Murka Jokowi
loading...
A
A
A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik
JOKOWI murka besar. Para pembantunya dinilai tak punya sense of crisis. Biasa-biasa saja menghadapai pandemi Covid-19. Tak ada upaya extraordinary di luar kewajaran. Segala hal sudah diberikan. Anggaran berlimpah hingga kemudahan regulasi. Padahal kabinet kerja jilid II ini diiringi sanjung puji karena dipenuhi orang yang katanya ‘tak biasa’.
Murka Jokowi karena kerja menteri tak sesuai ekspektasi. Manuver nyatanya tak pernah ada. Semua mati gaya dan lesu darah menghadapi Korona. Kreatifitas yang diharapkan tak kunjung tiba. Padahal hampir setahun menteri menjabat. Bayangkan menyerap anggaran saja tak bisa, distribusi bansos tak maksimal, dan stimulus ekonomi rendah, apalagi berimprovisasi yang lainnya.
Dalam perspektif filsafat politik, pernyataan elit seperti presiden menjelma sebagai sebagai sebuah teks politik bebas tafsir yang cenderung liar. Sangat tergantung pada kapasitas subjek yang menafsirkan. Lingkungan bermain, pola pikir, dan asupan informasi turut serta mengontruk hasil tafsir seseorang.
Bagi kebanyakan orang awam murka Jokowi dimaknai sebagai ultimatum. Semacam intimidasi politik menuju reshuffle karena performa kerja menteri lemah. Bagi loyal votersnya, Jokowi menunjukkan taringnya sebagai pemimpin tegas pemberani. Tak takut tekanan juga tak punya beban politik apapun. Namun bagi para haters, Jokowi hanya pencitraan, gertak sambal, dan ‘mengorbankan’ menterinya saja di tengah kesulitan menghadapi korona. Sebatas show di panggung muka. Efeknya nihil.
Ragam tafsir itu menjejali ruang publik bekalangan ini. Riuh rendah saut-sautan antar mazhab tak kunjung selesai. Saling klaim saling tuding nyaris tanpa henti. Sejenak wabah korona dilupakan. Sejenak suhu panas RUU HIP lenyap. Yang ada hanyalah dirkursus marah besar Jokowi. Memantik polemik tak berkesudahan.
Dari segi perspektif komunikasi politik, Jokowi sedang memeragakan Low Context Communication. Sejenis model komunikasi yang langsung ke inti persoalan tanpa tedeng aling. Padahal biasanya Jokowi lebih kalem. Bahkan banyak guyon. Kritik dan kemarahannya tak terlampau ditampakkan ke publik.
Tapi entahlah, apapun tafsir banyak orang, inilah ‘the new Jokowi’. Tampil dengan gaya baru dengan karakter lugas dan direct ke persoalan. Tak lagi adem ayem. Periode kedua Jokowi tentunya pertaruhan besar untuk meninggalkan legacy yang baik. Karenanya, ending dari murka Jokowi menarik ditunggu. Reshuffle atau melodrama politik. Sekedar menunjukkan bahwa ia telah kerja keras tapi menterinya gagal paham.
Takdir Reshuffle
Reshuffle kabinet layaknya takdir Tuhan. Tak pernah ada yang tahu persis siapa menteri yang tersingkir dan tetap bertahan. Semacam teka teki yang penuh sakralitas. Hanya Jokowi dan Tuhan saja yang pastinya tahu. Selain pertimbangan politik ada faktor subjektifitas presiden yang melekat dalam setiap isu rombak kabinet. Presiden butuh kontemplasi mencari jalan terbaik.
Dalam tradisi politik Jawa, dalam setiap pengambilan keputusan penting, interaksi seorang aktor politik penting tak hanya horizontal tapi juga vertikal. Ada komunikasi dengan dunia transenden yang mengandung begitu banyak unsur sakralitas. Yakni, unsur ilahiah yang cukup dominan. Ben Anderson dalam The Idea Power of Javanese Culture menyebut konsep kekuasaan Jawa sangat abstrak. Datang dari dunia lain yang kasat mata.
