positif, didukung neraca perdagangan yang melanjutkan tren surplus ekspor dan impor pada Agustus 2022.
“Penanganan dampak krisis global ini tidak hanya bisa mengandalkan kekuatan dalam negeri, diperlukan kolaborasi dan sinergi antarnegara baik dalam satu kawasan maupun antarkawasan,” katanya.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem ini menilai, penanganan krisis membutuhkan upaya berkelanjutan agar sejumlah krisis lebih cepat terurai. Jika setiap masalah yang terurai bisa segera diatasi, maka ekonomi Indonesia bisa segera bangkit agar terhindar dari ancaman krisis yang lebih dalam lagi.
CEO SAIAC Shanti Shamdasani mengungkapkan saat ini dunia dilanda krisis yang tidak bisa dihindari. Selain perang Rusia dan Ukraina serta pandemic Covid-19, harus diwaspadai juga faktor lain yang akan memengaruhi krisis sebagai dampak ekonomi global seperti digitalisasi pada sektor keuangan yang membuat uang sulit sekali dipagari.
”Bukan hanya gejolak perang di Rusia dan Ukraina, goncangan pada ekonomi Taiwan juga berpotensi menambah beban krisis terhadap ekonomi global yang berdampak pada ekonomi negara-negara di Asia,” ucapnya.
Tenaga Ahli Menteri Keuangan RI/Staf Pengajar FEB UI Kiki Verico mengungkapkan, saat ini terjadi goncangan pada rantai pasokan dunia karena merosotnya industri elektronik dan otomotif dunia sebagai dampak pandemi dan perang Rusia dengan Ukraina.
Karena kebutuhan logistik untuk sektor elektronik dan otomotif sangat besar, ketika produksi elektronik dan otomotif jatuh karena pandemi dan perang maka terjadi goncangan pada rantai pasokan global.
”Perekonomian lesu akibat pandemi dan perang saat ini tidak separah dampak pandemi dan perang yang terjadi pada masa Perang Dunia II. Karena saat ini, kita mememiliki sejumlah lembaga keuangan dunia yang mampu menyerap goncangan dampak krisis global yang terjadi,” katanya.
Kiki berpendapat, dampak krisis global terhadap Indonesia tidak sebesar sejumlah negara, antara lain karena Indonesia cukup dominan pada industri makanan, minuman dan tembakau. Sedangkan pada krisis global saat ini, sebagian besar yang terpukul adalah manufaktur sektor elektronik. dan otomotif.
Menteri Keuangan RI Periode 2013 – 2014, Muhammad Chatib Basri berpendapat, sejumlah tekanan geopolitik seperti dampak konflik Rusia-Ukraina, melambatnya ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok serta negara-negara Eropa akan berdampak pada perekonomian Indonesia.
Dengan melemahnya perekonomian di negara-negara tujuan ekspor Indonesia itu, menurut Chatib, akan berdampak juga pada melemahnya perekonomian Indonesia pada 2023. Meski begitu, melemahnya perekonomian Indonesia tidak separah Singapura. Karena, proporsi ekspor Indonesia hanya 25% dari GDP.
”Meski perekonomian Indonesia akan slow down namun belum sampai resesi. Untuk menghadapi kondisi perekonomian yang serba salah saat ini, tidak ada ruang untuk membuat kesalahan," ujarnya.
Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Rudi Purwono mengungkapkan, secara global lembaga-lembaga keuangan dunia mengungkapkan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 akan lebih rendah daripada 2021, dan pertumbuhan ekonomi pada 2023 akan lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2022.
”Komoditas pangan dan energi, masih menjadi pengaruh utama pada perekonomian dunia. Negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan masih bisa mencatatkan inflasi yang relatif terkendali,” katanya.
Rudi menyarankan Pemerintah untuk menjaga pasar domestik di tengah potensi daya beli masyarakat yang rendah. Dia berharap APBN tetap sehat untuk dapat menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan miskin, serta mendorong pertumbuhan dunia usaha.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual berpendapat kondisi perekonomian Indonesia pada 2023 diperkirakan sangat baik. Karena, di tengah perekonomian global yang terguncang saat ini Indonesia mendapatkan sejumlah windfall profit dari kenaikan harga beberapa komoditas.
”Hasil dari windfall profit itu dimanfaatkan untuk belanja yang produktif, seperti meningkatkan kapasitas produksi manufaktur dan perdagangan di sektor usaha, mikro, kecil dan menengah (UMKM),” katanya.
Financial Expert CNBC Indonesia, Olivia Louise mengungkapkan di tengah guncangan ekonomi global banyak mata uang utama dunia terdepresiasi, namun mata uang Indonesia justru menguat. "Mudah-mudahan kondisi sperti ini bisa berlanjut," ujar Olivia.
Dengan kondisi tersebut, Olivia optimistis Indonesia tetap bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan baik.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema "Peluang Indonesia dalam Ketidakpastian Ekonomi Global" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/10/2022)
"Kendati berbagai lembaga internasional memprediksi ekonomi Indonesia 2022 tumbuh pada level antara 5,1% hingga 5,4%, aktivitas ekonomi dalam negeri perlu diperkuat dengan mengoptimalkan setiap potensi ekonomi yang kita miliki," katanya.
Diskusi yang dimoderatori dosen Universitas Pelita Harapan Radityo Fajar Arianto itu menghadirkan Tenaga Ahli Menteri Keuangan RI sekaligus Staf Pengajar FEB UI Kiki Verico, CEO Strategic ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC) Shanti Shamdasani.
