Kemendikbud Diminta Transparan dan Akuntabel Terkait Digital Asing
loading...
A
A
A
JAKARTA - Langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merangkul Google yang mengajak masyarakat untuk mengenal lebih jauh budaya dan sejarah Indonesia melalui Google Arts and Culture, disoroti dan diminta transparan.
Hal itu menyusul langkah Kemendikbud yang sebelumnya juga menggandeng layanan streaming asal AS, yaitu Netflix dalam program pendidikan di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) yang terus menuai kritikan. (Baca juga: Kerja Sama Asing Disorot, Pemerintah Diminta Utamakan Perusahaan Domestik)
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan, Kemendikbud perlu menjelaskan mekanisme kerja sama dengan Google yang menghadirkan Google Arts Project, terutama terkait transparansi anggaran yang dikucurkan bagi perusahaan asing dalam kerja sama tersebut.
"Kita tidak tahu mekanisme dan tendernya seperti apa? Tetapi, hal ini harus diperhatikan. Memang betul di masa Covid-19, kita butuh kolaborasi, gotong-royong, tetapi cara-caranya Kemendikbud itu harus tepat, jangan sampai anggaran negara ini dan anggaran pendidikan tersebar ke sana ke mari. Harus transparan dan akuntabel," ujar Doni di Jakarta, Selasa (30/6/2020).
(Baca juga: Hobi Pemerintah Gandeng Perusahaan Asing Dikritik)
Dia menyayangkan pernyataan Kemendikbud yang secara langsung menyebut perusahaan asing, seperti Netflix dan Google diajak untuk bekerja sama dalam program pendidikan di tengah pandemi Corona yang seharusnya tidak pantas disebutkan. Di sisi lain, Kemendikbud tidak menyebutkan mekanisme pengunaan anggaran dalam kerja sama tersebut.
"Mekanisme ini yang kita tidak tahu dan menjadi pertanyaan. Apakah dana BOS secara esplisit diperbolehkan untuk pembelian platform berbayar dengan menyebut merek tertentu. Bahkan, dalam rilis Kemendikbud menyebut merek tertentu, seperti Netflix dan Google yang seharusnya tidak boleh disebutkan merek oleh Kemendikbud," ungkapnya.
(Infografis: Komisaris dari Kaum Milenial di Perusahaan BUMN Harus Kerja Nyata)
Doni menjelaskan, platform kerja sama Kemendikbud dengan Google dan Netflix hanya bisa diakses siswa tertentu saja, meski disebut Kemendikbud gratis. Pasalnya, tidak semua siswa paham dalam mengakses atau melihat langsung tayangan berbayar secara gratis, karena keterbatasan ketersediaan ponsel dan pulsa siswa.
"Ketika saya coba masuk [mengakses], karena Kementerian bilangnya gratis, tetapi rupanya hanya sebagian saja. Menurut saya, nggak benar seperti ini, karena jika harus memasukkan database tentu setiap siswa harus mengeluarkan pulsa, tetapi tidak semua siswa punya handphone," ungkapnya.
Selain itu, dia menyoroti kedaulatan data yang perlu dijaga. Doni mengkhawatirkan Google menyaring basis data dari 50 juta anak Indonesia di tingkat dasar hingga menengah atas yang akan mengakses Google Arts and Culture dan Classroom Google.
"Kalau platform berbayar, seperti Google, mereka bisa mendapatkan data-data dari 50 juta anak Indonesia untuk kepentingannya, seperti Google Classroom, di mana data-data itu sangat penting, misalnya harus membuat data di Classroom, sekolah harus didaftarkan dan nama grupnya didaftarkan semua, dan itu data yang sangat berharga bagi mereka lebih dari sekadar timbal balik uang," tandasnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan Google melaksanakan program Google Arts Project yang dilakukan oleh Museum Nasional Indonesia. Google Arts Project merupakan sebuah program yang mengajak masyarakat untuk mengenal lebih jauh budaya Indonesia melalui Google Arts and Culture.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan program ini merupakan bentuk promosi karya seni adiluhung Indonesia ke tingkat dunia melalui situs online. Melalui platform digital ini, masyarakat kini dapat mengakses berbagai museum nasional dari puluhan negara, tempat bersejarah, dan kini lebih dari 4.000 buah koleksi Wayang dari Museum Wayang Nasional, dengan menggunakan smartphone dimanapun mereka berada.
