Murka Jokowi
loading...
A
A
A
Publik juga jangan terkecoh. Murka besar Jokowi tak bisa dibaca linear. Mesti dilihat dalam konteks politik tertentu. Mungkin saja kementerian yang disentil tak direshuffle. Malah yang tak disentil itulah yang diganti. Di situlah takdir reshuffle berlaku. Sebab, dalam selipan kalimat Jokowi menyebut semua menteri bekerja biasa-biasa saja. Itu artinya, setiap menteri memiliki tingkat probabilitas yang sama untuk diganti.
Dalam konteks inilah, reshuffle akan selalu menjadi teka teki yang menyerupai takdir. Karena tak bisa dipastikan. Bukan kali ini saja Jokowi marah dan mengancam kocok ulang kabinet. Periode sebelumnya juga sama, relatif sering diulang meski realitasnya berbeda. Jangan-jangan murka Jokowi hanyalah ekpresi alamiah seorang presiden yang tak puas kerja menterinya. Di sinilah pentingnya meletakkan Jokowi sebagai sosok manusia biasa yang perlu dijejakkan ke tanah. Bisa marah, bisa salah, dan bisa saja keliru.
Atau mungkin juga Jokowi hanya ingin menunjukkan ke publik bahwa sebagai presiden dirinya bisa berbuat apa saja. Sebab, secara politik ia cukup otoritatif menentukan keputusan strategis apapun. Termasuk urusan reshuffle.
Menteri tak Biasa
Lalu apa yang bisa diringkus dari murka Jokowi? Pertama, Jokowi ingin menterinya jangan biasa-biasa saja menghadapai wabah korona. Harus bisa bermanuver dalam kondisi sulit. Pola kerjanya mesti extraordinary melampaui batas usaha yang biasanya landai saja. Saat ini kondisi tak normal karena korona. Butuh inovasi menteri untuk menjaga keseimbangan.
Jokowi hanya ingin success story para menteri bisa dikloning dalam menghadapi virus korona. Inilah tantangan nyata Jokowi bagi para pembantunya itu. Apakah mereka bisa bekerja dengan cara tak bisa? Toh semua kesulitannya sudah dibabat. Setidaknya, dana dan regulasi sudah cukup memadai. Jadi tak ada alasan lagi untuk tak bekerja maksimal.
Kedua, marah besar Jokowi juga mesti diletakkan dalam konteks prakondisi reshuffle. Jokowi sepertinya memberikan waktu (buying times) agar menterinya segera berbenah dalam menghadapi korona. Terutama sektor kesehatan, bantuan sosial, dan stimulus ekonomi. Video kemarahan yang viral itu semacam prolog Jokowi merombak kabinet menghindari gejolak di kemudian hari. Jadi, reshuffle tak ujug-ujug dilakukan tapi sudah melalui ‘pemanasan’ awal melalui ultimatum kemarahan.
Jika terjadi reshuffle, entah kapan, paling ungkin dan mudah dilakukan pada menteri kalangan profesional. Resiko politiknya minimalis. Mudah dinetralisir. Beda ceritanya dengan menteri dari partai politik. Jokowi pasti berhitung betul. Mencari cara terbaik terutama demi menghindari kegaduhan dan gejolak politik. Suka tak suka, semua parpol yang ada di kabinet saat ini adalah paling pintu utama Jokowi saat pemilu 2019 lalu.
Disinilah letak dilema Jokowi. Antara tuntutan menteri kerja profesional dan menjaga stabilitas politik. Dua dimensi yang selalu melekat dalam sistem politik presidensil multipartai ekstrim di Indonesia. Presiden memang dipilih langsung rakyat tapi kompromi politik dengan partai politik pengusung tak bisa diabaikan.