Direktur Eksekutif Parameter Politik
JOKOWI murka besar. Para pembantunya dinilai tak punya sense of crisis. Biasa-biasa saja menghadapai pandemi Covid-19. Tak ada upaya extraordinary di luar kewajaran. Segala hal sudah diberikan. Anggaran berlimpah hingga kemudahan regulasi. Padahal kabinet kerja jilid II ini diiringi sanjung puji karena dipenuhi orang yang katanya ‘tak biasa’.
Murka Jokowi karena kerja menteri tak sesuai ekspektasi. Manuver nyatanya tak pernah ada. Semua mati gaya dan lesu darah menghadapi Korona. Kreatifitas yang diharapkan tak kunjung tiba. Padahal hampir setahun menteri menjabat. Bayangkan menyerap anggaran saja tak bisa, distribusi bansos tak maksimal, dan stimulus ekonomi rendah, apalagi berimprovisasi yang lainnya.
Dalam perspektif filsafat politik, pernyataan elit seperti presiden menjelma sebagai sebagai sebuah teks politik bebas tafsir yang cenderung liar. Sangat tergantung pada kapasitas subjek yang menafsirkan. Lingkungan bermain, pola pikir, dan asupan informasi turut serta mengontruk hasil tafsir seseorang.
Bagi kebanyakan orang awam murka Jokowi dimaknai sebagai ultimatum. Semacam intimidasi politik menuju reshuffle karena performa kerja menteri lemah. Bagi loyal votersnya, Jokowi menunjukkan taringnya sebagai pemimpin tegas pemberani. Tak takut tekanan juga tak punya beban politik apapun. Namun bagi para haters, Jokowi hanya pencitraan, gertak sambal, dan ‘mengorbankan’ menterinya saja di tengah kesulitan menghadapi korona. Sebatas show di panggung muka. Efeknya nihil.
Ragam tafsir itu menjejali ruang publik bekalangan ini. Riuh rendah saut-sautan antar mazhab tak kunjung selesai. Saling klaim saling tuding nyaris tanpa henti. Sejenak wabah korona dilupakan. Sejenak suhu panas RUU HIP lenyap. Yang ada hanyalah dirkursus marah besar Jokowi. Memantik polemik tak berkesudahan.
Dari segi perspektif komunikasi politik, Jokowi sedang memeragakan Low Context Communication. Sejenis model komunikasi yang langsung ke inti persoalan tanpa tedeng aling. Padahal biasanya Jokowi lebih kalem. Bahkan banyak guyon. Kritik dan kemarahannya tak terlampau ditampakkan ke publik.
Tapi entahlah, apapun tafsir banyak orang, inilah ‘the new Jokowi’. Tampil dengan gaya baru dengan karakter lugas dan direct ke persoalan. Tak lagi adem ayem. Periode kedua Jokowi tentunya pertaruhan besar untuk meninggalkan legacy yang baik. Karenanya, ending dari murka Jokowi menarik ditunggu. Reshuffle atau melodrama politik. Sekedar menunjukkan bahwa ia telah kerja keras tapi menterinya gagal paham.
Takdir Reshuffle
Reshuffle kabinet layaknya takdir Tuhan. Tak pernah ada yang tahu persis siapa menteri yang tersingkir dan tetap bertahan. Semacam teka teki yang penuh sakralitas. Hanya Jokowi dan Tuhan saja yang pastinya tahu. Selain pertimbangan politik ada faktor subjektifitas presiden yang melekat dalam setiap isu rombak kabinet. Presiden butuh kontemplasi mencari jalan terbaik.
Dalam tradisi politik Jawa, dalam setiap pengambilan keputusan penting, interaksi seorang aktor politik penting tak hanya horizontal tapi juga vertikal. Ada komunikasi dengan dunia transenden yang mengandung begitu banyak unsur sakralitas. Yakni, unsur ilahiah yang cukup dominan. Ben Anderson dalam The Idea Power of Javanese Culture menyebut konsep kekuasaan Jawa sangat abstrak. Datang dari dunia lain yang kasat mata.