Pemilu yang Membebaskan
loading...
A
A
A
Masudi
Anggota KPU provinsi Banten 2018-2023
PEMILU merupakan sarana untuk melaksanakan kedaualatan rakyat. Kedaulatan itu diwujudkan dalam bentuk menentukan pengisian dan penggantian jabatan di legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, mereka yang terpilih adalah orang yang diberi amanah dan kepercayaan menjalankan pemerintahan guna menghadirkan kesejahteraan, keadilan, kebebasan, keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan warga negara.
Pemilu adalah bahasa lain dari kontrak politik dan moral di antara warga negara dengan wakilnya. Antara pemilih dengan yang dipilih. Setiap lima tahun sekali kontrak itu diperbaharui. Hasilnya bisa berupa perpanjangan, ini berarti rakyat tetap memberi kepercayaan dengan memilih kembali. Bisa juga diakhiri, artinya rakyat tidak lagi menghendaki dengan tidak memberikan suara kepada orang yang akan mewakilinya.
Dengan demikian, rakyat memiliki hak istimewa berupa kebebasan menentukan dengan siapa mereka akan melakukan kontrak politik lima tahunan. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalanginya. Baik oleh sekelompok golongan bersenjata atau sekumpulan politikus. Konstitusi telah berkata bahwa kedaualatan berada di tangan rakyat.
Kebebasan dalam pemilu merupakan hal paling mendasar. Undang-undang pemilu menyebutnya dengan istilah asas. Asas ini tercermin dalam seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Jika sebuah penyelenggaraan pemilu ingin disebut demokrati atau berintegritas maka pelaksanaanya harus taat pada seluruh asas yang ada.
Tulisan ini tidak secara spesifik mengurai tentang bebas sebagai salah satu pondasi dari pemilu yang demokratis. Tetapi bagaimana pemilu sebagai satu tolok ukur demokrasi bisa memberi ruang kebebasan kepada semua yang terlibat baik langsung atau tidak di dalamnya. Bahkan lebih jauh, pemilu sepatutnya memberi dampak pada penguatan ruang kebebasan demokrasi yang dalam beberapa tahun belakangan ini ternyata mengalami penyempitan. Di beberapa hal nyaris tersumbat.
Menyempitnya ruang-ruang kebebasan masyarakat itu terkonfirmasi melalui peringkat indek demokrasi Indonesia yang masih berada di papan tengah. Hasil pengukuran yang dilakukan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2021 yang hasilnya dirilis Februari lalu, Indonesia berada diperingkat ke-52 dengan skor 6,71 dari 167 negara. Posisi ini sedikit membaik dari sebelumnya yang berada di posisi ke 64 dengan skor 6,30
Secara global, posisi Indonesia jauh berada di bawah Malaysia yang bertengger di posisi ke -39 dengan skor 7,24. Namun di kawasan negara-negara ASEAN, Indonesia berada di posisi ketiga setelah Malaysia dan Timor Leste. Peringkat ini jauh lebih baik dibanding dengan Filiphina, Singapura, Thailnad, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Dengan peringkat yang demikian, EIU memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy).
Negara dengan demokrasi cacat umumnya sudah mempunyai sistem pemilu yang memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Termasuk penghormatan terhadap kebebasan hak-hak dasar masyarakat sipil. Hanya saja, di negara kategori ini masih menyisakan problem yang fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Dampak Pemilu
Perhelatan demokrasi lima tahunan semestinya tidak sekadar menghasilkan orang yang terpilih untuk mengisi jabatan di pucuk pemerintahan. Pesta demokrasi yang berbiaya cukup mahal itu haruslah pula mengokohkan iklim demokrasi yang sudah lama terbangun. Pemilu harusnya menghasilkan kohesi sosial, bukan kerenggangan apalagi permusuhan sosial.
Polarisasi yang terjadi di masyarakat sebagai dampak ikutan dari hasil dua kali pemilu begitu terasa dan nyaris mengoyak tenun kebangsaan. Tarik-menarik kepentingan politik merambat ke wilayah “sensitif” seperti agama, identitas kesukuan dan sejenisnya. Alih-alih memberdayakan modal sosial bangsa, pemilu menghasilkan palu godam yang menghantam demokrasi dan ikatan sosial kemasyarakatan bangsa.
Memang pemilu bukan kotak ajaib yang bisa membalik keadaan dalam sekejap. Dari derita menjadi bahagia, miskin menjadi kaya. Pemilu bukan mesin pencipta lapangan kerja, bukan memproduksi kebahagiaan sesaat. Sebaliknya pemilu merupakan penyaring benih unggul anak bangsa yang memiliki kemauan dan kemampuan yang genuine untuk menjadi penyambung lidah dan tangan rakyat. Mempunyai leadership yang mumpuni, berjiwa pelayan sekaligus pengabdi kepada rakyat sebagai tuan sejatinya. Bukan kepada cukong dan bohir yang memodali kontestasi.
