Diplomasi ASEAN Pascapandemi
loading...
A
A
A
Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan Wakil Rektor 1 Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
Pascapandemi, apa yang kini dihadapi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang genap berusia 55 tahun pada 8 Agustus 2022? Visi Komunitas ASEAN 2025 mengingatkan keinginan untuk mengintegrasikan negara-negara anggota dan mengintegrasikan pembangunan. Untuk mengimplementasikan visi tersebut, ASEAN berupaya menjaga perdamaian dan stabilitas dan mengintegrasikan pasar melalui tiga pilar komunitas, yaitu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya.
Dalam kinerja (ASEAN in Action), organisasi ini berupaya membuat kerja sama regional yang berhasil bagi semua orang di kawasan. Ukuran pasar ASEAN sendiri cukup besar, yakni USD2,3 triliun dengan 600 juta orang populasi. Meski diplomasi untuk mencapai keberhasilan bagi semua orang itu strategis, itu tetaplah tidak mudah.
Pertama, ancaman yang muncul di sekitar kawasan saat ini cenderung membesar. Di bidang sosial-ekonomi,ancaman kelesuan ekonomi, kelangkaan bahan pangan, dan energi turut menghantui upaya pemulihan ekonomi pascapandemi.
Di saat bersamaan, masalah lama masih dijumpai, yakni kesamaan produk antarnegara, tingkat perdagangan intra-ASEAN yang rendah, hingga kebutuhan investasi asing. Padahal, di pilar ekonomi, Masyarakat Ekonomi ASEAN menginginkan tercapainya pasar terpadu-tunggal melalui proses integrasi ekonomi regional sehingga tercipta wilayah perekonomian yang stabil, makmur, dan kompetitif atau berdaya saing.
Di bidang politik keamanan, tantangannya juga nyata. Meski di dalam cenderung adem, dari perspektif sistem terlihat bahwa lingkungan di sekitar ASEAN bergerak dinamis, bahkan mulai terlihat tidak stabil. China, misalnya, melakukan manuver puluhan jet tempur terkait ketegangannya dengan Amerika Serikat (AS) dan Taiwan yang membuat Asia bersiaga. Kekakuan Korea Utara melalui uji coba rudal dan ancaman nuklirnya juga mengkhawatirkan, tidak hanya bagi Semenanjung Korea, namun meluas ke wilayah lain Asia.
Agresivitas Beijing di Laut China Selatan juga menjadi benih sengketa berbahaya. Peristiwa ini telah memicu kekhawatiran banyak negara anggota ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, hingga Indonesia. Superpower AS hingga Australia juga terus merespons situasi tersebut.
Kekhawatiran instabilitas itu semakin menemukan argumennya tatkala kita melihat potensi kehadirannuclear powerseperti China dan Korea Utara, serta AS dan Australia di Pasifik. Kerja sama AUKUS dan pengembangan kapal selam nuklir Australia, misalnya, telah menambah kegelisahan. Mewujudkan kawasan yang bebas nuklir telah lama diupayakan melaluiSoutheast Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ (Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara).
Karenanya, pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Singapura pada Rabu (1/8) lalu penting dalam kerangka penegasan cita-cita itu. Kawasan bebas nuklirini diyakini menjadi prasyarat keamanan dan perdamaian kawasan Asia Tenggara. Pada tahap berikutnya, keamanan dan perdamaian kawasan menjadi penunjang kemakmuran ASEAN. Kemakmuran inilah yang diharapkan bisa dirasakan semua orang.
Kedua, membuat kerja sama regional berhasil bagi semua orang di kawasan juga penuh tantangan karena hingga usia ke-55 ini ASEAN masih terasa sebagai organisasi di tingkat atas yangstate-centric. Sejauh mana masyarakat bisa memahami keberadaan ASEAN dan merasakan langsung manfaatnya menjadi kebutuhan tak terelakkan? Hubungan antarpenduduk ASEAN (people to people relations) masih butuh peningkatan.Apalagi pandemi Covid-19 juga turut memperlambat hal itu. Apalagi di saat pandemi belum sepenuhnya pergi, kita menghadapi juga bahaya cacar monyet yang mengkhawatirkan.
Representasi Kepentingan
Meminjam pemikiran Paul Sharp,Who Need Diplomats: The problem of Diplomatic Representationdi International Journal (1997: 609-634), diplomasi selalu erat kaitannyadengan representasikepentingan. Berkaca pada kepentingan besar ASEAN di muka, sejumlah langkah diplomasi nyata diperlukan.
Pertama, terhadap masalah-masalah krusial di bidang stabilitas keamanan, pencarian solusi damai melalui saluran diplomasi multilateral yang gigih diperlukan. Apalagi jika hal itu terkait dengan negara besar dan pemilik nuklir. Semua itu dimaksudkan agar stabilitas kawasan bisa terus baik ke depan.
