Dicatat: Nama dan Puisi

Senin, 08 Agustus 2022 - 09:42 WIB
loading...
Dicatat: Nama dan Puisi
Dicatat: Nama dan Puisi
A A A
Bandung Mawardi
Penulis Nostalgia Bahasa Indonesia: Pelajaran dan Bacaan (2022)

Puluhan tahun lalu, Sutan Takdir Alisjabana mau repot dengan mencari, mengumpulkan, dan memilih puisi-puisi untuk masuk kubu lama dan baru. Ikhtiar mendokumentasi dan memberi tempat bagi puisi-puisi digubah puluhan orang dan terbit.

Konon, penerbitan dua buku berjudul Puisi Lama dan Puisi Baru susunan Sutan Takdir Alisjahbana turut “melanggengkan” gairah berpuisi dan membuat ulasan-ulasan mengenai puisi. Hal tak dilupakan: nama-nama. Pada masa berbeda, HB Jassin keranjingan membuat buku jenis bunga rampai. Ia bergerak selaku dokumentator. Ia menempatkan diri sebagai pemilih dan pengulas meski orang-orang kebablasan menganggap sebagai kritikus sastra.

Kerja rutin menghasilkan buku-buku berpengaruh dalam pengajaran sastra dan perkembangan sastra di Indonesia. Kerja itu terbukti manjur saat kita membuat peringatan 100 tahun Chairil Anwar. Puisi-puisi diselamatkan dan didokumentasi HB Jassin diimbuhi komentar memungkinkan kita mengerti posisi Chairil Anwar dan puluhan penggubah puisi masa lalu.

Kita masih perlu mengingat peran sebagai pembuat bunga rampai dan penulis ulasan-ulasan untuk puisi. Sekian nama besar masih menjadi rujukan: A Teeuw, Ajip Rosidi, Linus Suryadi Ag, Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, dan lain-lain. Mereka memuliakan puisi-puisi. Mereka memberi pengenalan dan pengisahan untuk para penggubah puisi. Pemunculan tokoh tak selalu kondang dan langgeng. Sekian nama lekas hilang dan puisi-puisi tak terkutip lagi.

Ketekunan dan ketelitian HB Jassin dalam membuat buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968): “Tjerita-tjerita dan sadjak-sadjak jang kami kutip dari madjalah dan surat kabar sebisa-bisanja kami bandingkan dengan jang sudah dibukukan kemudian, bahkan kalau ternjata terlalu banjak perbedaan, maka kami kutip dari buku jang bersangkutan saja.” Kerja itu susah ditiru dan ditandingi.

Linus Suryadi dalam buku berjudul Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern (1987) menerangkan: “Sumber-sumber bahan yang dipakai oleh editor antara lain: sejumlah antologi puisi Indonesia, buku kumpulan puisi para penyair Indonesia, stensilan, manuskrip, fotokopi, juga surat kabar harian dan mingguan, majalah kebudayaan dan majalah sastra. Meskipun biodata dan karya seorang penyair sudah memenuhi keperluan, tapi bila editor menemukan lagi bahan yang menurut pertimbangannya lebih baik, dia pun akan mengganti dengan bahan ‘baru’ tersebut.”

Puisi dan nama. Para ahli, editor, dan kritikus berusaha memberi penghormatan atas puisi-puisi telah digubah dan terbit untuk terbaca publik. Mereka pun berhak membuat penilaian meski bakal berhadapan dengan bantahan dan kritik lanjutan.

Kini, di hadapan kita ada buku berjudul Anicca. Nama tercantum di buku: Liswindio Apendicaesar. Nama mungkin belum akrab bagi para pembaca puisi di seantero Indonesia. Nama belum tenar tapi tak boleh disepelekan. Ia menantikan ada ulasan dan penempatan dalam arus perpuisian Indonesia mutakhir meski tak ada lagi HB Jassin, Ajip Rosidi, dan Linus Suryadi Ag. Ia berhak ditaruh dalam keramaian puisi di Indonesia abad XXI, tapi “disepikan” gara-gara jumlah resensi dan kritik selalu sedikit.

Liswindio menulis puisi berjudul “Ehipassika”. Kita membaca dengan ketenangan: Setelah menempuh delapan puluh delapan ribu jalan/ pertapaan, Brahma Sahampati akhirnya menemukan Buddha/ dan membunuhnya./ Setelahnya, ia tak lagi harus beranjali memohon darma,/ dan debu di matanya sendiri akhirnya bersih/ oleh darah yang mengucur dari air mata Tathagata. Kita rampung membaca dan bingung. Kesederhanaan terbaca tapi ketokohan dan penggunaan diksi “asing” mengantar kita membuka buku-buku atau mencari jawab dari orang lain. Si penggubah puisi tak bermaksud merepotkan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1849 seconds (0.1#10.140)