Menyambut Muktamar Muhammadiyah Ke-48

Rabu, 05 Oktober 2022 - 12:27 WIB
loading...
Menyambut Muktamar Muhammadiyah Ke-48
Nurkhamid Alfi (Foto: Ist)
A A A
Nurkhamid Alfi
Business Advisor, Alumnus Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), Tinggal di Grand Wisata Bekasi

AGAKNYA Muktamar Muhammadiyah Ke-48 di Solo ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah perhelatan Muktamar Muhammadiyah. Tandanya sangat kentara. Para penggembira muktamar dari berbagai daerah telah mengorganisasi diri untuk datang langsung ke Solo.

Informasi ini telah ramai mewarnai WAG warga Muhammadiyah. Kegiatan menyongsong muktamar telah masif terjadi di daerah seluruh Indonesia sejak hampir tiga bulan lalu. Bahkan juga terjadi di cabang-cabang Muhammadiyah luar negeri. Jenisnya bermacam ragam. Dari yang bersifat entertainment sampai pada seminar yang orientasinya pada bahasan tentang gagasan-gagasan bagaimana Muhammadiyah lebih maju ke depan dalam menatap percaturan peradaban yang semakin kompleks.

Baca Juga: koran-sindo.com

Kompleksitas masalah itu tentu tidak hanya melulu isu-isu keumatan maupun kebangsaan dalam negeri, tetapi juga menyangkut isu pergeseran geopolitik internasional yang dipengaruhi oleh perang antara Rusia dan Ukraina, serta dampaknya terhadap umat Islam di Indonesia.

Perang di semenanjung Krimea ini ditengerai akan sangat lama dengan dampak global yang mengkhawatirkan. Pada The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations, Daniel Yergin memprediksi ada perubahan geopolitik global yang cepat akibat benturan kepentingan antarnegara, perebutan akses energi, dan tantangan perubahan iklim di saat krisis global.

Di ranah isu, dialektika hubungan internasional tidak juga hanya terfokus pada persoalan keamanan dan militer semata. Conflicts of communal identity yang berbasis agama masih saja mengemuka sebagai sumber konflik. Namun, di sisi lain, seiring perkembangan global, agama semakin diyakini perannya dalam hubungan internasional. Karena itu, agama adalah fenomena transnasional yang ibarat dua sisi mata uang berpotensi menciptakan harmoni dan konflik (Charles WKegley dan Eugene RWitkopf, Global Politics: Trend and Transformation, New York, St Martin Press, 1997). Namun, sebenarnya ajaran agama bukan menjadi penyebab asli adanya konflik. Yang terjadi adalah agama dieksploitasi untuk tujuan sosial, politik, maupun ekonomi sehingga memicu konflik.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderat harus mampu menginternasionalkan ajaran agama Islam sebagai sumber harmoni dan perdamaian dunia. Bukan sumber konflik. Islam yang mempunyai watak asli rahmatan lil’alamin harus dihadirkan di tengah kehidupan masyarakat dunia agar kedamaian dan kasih sayang terwujud.

Isu ini diharapkan dibahas pada muktamar di sesi peradaban dan kemanusiaan universal. Sementara itu, isu-isu lokal seperti risalah Islam berkemajuan, keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan secara universal yang telah menjadi fokus Muktamar Ke-47 sebelumnya di Makassar perlu direviu dan dievaluasi capaian-capaian yang berhasil diraih maupun yang belum dilaksanakan.

Muktamar Muhammadiyah Ke-47 lalu di Makassar mengusung tema “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan” adalah komitmen Muhammadiyah untuk ikut serta memajukan Indonesia. Karena itu, ada 13 rekomendasi yang dihasilkan untuk isu-isu keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal.

Salah dua rekomendasi terpenting yang langsung berhubungan dengan marwah Islam di mana sampai saat ini masih belum ada progresnya adalah “Peningkatan Daya Saing Umat Islam” serta “Melayani dan Memberdayakan Kelompok Difabel dan Kelompok Rentan Lainnya”. Ini menyangkut empowering of muslims towards economic access yang berhubungan dengan akses permodalan dan kesempatan membuka jaringan pasar.

Untuk memaknai komitmen yang berurusan dengan ekonomi umat itu, Muhammadiyah akan lebih mudah melakukannya jika mampu merevaluasi dan merevitalisasi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang dimilikinya.

Pendirian Bank Syariah Muhammadiyah
Satu di antara langkah yang paling strategis adalah pendirian Bank Syariah Muhammadiyah (BSM). Setidaknya ada dua alasan mengapa Muhammadiyah perlu mendirikan bank. Pertama, setelah beberapa bank syariah pemerintah meleburkan diri menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), pangsa pasarnya akan lebih fokus kepada nasabah korporasi besar, yang memiliki akses kuat secara politik, ekonomi, dan sosial.

