Gagasan Penghapusan Sistem Peradilan Pidana (Abolisionisme)
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
GAGASAN penghapusan sistem peradilan pidana (abolisionisme) pernah dikemukakan oleh Louk Hulsman pada 1964 ketika menjabat Kamar Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Rotterdam, Belanda. Gagasan ini menarik setelah akhir-akhir ini petinggi hukum di negeri ini mengeluarkan kebijakan pendekatan baru dalam sistem peradilan pidana (SPP) yaitu keadilan restoratif (restorative justice).
Bahkan dalam banyak hal dan mengikuti perkembangan penanggulangan kejahatan; pendekatan keadilan restoratif tampaknya merupakan jalan keluar (solusi) yang bijak dan efisien dalam persengketaan pidana antara pihak-pihak terkait, pelapor dan korban; sepanjang delik aduan namun tidak menutup kemungkinan juga pada delik biasa.
Jika ditelusuri mengapa hukum menjadi “panglima” sejak era abad 17 sampai saat ini adalah disebabkan perubahan kemasyarakatan yang semula kekuasaan berada di tangan suku bangsa yang kuat dengan perkembangan masyarakat menuju sebuah negara di mana rakyatnya menyerahkan perlindungan keamanan dan kesejahteraan kepada negara, suatu pemerintah yang dipilih oleh rakyatnya.
Berdasarkan aspek historis dari pembentukan negara dan alat kelengkapannya maka kedaulatan rakyat (vox populi vox dei) diserahkan sepenuhnya kepada negara dan lembaga-lembaganya termasuk penegak hukum dalam menyelesaikan persengketaan dan peristiwa pidana, artinya negara bergerak mewakili rakyatnya cc korban tidak dilihat sebagai subjek hukum --melainkan objek hukum yang memerlukan bantuan aparat penegak hukum (APH).
Perkembangan ke arah total sistem peradilan pidana (SPP) saat ini baru wacana; yang telah terjadi adalah diversi dalam SPP Anak. SPP Anak sudah diberlakukan di Indonesia dengan UU Nomor 11 Tahun 2012. Bahkan lebih jauh dalam SPP orang dewasa telah dikembangkan restorative justice (RJ). Alternatif penyelesaian perkara pidana; u di kejaksaan didasarkan pada nilai perkara sebatas sampai nilai Rp2.500 000.
Di kepolisian khusus dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara RJ hanya dipersyaratkan, a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; b. tidak berdampak konflik sosial; c. tidak berpotensi memecah belah bangsa; d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme; e. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; dan f. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Pasal 6 (1) persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi: a. perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba; dan b. pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak pidana narkoba. Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian dan ditandatangani oleh para pihak.
Pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa: a. mengembalikan barang; b. mengganti kerugian; c. menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau d. mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.
Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 dalam Pasal 14 ayat (1). Penghentian penuntutan demi hukum berdasarkan Perja Nomor 15 Tahun 2020, Pasa14 (1) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan: a. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; b. penghindaran stigma negatif; c. penghindaran pembalasan; d. respons dan keharmonisan masyarakat; dan e. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
(2) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; b. latar belakang dilakukannya tindak penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e ketentuan tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan: a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menghentikan penuntutan. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab.
Perkembangan praktik hukum melalui RJ nerupakan langkah awal mewujudkan ketentuann Pasal 2 (1) RKUHP 2019/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan reformasi parsial SPP tersebut di atas telah menetapkan arah politik hukum pidana keadilan retribusi sebagai ultimum remedium dan keadilan restoratof sebagai pribumi remedium dalam menyelesaikan masalah hukum pidana di lapangan. Politik hukum sedemikian secara perlahan dapat mewujudkan SPP Pancasila.. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa abolisionisme total tidak memperoleh pengakuan dalam sistem hukum pidana Indonesia khususnya SPP.
Sesungguhnya jika diversi dalam SPP Indonesia dalam wujud RJ telah diterima secara penuh dan meluas diperbaiki wilayah Indonesia maka dapat dikatakan merupakan wujud nyata dari ketentuan 9 Pasal 2 ( RJ) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang mengatakan antara lain
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum."
Namun demikian merujuk ketentuan Pasal 2 di atas, pemerintah harus mempersiapkan secara serius suatu kitab inventarisasi hukum adat yang diakui dan tidak bertentangan dengan hukum pidana nasional yang telah diakui melalui KUHP (1946). Sistem hukum pidana Indonesia masih memerlukan sistem peradilan pidana restorative justice tanpa harus meninggalkan retributive justice.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Sanksi Administratif di Sektor Kelautan dan Perikanan untuk Pemulihan Ekosistem dan Lebih Berefek Jera
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
GAGASAN penghapusan sistem peradilan pidana (abolisionisme) pernah dikemukakan oleh Louk Hulsman pada 1964 ketika menjabat Kamar Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Rotterdam, Belanda. Gagasan ini menarik setelah akhir-akhir ini petinggi hukum di negeri ini mengeluarkan kebijakan pendekatan baru dalam sistem peradilan pidana (SPP) yaitu keadilan restoratif (restorative justice).