Kedua, pengalaman penanganan pandemi Covid-19 selayaknya memberi pelajaran berharga dalam berkolaborasi menghadapi ancaman serupa ke depan. Salah satu petikan hikmahnya: pandemi tidak semata menerpa sektor kesehatan. Penanganannya pun harus dilakukan secara kolaboratif-kordinatif bersama.
Ketiga, diplomasi membumikan ASEAN agar dekat dengan kebutuhan nyata masyarakat juga diperlukan. Integrasi ekonomi dengan pembebasan aliran barang, jasa, investasi, modal, bahkan orang di antara negara-negara anggota ASEAN masih butuh peningkatan. Perkembangan ekonomi yang wajar, penurunan angka kemiskinan, dan meminimalisasi kesenjangan sosial-ekonomi juga menjadi pekerjaan rumah.
Keempat, diplomasipemulihan ekonomi melaluiASEAN Comprehensive Recovery Framework(ACRF) harus bisa berjalan baik. Lima strategi telah dirancang dalam ACRF bisa disebut cukup komprehensif, yaitu meningkatkan sistem kesehatan, memperkuat ketahanan manusia, memaksimalkan potensi pasar intra-ASEAN, mempercepat digitalisasi yang inklusif, serta maju menuju masa depan yang tangguh dan berkelanjutan. Mencermati cakupannya, implementasinya membutuhkan kerja keras.
Kelima, penguatan diplomasi terhadap banyak mitra kerja seperti AS, Rusia, Australia, hingga China, Jepang, dan Korea Selatan mutlak diperlukan. Kebutuhan rantai pasok komoditas dan suntikan investasi asing membuat kolaborasi eksternal melalui ASEAN Plus menjadi penting.
Komitmen mitra dalammenguatkan kerja sama ekonomi dan pembangunan diperlukan, termasuk untuk mempercepat pencapaian target Visi ASEAN 2025 yang belum seragam di antara anggota. Apalagi pencapaian tujuan Masyarakat Ekonomi ASEAN ini belum sepenuhnya berjalan karena pandemi Covid-19.
Stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi yang mapan terus menjadi dambaan. Tak hanya itu, diplomasi multilateral ASEAN juga harus senantiasa mampu menjawab tantangan.
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan Wakil Rektor 1 Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
Pascapandemi, apa yang kini dihadapi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang genap berusia 55 tahun pada 8 Agustus 2022? Visi Komunitas ASEAN 2025 mengingatkan keinginan untuk mengintegrasikan negara-negara anggota dan mengintegrasikan pembangunan. Untuk mengimplementasikan visi tersebut, ASEAN berupaya menjaga perdamaian dan stabilitas dan mengintegrasikan pasar melalui tiga pilar komunitas, yaitu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya.
Dalam kinerja (ASEAN in Action), organisasi ini berupaya membuat kerja sama regional yang berhasil bagi semua orang di kawasan. Ukuran pasar ASEAN sendiri cukup besar, yakni USD2,3 triliun dengan 600 juta orang populasi. Meski diplomasi untuk mencapai keberhasilan bagi semua orang itu strategis, itu tetaplah tidak mudah.
Pertama, ancaman yang muncul di sekitar kawasan saat ini cenderung membesar. Di bidang sosial-ekonomi,ancaman kelesuan ekonomi, kelangkaan bahan pangan, dan energi turut menghantui upaya pemulihan ekonomi pascapandemi.
Di saat bersamaan, masalah lama masih dijumpai, yakni kesamaan produk antarnegara, tingkat perdagangan intra-ASEAN yang rendah, hingga kebutuhan investasi asing. Padahal, di pilar ekonomi, Masyarakat Ekonomi ASEAN menginginkan tercapainya pasar terpadu-tunggal melalui proses integrasi ekonomi regional sehingga tercipta wilayah perekonomian yang stabil, makmur, dan kompetitif atau berdaya saing.
Di bidang politik keamanan, tantangannya juga nyata. Meski di dalam cenderung adem, dari perspektif sistem terlihat bahwa lingkungan di sekitar ASEAN bergerak dinamis, bahkan mulai terlihat tidak stabil. China, misalnya, melakukan manuver puluhan jet tempur terkait ketegangannya dengan Amerika Serikat (AS) dan Taiwan yang membuat Asia bersiaga. Kekakuan Korea Utara melalui uji coba rudal dan ancaman nuklirnya juga mengkhawatirkan, tidak hanya bagi Semenanjung Korea, namun meluas ke wilayah lain Asia.