Menteri Keuangan RI Periode 2013 – 2014 Muhammad Chatib Basri dan Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga Rudi Purwono. Termasuk Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual dan Financial Expert CNBC Indonesia Olivia Louise.
Menurut Lestari, saat ini pertumbuhan ekonomi nasional terus berlanjut, namun melambat di banyak negara. Meski demikian, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, kinerja ekonomi Indonesia saat ini relatif tumbuh kuat dengan kinerja sektor eksternal Indonesia yang sangat positif, didukung neraca perdagangan yang melanjutkan tren surplus ekspor dan impor pada Agustus 2022.
“Penanganan dampak krisis global ini tidak hanya bisa mengandalkan kekuatan dalam negeri, diperlukan kolaborasi dan sinergi antarnegara baik dalam satu kawasan maupun antarkawasan,” katanya.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem ini menilai, penanganan krisis membutuhkan upaya berkelanjutan agar sejumlah krisis lebih cepat terurai. Jika setiap masalah yang terurai bisa segera diatasi, maka ekonomi Indonesia bisa segera bangkit agar terhindar dari ancaman krisis yang lebih dalam lagi.
CEO SAIAC Shanti Shamdasani mengungkapkan saat ini dunia dilanda krisis yang tidak bisa dihindari. Selain perang Rusia dan Ukraina serta pandemic Covid-19, harus diwaspadai juga faktor lain yang akan memengaruhi krisis sebagai dampak ekonomi global seperti digitalisasi pada sektor keuangan yang membuat uang sulit sekali dipagari.
”Bukan hanya gejolak perang di Rusia dan Ukraina, goncangan pada ekonomi Taiwan juga berpotensi menambah beban krisis terhadap ekonomi global yang berdampak pada ekonomi negara-negara di Asia,” ucapnya.
Tenaga Ahli Menteri Keuangan RI/Staf Pengajar FEB UI Kiki Verico mengungkapkan, saat ini terjadi goncangan pada rantai pasokan dunia karena merosotnya industri elektronik dan otomotif dunia sebagai dampak pandemi dan perang Rusia dengan Ukraina.
Karena kebutuhan logistik untuk sektor elektronik dan otomotif sangat besar, ketika produksi elektronik dan otomotif jatuh karena pandemi dan perang maka terjadi goncangan pada rantai pasokan global.
”Perekonomian lesu akibat pandemi dan perang saat ini tidak separah dampak pandemi dan perang yang terjadi pada masa Perang Dunia II. Karena saat ini, kita mememiliki sejumlah lembaga keuangan dunia yang mampu menyerap goncangan dampak krisis global yang terjadi,” katanya.
Kiki berpendapat, dampak krisis global terhadap Indonesia tidak sebesar sejumlah negara, antara lain karena Indonesia cukup dominan pada industri makanan, minuman dan tembakau. Sedangkan pada krisis global saat ini, sebagian besar yang terpukul adalah manufaktur sektor elektronik. dan otomotif.
Menteri Keuangan RI Periode 2013 – 2014, Muhammad Chatib Basri berpendapat, sejumlah tekanan geopolitik seperti dampak konflik Rusia-Ukraina, melambatnya ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok serta negara-negara Eropa akan berdampak pada perekonomian Indonesia.
Dengan melemahnya perekonomian di negara-negara tujuan ekspor Indonesia itu, menurut Chatib, akan berdampak juga pada melemahnya perekonomian Indonesia pada 2023. Meski begitu, melemahnya perekonomian Indonesia tidak separah Singapura. Karena, proporsi ekspor Indonesia hanya 25% dari GDP.
”Meski perekonomian Indonesia akan slow down namun belum sampai resesi. Untuk menghadapi kondisi perekonomian yang serba salah saat ini, tidak ada ruang untuk membuat kesalahan," ujarnya.
Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Rudi Purwono mengungkapkan, secara global lembaga-lembaga keuangan dunia mengungkapkan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 akan lebih rendah daripada 2021, dan pertumbuhan ekonomi pada 2023 akan lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2022.
”Komoditas pangan dan energi, masih menjadi pengaruh utama pada perekonomian dunia. Negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan masih bisa mencatatkan inflasi yang relatif terkendali,” katanya.
Rudi menyarankan Pemerintah untuk menjaga pasar domestik di tengah potensi daya beli masyarakat yang rendah. Dia berharap APBN tetap sehat untuk dapat menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan miskin, serta mendorong pertumbuhan dunia usaha.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual berpendapat kondisi perekonomian Indonesia pada 2023 diperkirakan sangat baik. Karena, di tengah perekonomian global yang terguncang saat ini Indonesia mendapatkan sejumlah windfall profit dari kenaikan harga beberapa komoditas.
”Hasil dari windfall profit itu dimanfaatkan untuk belanja yang produktif, seperti meningkatkan kapasitas produksi manufaktur dan perdagangan di sektor usaha, mikro, kecil dan menengah (UMKM),” katanya.
Financial Expert CNBC Indonesia, Olivia Louise mengungkapkan di tengah guncangan ekonomi global banyak mata uang utama dunia terdepresiasi, namun mata uang Indonesia justru menguat. "Mudah-mudahan kondisi sperti ini bisa berlanjut," ujar Olivia.
Dengan kondisi tersebut, Olivia optimistis Indonesia tetap bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan baik.
(cip)