Hal itu menyusul langkah Kemendikbud yang sebelumnya juga menggandeng layanan streaming asal AS, yaitu Netflix dalam program pendidikan di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) yang terus menuai kritikan. (Baca juga: Kerja Sama Asing Disorot, Pemerintah Diminta Utamakan Perusahaan Domestik)
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan, Kemendikbud perlu menjelaskan mekanisme kerja sama dengan Google yang menghadirkan Google Arts Project, terutama terkait transparansi anggaran yang dikucurkan bagi perusahaan asing dalam kerja sama tersebut.
"Kita tidak tahu mekanisme dan tendernya seperti apa? Tetapi, hal ini harus diperhatikan. Memang betul di masa Covid-19, kita butuh kolaborasi, gotong-royong, tetapi cara-caranya Kemendikbud itu harus tepat, jangan sampai anggaran negara ini dan anggaran pendidikan tersebar ke sana ke mari. Harus transparan dan akuntabel," ujar Doni di Jakarta, Selasa (30/6/2020).
(Baca juga: Hobi Pemerintah Gandeng Perusahaan Asing Dikritik)
Dia menyayangkan pernyataan Kemendikbud yang secara langsung menyebut perusahaan asing, seperti Netflix dan Google diajak untuk bekerja sama dalam program pendidikan di tengah pandemi Corona yang seharusnya tidak pantas disebutkan. Di sisi lain, Kemendikbud tidak menyebutkan mekanisme pengunaan anggaran dalam kerja sama tersebut.
"Mekanisme ini yang kita tidak tahu dan menjadi pertanyaan. Apakah dana BOS secara esplisit diperbolehkan untuk pembelian platform berbayar dengan menyebut merek tertentu. Bahkan, dalam rilis Kemendikbud menyebut merek tertentu, seperti Netflix dan Google yang seharusnya tidak boleh disebutkan merek oleh Kemendikbud," ungkapnya.
(Infografis: Komisaris dari Kaum Milenial di Perusahaan BUMN Harus Kerja Nyata)
Doni menjelaskan, platform kerja sama Kemendikbud dengan Google dan Netflix hanya bisa diakses siswa tertentu saja, meski disebut Kemendikbud gratis. Pasalnya, tidak semua siswa paham dalam mengakses atau melihat langsung tayangan berbayar secara gratis, karena keterbatasan ketersediaan ponsel dan pulsa siswa.
"Ketika saya coba masuk [mengakses], karena Kementerian bilangnya gratis, tetapi rupanya hanya sebagian saja. Menurut saya, nggak benar seperti ini, karena jika harus memasukkan database tentu setiap siswa harus mengeluarkan pulsa, tetapi tidak semua siswa punya handphone," ungkapnya.
Selain itu, dia menyoroti kedaulatan data yang perlu dijaga. Doni mengkhawatirkan Google menyaring basis data dari 50 juta anak Indonesia di tingkat dasar hingga menengah atas yang akan mengakses Google Arts and Culture dan Classroom Google.
"Kalau platform berbayar, seperti Google, mereka bisa mendapatkan data-data dari 50 juta anak Indonesia untuk kepentingannya, seperti Google Classroom, di mana data-data itu sangat penting, misalnya harus membuat data di Classroom, sekolah harus didaftarkan dan nama grupnya didaftarkan semua, dan itu data yang sangat berharga bagi mereka lebih dari sekadar timbal balik uang," tandasnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan Google melaksanakan program Google Arts Project yang dilakukan oleh Museum Nasional Indonesia. Google Arts Project merupakan sebuah program yang mengajak masyarakat untuk mengenal lebih jauh budaya Indonesia melalui Google Arts and Culture.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan program ini merupakan bentuk promosi karya seni adiluhung Indonesia ke tingkat dunia melalui situs online. Melalui platform digital ini, masyarakat kini dapat mengakses berbagai museum nasional dari puluhan negara, tempat bersejarah, dan kini lebih dari 4.000 buah koleksi Wayang dari Museum Wayang Nasional, dengan menggunakan smartphone dimanapun mereka berada.
(maf)