Guru Besar UGM: Sosialisasi RKUHP Mutlak Diperlukan

Senin, 15 Agustus 2022 - 12:13 WIB
loading...
Guru Besar UGM: Sosialisasi RKUHP Mutlak Diperlukan
Guru Besar UGM Marcus Priyo Gunarto mengatakan, penundaan pengesahan RKUHP hendaknya disikapi bijaksana dan benar-benar dimanfaatkan untuk sosialisasi berkelanjutan kepada masyarakat. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) hendaknya disikapi bijaksana dan benar-benar dimanfaatkan untuk sosialisasi berkelanjutan kepada masyarakat. Potensi perbedaan pendapat atas suatu rumusan delik dalam RKUHP adalah hal yang wajar.

“Proses sosialisasi atas RKUHP mutlak diperlukan. Bahkan setelah disahkan sebagai UU sekalipun, penyuluhan hukum pidana yang baru tetap masih diperlukan,” kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto menanggapi keputusan Presiden Joko Widodo agar RUU KUHP tidak buru-buru disahkan dalam keterangan tertulis, Senin (15/8/2022).

Diketahui pekan lalu Jokowi meminta Kemenkumham kembali membahas sejumlah materi yang dipandang masih kontroversial bersama DPR. Sekaligus mensosialisasikan RUU tersebut kepada masyarakat.

Dokumen RKUHP yang kini telah dihasilkan, menurut Marcus, telah melalui proses penyusunan yang sangat panjang. Butuh 58 tahun dengan dinamika yang cukup alot. Pemerintah dan DPR sempat menargetkan RKUHP tersebut bisa disahkan jelang 17 Agustus 2022 sehingga menjadi kado HUT ke-77 RI. “Namun kita harus bersabar karena masih perlu proses sosialisasi agar RUU tersebut relatif bisa diterima,” lanjutnya.

Marcus optimistis Indonesia akan segera mempunyai KUHP kebanggaan nasional menggantikan peninggalan pemerintah kolonial. “ KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda dan sampai sekarang ini tidak ada terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia,” papar Marcus.

Menurut Marcus, ditinjau dari usianya KUHP kita sudah terlalu tua. Banyak hal sudah tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. WvS diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1915. Disusun pada 1881 dan merupakan konkordansi dari Code Penal Perancis 1791.

“Sebagai pemerintah kolonial, bukan tidak mungkin hukum yang dibawa dan diterapkan di negara jajahan mengandung misi-misi tertentu, yaitu untuk mengendalikan perlawanan masyarakat di negara jajahan kepada pemerintah kolonial,” jelasnya.

Kemudian dilihat dari sistem nilai yang melatarbelakangi penyusunannya, WvS dibuat oleh masyarakat dengan latar belakang sistem sosial individualis dan liberalis.

Padahal masyarakat Indonesia adalah mono-dualis yang religius. Yakni masyarakat yang memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan sosial dan bersifat religius. “Jadi banyak hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan sistem nilai masyarakat kita,” ujarnya.

Dokumen RKUHP yang telah dihasilkan saat ini, menurut Marcus, sudah bisa dilihat sebagai hasil maksimal dari proses panjang upaya untuk memiliki KUHP sendiri yang sudah dimulai sejak 1963. Penundaan yang terjadi saat ini merupakan kearifan Presiden memperhatikan suara elemen masyarakat yang keberatan atas beberapa rumusan delik yang bisa dijembatani dengan sosialisasi yang baik.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1784 seconds (0.1#10.140)