Kedua, Muhammadiyah akan lebih leluasa meningkatkan akses permodalan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam alur ekonomi kerakyatan secara mandiri.

Dengan dana konsolidasi dari AUM sudah cukup memenuhi modal inti sebagai persyaratan pendirian bank. Bukan hanya modal, jaringan nasabah juga sudah tersedia. Ribuan sekolah, pondok pesantren, dan perguruan tinggi telah menerapkan sistem pengelolaan keuangan melalui perbankan. Sudah barang pasti, anak didik termasuk mahasiswa, maupun wali murid, akan membuka rekeningnya ke BSM demi mempermudah sistem pembayaran biaya sekolah maupun kuliah. Begitu juga dengan ratusan rumah sakit Muhammadiyah dan AUM lainnya. Semuanya memanfaatkan perbankan.

Belum lagi perkumpulan saudagar Muhammadiyah yang jumlah anggota maupun omzet dan aset perniagaannya tersebar di mana-mana. Para sudagar itu tentu sudah menerapkan payroll system untuk penggajian karyawannya melalui bank.

Dengan begitu, BSM bukan hanya menjalankan sistem syariah dalam menjalankan seluruh transaksinya. Bukan pula hanya menjalankan misinya sebagai fasilitator dan mediasi finansial yang memberikan sarana pengembangan ekonomi umat dan UMKM, tetapi BSM juga akan memperoleh keuntungan yang baik. Fee based income yang biasa digunakan bank untuk biaya administrasi dan expenses tahunan, besar kemungkinan telah tertutupi oleh transaksi keuangan dari semua AUM. I

ni belum keuntungan dari transaksi spot dan derivative melalui fee Giro Wadiah, Perjanjian Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, dan transaksi syariah lainnya. Jadi, dari prospektif bisnis, BSM ini feasible dan layak didirikan.

Ada lagi hal yang strategis yang tidak bisa dilakukan Muhammadiyah, kecuali mempunyai bank, yakni sebagai mediasi yang mampu mengerahkan dana-dana syariah dari luar negeri untuk menyalurkan kembali dana-dana itu kepada saudagar Muhammadiyah sehingga mereka mampu naik kelas dalam menjalankan usaha bisnisnya.

Banyak dari para saudagar Muslim yang kapasitas managerial korporasinya baik, kualitas sumber daya manusianya juga baik dan berpengalaman. Tetapi, kalah bersaing dengan korporasi lain karena ketiadaan ekuitas. Misalnya investasi pada proyek perkebunan, pertambangan, properti, atau kelistrikan yang menjadi primadona bisnis karena profitnya besar.

Perkebunan sawit yang saat ini menjadi andalan utama Indonesia dalam ekspor dipunyai oleh korporasi lain. Padahal, pemerintah membuka kesempatan luas dengan membagikan hak guna usaha (HGU) kepada para pengusaha untuk ditanami kelapa sawit. Begitu pun dengan usaha kelistrikan. Namun, saudagar Muslim tidak banyak berbicara tentang ini.

Di lain pihak, dana-dana syariah, khususnya dari Timur Tengah, banyak yang tidak masuk ke Indonesia walaupun penduduknya sebagian besar Muslim. Hal ini karena lembaga keuangan syariah di Indonesia dipandang lemah sehingga sulit dipercaya sebagai financial arranger. Dana-dana itu lebih banyak mengalir ke negara-negara non-Muslim yang mempunyai lembaga keuangan syariah yang kredibel.

Jika bank dikelola secara profesional untuk mencapai kredibilitas dan akuntabilitas yang tinggi, maka instrumen bank sangat bisa membantu para pengusaha Muhammadiyah untuk mendapatkan dana investasi syariah dari luar negeri, dengan hanya menyediakan internal equity maksimum 30% dari total dana proyek yang dibutuhkan.

Artinya, pengusaha dalam melakukan transaksi memakai skema project financing, melibatkan bank untuk menerbitkan bank guarantee atau Kafalah atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap lenders dari 70% porsi pembiayaan proyek.

Dari ketiadaan Kafalah inilah yang menyebabkan pengusaha Muslim selalu kalah dalam kompetisi bisnis dengan pihak lain. Sebab itu, BSM diharapkan mampu memediasi antara sumber-sumber dana dan pengguna dana dengan tetap mengedepankan faktor prudent dan accountable.

Melalui pendirian bank, Muhammadiyah juga semakin luwes dalam menata dana sosial. Pengumpulan dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, maupun wakaf bisa dengan mudah dilakukan melalui perbankan karena setiap muzakki bisa mengakses melalui gawainya secara pribadi sehingga di mana pun dan kapan pun bisa mentransfer dananya untuk kepentingan sosial.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1699 seconds (0.1#10.140)