Agresivitas Beijing di Laut China Selatan juga menjadi benih sengketa berbahaya. Peristiwa ini telah memicu kekhawatiran banyak negara anggota ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, hingga Indonesia. Superpower AS hingga Australia juga terus merespons situasi tersebut.
Kekhawatiran instabilitas itu semakin menemukan argumennya tatkala kita melihat potensi kehadirannuclear powerseperti China dan Korea Utara, serta AS dan Australia di Pasifik. Kerja sama AUKUS dan pengembangan kapal selam nuklir Australia, misalnya, telah menambah kegelisahan. Mewujudkan kawasan yang bebas nuklir telah lama diupayakan melaluiSoutheast Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ (Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara).
Karenanya, pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Singapura pada Rabu (1/8) lalu penting dalam kerangka penegasan cita-cita itu. Kawasan bebas nuklirini diyakini menjadi prasyarat keamanan dan perdamaian kawasan Asia Tenggara. Pada tahap berikutnya, keamanan dan perdamaian kawasan menjadi penunjang kemakmuran ASEAN. Kemakmuran inilah yang diharapkan bisa dirasakan semua orang.
Kedua, membuat kerja sama regional berhasil bagi semua orang di kawasan juga penuh tantangan karena hingga usia ke-55 ini ASEAN masih terasa sebagai organisasi di tingkat atas yangstate-centric. Sejauh mana masyarakat bisa memahami keberadaan ASEAN dan merasakan langsung manfaatnya menjadi kebutuhan tak terelakkan? Hubungan antarpenduduk ASEAN (people to people relations) masih butuh peningkatan.Apalagi pandemi Covid-19 juga turut memperlambat hal itu. Apalagi di saat pandemi belum sepenuhnya pergi, kita menghadapi juga bahaya cacar monyet yang mengkhawatirkan.
Representasi Kepentingan
Meminjam pemikiran Paul Sharp,Who Need Diplomats: The problem of Diplomatic Representationdi International Journal (1997: 609-634), diplomasi selalu erat kaitannyadengan representasikepentingan. Berkaca pada kepentingan besar ASEAN di muka, sejumlah langkah diplomasi nyata diperlukan.
Pertama, terhadap masalah-masalah krusial di bidang stabilitas keamanan, pencarian solusi damai melalui saluran diplomasi multilateral yang gigih diperlukan. Apalagi jika hal itu terkait dengan negara besar dan pemilik nuklir. Semua itu dimaksudkan agar stabilitas kawasan bisa terus baik ke depan.
Kedua, pengalaman penanganan pandemi Covid-19 selayaknya memberi pelajaran berharga dalam berkolaborasi menghadapi ancaman serupa ke depan. Salah satu petikan hikmahnya: pandemi tidak semata menerpa sektor kesehatan. Penanganannya pun harus dilakukan secara kolaboratif-kordinatif bersama.
Ketiga, diplomasi membumikan ASEAN agar dekat dengan kebutuhan nyata masyarakat juga diperlukan. Integrasi ekonomi dengan pembebasan aliran barang, jasa, investasi, modal, bahkan orang di antara negara-negara anggota ASEAN masih butuh peningkatan. Perkembangan ekonomi yang wajar, penurunan angka kemiskinan, dan meminimalisasi kesenjangan sosial-ekonomi juga menjadi pekerjaan rumah.
Keempat, diplomasipemulihan ekonomi melaluiASEAN Comprehensive Recovery Framework(ACRF) harus bisa berjalan baik. Lima strategi telah dirancang dalam ACRF bisa disebut cukup komprehensif, yaitu meningkatkan sistem kesehatan, memperkuat ketahanan manusia, memaksimalkan potensi pasar intra-ASEAN, mempercepat digitalisasi yang inklusif, serta maju menuju masa depan yang tangguh dan berkelanjutan. Mencermati cakupannya, implementasinya membutuhkan kerja keras.
Kelima, penguatan diplomasi terhadap banyak mitra kerja seperti AS, Rusia, Australia, hingga China, Jepang, dan Korea Selatan mutlak diperlukan. Kebutuhan rantai pasok komoditas dan suntikan investasi asing membuat kolaborasi eksternal melalui ASEAN Plus menjadi penting.
Komitmen mitra dalammenguatkan kerja sama ekonomi dan pembangunan diperlukan, termasuk untuk mempercepat pencapaian target Visi ASEAN 2025 yang belum seragam di antara anggota. Apalagi pencapaian tujuan Masyarakat Ekonomi ASEAN ini belum sepenuhnya berjalan karena pandemi Covid-19.
Stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi yang mapan terus menjadi dambaan. Tak hanya itu, diplomasi multilateral ASEAN juga harus senantiasa mampu menjawab tantangan.
(ynt)