Dicatat: Nama dan Puisi

Senin, 08 Agustus 2022 - 09:42 WIB
loading...
A A A
Di situ, ada puisi-puisi mengenai (ajaran) Buddha dan pengalaman berkaitan dengan Buddha. “Kumpulan puisi ini adalah rangkuman perjalanan saya mengenal dan mempelajari Dhamma,” tulis Liswindio. Kita mungkin terkejut dan takjub sambil membuka lagi lembaran-lembaran perpuisian masa lalu. Sejak awal abad XX, Kwee Tek Hoay rajin menggubah cerita dan drama. Ia menerbitkan ratusan buku. Ia diakui pemuka dalam sastra peranakan Tionghoa. Ia pun menekuni beragam agama, ditulis menjadi buku-buku kecil. Ia termasuk menulis tentang Buddha meski tak memberi panggilan untuk menggubah puisi-puisi mengenai Buddha.

Pada situasi dan pengalaman berbeda, Sanusi Pane turut dalam arus sastra masa 1930-an dengan menghadirkan diksi dan imajinasi mengenai Hindu. Ia berkiblat ke Timur, sadar dengan agama-agama atau lokalitas untuk digubah dalam puisi dan cerita. Kecenderungan itu terbaca di “pinggiran”, setelah penambahan jumlah pengarang dengan gubahan-gubahan sering bernafaskan Islam dan Nasrani.

Gejolak itu diramaikan dengan esai-esai dan beragam seminar pada masa 1970-an dan 1980-an. Goenawan Mohamad mencatat itu “sastra-keagamaan” dengan sekian konsekuensi belum tentu religius. Pada pencatatan dan pengamatan mendalam, YB Mangunwijaya menghasilkan esai-esai terbukukan dengan judul Sastra dan Religiositas.

Di perpuisian, kita bisa membaca lagi buku berjudul Biksu Tak Berjubah (2004) gubahan Sitor Situmorang. Kunjungan ke Candi Borobudur dan sekian pura di Bali memungkinkan Sitor Situmorang menggubah puisi-puisi berselerakan religiositas. Di situ, kita membaca dengan diksi dan citarasa Buddha dan Hindu.

Pada 2003, Sitor Situmorang menulis: Sempurna rupa/ Dalam wujud Borobudur/ Sarat hikmah/ penghayatan jatidiri/ Alam baka/ dalam rupa/ Roh dalam alamraya/ Ilham-mengilhami dalam puja. Pada saat kita membaca puisi-puisi gubaha Liswindio bakal teralami hal-hal melampaui dari puisi-puisi dipersembahkan Sitor Situmorang. Pengalaman terlalu berbeda dan kefasihan berbahasa tampak menguat dalam puisi-puisi Liswindio.

Pada halaman-halaman berbeda, Liswindio menuliskan ketokohan dan perjalanan. Ia tak berkutat dalam keterbatasan untuk memberi puisi-puisi agar terbaca umat sastra di Indonesia. Ia belum ingin dalam kekhasan atau ketetapan. Buku puisi awal mungkin pengenalan atas ketekunan, kemauan, dan “perjanjian” dalam ketabahan berpuisi.

Kita menikmati puisi digubah pada 2020 berjudul “Jarak Doa”. Liswindio sadar berada dalam gerbong belakang setelah para penggubah puisi di Indonesia memberi ribuan puisi bertema doa. Orang-orang selalu teringat doa dalam puisi-puisi gubahan Chairil Anwar, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, dan Joko Pinurbo. Liswindio pun bersahaja dalam pengisahan manusia dan doa: Manusia terjebak di dalam doa orangtuanya dan rasa takut/ anak-anak akan kehilangan, sedang hidup terus memintal jarak/ sejauh kata-kata yang tak lagi dapat menghibur gelisah.

Pada 1974, Slamet Sukirnanto berseru: “… saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang menggambarkan betapa makin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia – khususnya kehidupan puisi Indonesia, yang menurut pengamatan saya selama ini – mengalami semacam polusi dan bahkan manipulasi-manipulasi sehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas dan sekaliannya brengsek!” Ia memberi kemarahan dan lelucon. Perpuisian di Indonesia memang berat dan “brengsek”, sejak pergolakan dengan “pengadilan” masa 1970-an sampai sekarang.

Liswindio tentu sadar saat berpuisi ia mengetahui nama-nama besar terus berkibar dan hasrat orang-orang membaca puisi belum mengarah ke nama-nama baru atau masih sedikit memberi persembahan puisi. Kita belum berurusan dengan pendokumentasian. Kita justru kebingungan dalam memberi tempat dan membuat catatan atas kehadiran nama-nama dengan sekian buku untuk “disejarahkan” dalam sastra di Indonesia.

Kita simak puisi berjudul “Kuantum Masa Depan” digubah Liswindio pada 2019. Puisi berjudul megah tapi kita membaca larik-larik kesederhanaan sambil mengalami hidup bertema abad XXI. Ia menulis: Di dalam kotak itu tersimpan rahasia yang rapat/ tentang sepasang hidup-mati, dan turunan di antara/ keduanya, sedang engkau segera harus memilih satu/ ke mana takdir akan menjawab ketidakpastiannya. Judul megah belum tentu mengikutkan kemunculan diksi-diksi “baru” atau “mutakhir” berharapan puisi tak terseret dalam arus lirik merajalela di Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1594 seconds (0.1#10.140)