Bahkan dalam banyak hal dan mengikuti perkembangan penanggulangan kejahatan; pendekatan keadilan restoratif tampaknya merupakan jalan keluar (solusi) yang bijak dan efisien dalam persengketaan pidana antara pihak-pihak terkait, pelapor dan korban; sepanjang delik aduan namun tidak menutup kemungkinan juga pada delik biasa.
Jika ditelusuri mengapa hukum menjadi “panglima” sejak era abad 17 sampai saat ini adalah disebabkan perubahan kemasyarakatan yang semula kekuasaan berada di tangan suku bangsa yang kuat dengan perkembangan masyarakat menuju sebuah negara di mana rakyatnya menyerahkan perlindungan keamanan dan kesejahteraan kepada negara, suatu pemerintah yang dipilih oleh rakyatnya.
Berdasarkan aspek historis dari pembentukan negara dan alat kelengkapannya maka kedaulatan rakyat (vox populi vox dei) diserahkan sepenuhnya kepada negara dan lembaga-lembaganya termasuk penegak hukum dalam menyelesaikan persengketaan dan peristiwa pidana, artinya negara bergerak mewakili rakyatnya cc korban tidak dilihat sebagai subjek hukum --melainkan objek hukum yang memerlukan bantuan aparat penegak hukum (APH).
Perkembangan ke arah total sistem peradilan pidana (SPP) saat ini baru wacana; yang telah terjadi adalah diversi dalam SPP Anak. SPP Anak sudah diberlakukan di Indonesia dengan UU Nomor 11 Tahun 2012. Bahkan lebih jauh dalam SPP orang dewasa telah dikembangkan restorative justice (RJ). Alternatif penyelesaian perkara pidana; u di kejaksaan didasarkan pada nilai perkara sebatas sampai nilai Rp2.500 000.
Di kepolisian khusus dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara RJ hanya dipersyaratkan, a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; b. tidak berdampak konflik sosial; c. tidak berpotensi memecah belah bangsa; d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme; e. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; dan f. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Pasal 6 (1) persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi: a. perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba; dan b. pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak pidana narkoba. Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian dan ditandatangani oleh para pihak.
Pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa: a. mengembalikan barang; b. mengganti kerugian; c. menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau d. mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.
Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 dalam Pasal 14 ayat (1). Penghentian penuntutan demi hukum berdasarkan Perja Nomor 15 Tahun 2020, Pasa14 (1) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan: a. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; b. penghindaran stigma negatif; c. penghindaran pembalasan; d. respons dan keharmonisan masyarakat; dan e. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
(2) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; b. latar belakang dilakukannya tindak penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e ketentuan tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan: a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menghentikan penuntutan. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab.
Perkembangan praktik hukum melalui RJ nerupakan langkah awal mewujudkan ketentuann Pasal 2 (1) RKUHP 2019/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan reformasi parsial SPP tersebut di atas telah menetapkan arah politik hukum pidana keadilan retribusi sebagai ultimum remedium dan keadilan restoratof sebagai pribumi remedium dalam menyelesaikan masalah hukum pidana di lapangan. Politik hukum sedemikian secara perlahan dapat mewujudkan SPP Pancasila.. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa abolisionisme total tidak memperoleh pengakuan dalam sistem hukum pidana Indonesia khususnya SPP.
Sesungguhnya jika diversi dalam SPP Indonesia dalam wujud RJ telah diterima secara penuh dan meluas diperbaiki wilayah Indonesia maka dapat dikatakan merupakan wujud nyata dari ketentuan 9 Pasal 2 ( RJ) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang mengatakan antara lain
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum."
Namun demikian merujuk ketentuan Pasal 2 di atas, pemerintah harus mempersiapkan secara serius suatu kitab inventarisasi hukum adat yang diakui dan tidak bertentangan dengan hukum pidana nasional yang telah diakui melalui KUHP (1946). Sistem hukum pidana Indonesia masih memerlukan sistem peradilan pidana restorative justice tanpa harus meninggalkan retributive justice.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Sanksi Administratif di Sektor Kelautan dan Perikanan untuk Pemulihan Ekosistem dan Lebih Berefek Jera
(bmm)