Dampak terbesar yang seharusnya muncul dari setiap gelaran pemilu adalah sikap bebas yang dirasakan segenap anak bangsa. Bebas dari penindasan ekonomi kaitalis dan ketidakadilan hukum, bebas dalam mengekspresikan hak politik terhadap pemerintahan yang ia pilih. Bebas dari keterbelakangan pendidikan dan himpitan kesehatan. Melalui pemilu semua ruang kebebasan lintas dimensi mestinya semakin terbuka lebar, seturut dengan menurunnya anarkisme politik, menyempitnya ruang penjajahan ekonomi kapitalis dan ketidakadilan hukum.
Perbaikan di Hulu
Sebagai alat kerja demokrasi, pemilu tidak bisa sepenuhnya dijadikan kambing hitam. Ia bekerja dalam sistem yang telah dirancang. Karena itu yang parlu ditinjau ulang, bagaimana sistem itu dibangun-susunkan dan dengan tujuan apa. Ini bagian hulu yang harus dibenahi terlebih dahulu jika hendak melihat hilir dan seluruh yang mengalirinya dengan bersih dan berkualitas.
Memperbaiki sistem pemilu, apalagi pemilu Indonesia yang dikenal cukup komplit dan rumit, membutuhkan kesungguhan hati, pikiran, dan kemauan politik. Harus ada jiwa kenegarawanan dengan pandangan jauh ke depan melampaui sekat kepentingan politik golongan. Bahwa demokrasi elektoral yang ditata ulang bukan sekadar sesuai dengan jiwa dan karakteristik negara kepulauan, tetapi juga bisa menjadi filter yang efektif menyaring benih potensial anak bangsa sebagai pemegang amanah rakyat.
Dengan demikian bisalah kita berharap bahwa pemilu yang digelar dengan uang rakyat itu menjadi pembebas bagi seluruh rakyat dari segala bentuk penindasan dan pembodohan. Melalui pemilu kita bisa melihat ada masa depan yang menjanjikan. Semoga.
Baca Juga: koran-sindo.com
Anggota KPU provinsi Banten 2018-2023
PEMILU merupakan sarana untuk melaksanakan kedaualatan rakyat. Kedaulatan itu diwujudkan dalam bentuk menentukan pengisian dan penggantian jabatan di legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, mereka yang terpilih adalah orang yang diberi amanah dan kepercayaan menjalankan pemerintahan guna menghadirkan kesejahteraan, keadilan, kebebasan, keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan warga negara.
Pemilu adalah bahasa lain dari kontrak politik dan moral di antara warga negara dengan wakilnya. Antara pemilih dengan yang dipilih. Setiap lima tahun sekali kontrak itu diperbaharui. Hasilnya bisa berupa perpanjangan, ini berarti rakyat tetap memberi kepercayaan dengan memilih kembali. Bisa juga diakhiri, artinya rakyat tidak lagi menghendaki dengan tidak memberikan suara kepada orang yang akan mewakilinya.
Dengan demikian, rakyat memiliki hak istimewa berupa kebebasan menentukan dengan siapa mereka akan melakukan kontrak politik lima tahunan. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalanginya. Baik oleh sekelompok golongan bersenjata atau sekumpulan politikus. Konstitusi telah berkata bahwa kedaualatan berada di tangan rakyat.
Kebebasan dalam pemilu merupakan hal paling mendasar. Undang-undang pemilu menyebutnya dengan istilah asas. Asas ini tercermin dalam seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Jika sebuah penyelenggaraan pemilu ingin disebut demokrati atau berintegritas maka pelaksanaanya harus taat pada seluruh asas yang ada.
Tulisan ini tidak secara spesifik mengurai tentang bebas sebagai salah satu pondasi dari pemilu yang demokratis. Tetapi bagaimana pemilu sebagai satu tolok ukur demokrasi bisa memberi ruang kebebasan kepada semua yang terlibat baik langsung atau tidak di dalamnya. Bahkan lebih jauh, pemilu sepatutnya memberi dampak pada penguatan ruang kebebasan demokrasi yang dalam beberapa tahun belakangan ini ternyata mengalami penyempitan. Di beberapa hal nyaris tersumbat.