Akhirnya, anggap saja ujung dari murka Jokowi adalah rombak kabinet. Tentu saja penggatinya adalah menteri ‘tak biasa’ yang punya nilai pembeda. Yakni, menteri kreatif di tengah kesulitan hidup. Menteri yang bisa memberikan surplus ekonomi dan politik di tengah keterbatasan. Tanpa itu semua, kemarahan presiden maupun reshuflle tak akan ada artinya. Ya, hanya marah saja. Tak lebih.
Dalam konteks inilah, reshuffle akan selalu menjadi teka teki yang menyerupai takdir. Karena tak bisa dipastikan. Bukan kali ini saja Jokowi marah dan mengancam kocok ulang kabinet. Periode sebelumnya juga sama, relatif sering diulang meski realitasnya berbeda. Jangan-jangan murka Jokowi hanyalah ekpresi alamiah seorang presiden yang tak puas kerja menterinya. Di sinilah pentingnya meletakkan Jokowi sebagai sosok manusia biasa yang perlu dijejakkan ke tanah. Bisa marah, bisa salah, dan bisa saja keliru.
Atau mungkin juga Jokowi hanya ingin menunjukkan ke publik bahwa sebagai presiden dirinya bisa berbuat apa saja. Sebab, secara politik ia cukup otoritatif menentukan keputusan strategis apapun. Termasuk urusan reshuffle.
Menteri tak Biasa
Lalu apa yang bisa diringkus dari murka Jokowi? Pertama, Jokowi ingin menterinya jangan biasa-biasa saja menghadapai wabah korona. Harus bisa bermanuver dalam kondisi sulit. Pola kerjanya mesti extraordinary melampaui batas usaha yang biasanya landai saja. Saat ini kondisi tak normal karena korona. Butuh inovasi menteri untuk menjaga keseimbangan.
Jokowi hanya ingin success story para menteri bisa dikloning dalam menghadapi virus korona. Inilah tantangan nyata Jokowi bagi para pembantunya itu. Apakah mereka bisa bekerja dengan cara tak bisa? Toh semua kesulitannya sudah dibabat. Setidaknya, dana dan regulasi sudah cukup memadai. Jadi tak ada alasan lagi untuk tak bekerja maksimal.
Kedua, marah besar Jokowi juga mesti diletakkan dalam konteks prakondisi reshuffle. Jokowi sepertinya memberikan waktu (buying times) agar menterinya segera berbenah dalam menghadapi korona. Terutama sektor kesehatan, bantuan sosial, dan stimulus ekonomi. Video kemarahan yang viral itu semacam prolog Jokowi merombak kabinet menghindari gejolak di kemudian hari. Jadi, reshuffle tak ujug-ujug dilakukan tapi sudah melalui ‘pemanasan’ awal melalui ultimatum kemarahan.
Jika terjadi reshuffle, entah kapan, paling ungkin dan mudah dilakukan pada menteri kalangan profesional. Resiko politiknya minimalis. Mudah dinetralisir. Beda ceritanya dengan menteri dari partai politik. Jokowi pasti berhitung betul. Mencari cara terbaik terutama demi menghindari kegaduhan dan gejolak politik. Suka tak suka, semua parpol yang ada di kabinet saat ini adalah paling pintu utama Jokowi saat pemilu 2019 lalu.
Disinilah letak dilema Jokowi. Antara tuntutan menteri kerja profesional dan menjaga stabilitas politik. Dua dimensi yang selalu melekat dalam sistem politik presidensil multipartai ekstrim di Indonesia. Presiden memang dipilih langsung rakyat tapi kompromi politik dengan partai politik pengusung tak bisa diabaikan.
Akhirnya, anggap saja ujung dari murka Jokowi adalah rombak kabinet. Tentu saja penggatinya adalah menteri ‘tak biasa’ yang punya nilai pembeda. Yakni, menteri kreatif di tengah kesulitan hidup. Menteri yang bisa memberikan surplus ekonomi dan politik di tengah keterbatasan. Tanpa itu semua, kemarahan presiden maupun reshuflle tak akan ada artinya. Ya, hanya marah saja. Tak lebih.
(ras)