Menyempitnya ruang-ruang kebebasan masyarakat itu terkonfirmasi melalui peringkat indek demokrasi Indonesia yang masih berada di papan tengah. Hasil pengukuran yang dilakukan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2021 yang hasilnya dirilis Februari lalu, Indonesia berada diperingkat ke-52 dengan skor 6,71 dari 167 negara. Posisi ini sedikit membaik dari sebelumnya yang berada di posisi ke 64 dengan skor 6,30
Secara global, posisi Indonesia jauh berada di bawah Malaysia yang bertengger di posisi ke -39 dengan skor 7,24. Namun di kawasan negara-negara ASEAN, Indonesia berada di posisi ketiga setelah Malaysia dan Timor Leste. Peringkat ini jauh lebih baik dibanding dengan Filiphina, Singapura, Thailnad, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Dengan peringkat yang demikian, EIU memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy).
Negara dengan demokrasi cacat umumnya sudah mempunyai sistem pemilu yang memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Termasuk penghormatan terhadap kebebasan hak-hak dasar masyarakat sipil. Hanya saja, di negara kategori ini masih menyisakan problem yang fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Dampak Pemilu
Perhelatan demokrasi lima tahunan semestinya tidak sekadar menghasilkan orang yang terpilih untuk mengisi jabatan di pucuk pemerintahan. Pesta demokrasi yang berbiaya cukup mahal itu haruslah pula mengokohkan iklim demokrasi yang sudah lama terbangun. Pemilu harusnya menghasilkan kohesi sosial, bukan kerenggangan apalagi permusuhan sosial.
Polarisasi yang terjadi di masyarakat sebagai dampak ikutan dari hasil dua kali pemilu begitu terasa dan nyaris mengoyak tenun kebangsaan. Tarik-menarik kepentingan politik merambat ke wilayah “sensitif” seperti agama, identitas kesukuan dan sejenisnya. Alih-alih memberdayakan modal sosial bangsa, pemilu menghasilkan palu godam yang menghantam demokrasi dan ikatan sosial kemasyarakatan bangsa.
Memang pemilu bukan kotak ajaib yang bisa membalik keadaan dalam sekejap. Dari derita menjadi bahagia, miskin menjadi kaya. Pemilu bukan mesin pencipta lapangan kerja, bukan memproduksi kebahagiaan sesaat. Sebaliknya pemilu merupakan penyaring benih unggul anak bangsa yang memiliki kemauan dan kemampuan yang genuine untuk menjadi penyambung lidah dan tangan rakyat. Mempunyai leadership yang mumpuni, berjiwa pelayan sekaligus pengabdi kepada rakyat sebagai tuan sejatinya. Bukan kepada cukong dan bohir yang memodali kontestasi.
Dampak terbesar yang seharusnya muncul dari setiap gelaran pemilu adalah sikap bebas yang dirasakan segenap anak bangsa. Bebas dari penindasan ekonomi kaitalis dan ketidakadilan hukum, bebas dalam mengekspresikan hak politik terhadap pemerintahan yang ia pilih. Bebas dari keterbelakangan pendidikan dan himpitan kesehatan. Melalui pemilu semua ruang kebebasan lintas dimensi mestinya semakin terbuka lebar, seturut dengan menurunnya anarkisme politik, menyempitnya ruang penjajahan ekonomi kapitalis dan ketidakadilan hukum.
Perbaikan di Hulu
Sebagai alat kerja demokrasi, pemilu tidak bisa sepenuhnya dijadikan kambing hitam. Ia bekerja dalam sistem yang telah dirancang. Karena itu yang parlu ditinjau ulang, bagaimana sistem itu dibangun-susunkan dan dengan tujuan apa. Ini bagian hulu yang harus dibenahi terlebih dahulu jika hendak melihat hilir dan seluruh yang mengalirinya dengan bersih dan berkualitas.
Memperbaiki sistem pemilu, apalagi pemilu Indonesia yang dikenal cukup komplit dan rumit, membutuhkan kesungguhan hati, pikiran, dan kemauan politik. Harus ada jiwa kenegarawanan dengan pandangan jauh ke depan melampaui sekat kepentingan politik golongan. Bahwa demokrasi elektoral yang ditata ulang bukan sekadar sesuai dengan jiwa dan karakteristik negara kepulauan, tetapi juga bisa menjadi filter yang efektif menyaring benih potensial anak bangsa sebagai pemegang amanah rakyat.
Dengan demikian bisalah kita berharap bahwa pemilu yang digelar dengan uang rakyat itu menjadi pembebas bagi seluruh rakyat dari segala bentuk penindasan dan pembodohan. Melalui pemilu kita bisa melihat ada masa depan yang menjanjikan. Semoga.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)