Fenomena Citayam Fashion Week dan Potret Buram Pendidikan
loading...
A
A
A
Jiwa ngonten telah menyatu dalam dirinya sehingga dia pernah tidak pulang ke rumah selama tiga minggu demi menjadi talent konten video. Roy yang pendidikan terakhirnya di bangku SMP ini ternyata mengaku tidak memiliki niat untuk kembali bersekolah karena menurutnya, tidak ada jaminan memiliki penghasilan tetap.
Dari ketiga sosok di atas selaku inisiator Kawasan “Haradukuh” (yang diplesetkan dari nama Kawasan Harajuku di Jepang), ketiganya merupakan remaja putus sekolah dan tak berpendidikan tinggi. Artinya Bonge, Jeje dan Roy termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka, yang jumlahnya mencapai 5,83% pada Februari 2022 versi Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS juga mencatat, sebanyak 22,40% kaum muda Indonesia pada 2021 justru termasuk golongan tidak produktif. Dengan kata lain, lebih dari seperlima penduduk Indonesia yang berusia 15-24 tahun justru tidak melakukan apa-apa. Padahal di usia tersebut, mereka seharusnya sedang mengenyam pendidikan atau berada di level pekerjaan tertentu. Mereka inilah yang masuk kategori NEET (Not Employment, Education or Training) yaitu mereka yang tidak masuk pasar tenaga kerja, tidak bersekolah dan tidak sedang mengikuti pelatihan.
Pada 2021, angka NEET untuk kaum muda berusia 15-24 tahun dengan tingkat pendidikan SD ke bawah adalah 30,44%. Angka ini paling tinggi bila dibandingkan para pengangguran untuk tingkat pendidikan SMP yakni 12,35%; tingkat pendidikan SMA sebesar 27,76% dan tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu 27,75%. Dari angka di atas dapat disimpulkan bahwa angka NEET tertinggi ada pada kaum muda dengan tingkat pendidikan rendah (SD ke bawah).
Apa dampaknya? Dengan tingginya angka NEET pada kaum muda dengan tingkat pendidikan rendah, akan memunculkan kurang optimalnya produktivitas sehingga akan menimbulkan masalah pengangguran pada generasi muda (Magdalena, 2022). Besarnya jumlah pengangguran di usia muda pun akan berpengaruh pada kualitas bonus demografi yang akan diterima Indonesia pada 2030.
Menurut penjelasan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, setelah puncak bonus demografi, Indonesia akan menghadapi aging population atau populasi yang menua. Jika bonus demografi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, sementara sudah masuk populasi yang menua, maka Indonesia akan mengalami middle income trap atau terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah (Kompas, 2022).
Tambahan lagi, maraknya generasi sandwich di era pascapandemi ini. Saat ini, banyak populasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi di sekitarnya, yakni orang tua, diri sendiri dan anaknya (Miller, 1981 dalam DeRigne dan Ferrrante, 2012). Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa generasi sandwich bertanggung jawab pula dalam urusan orang tua, orang yang dituakan dan juga dirinya sebagai pekerja profesional (Keene dan Prokos, 2007 dalam DeRigne dan Ferrrante, 2012).
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memprediksi pada 2030 mendatang, akan terjadi limpahan penduduk usia tua dengan pendidikan rata-rata 8,3 tahun dan 80% di antaranya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Karena itulah, remaja saat ini menjadi faktor penentu di masa depan.
Pada 2035, generasi muda akan menyokong kelompok lanjut usia dengan ekonomi yang rendah. Jika kualitas remaja saat ini tidak terbangun dengan baik, dikhawatirkan akselerasi pendapatan per kapita di Indonesia di masa datang akan berat (Kompas, 2022).
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah terutama untuk mengurangi tingkat pengangguran pada kelompok usia muda? Dengan membangun sumber daya manusia yang berkualitas lewat pemerataan pendidikan. Hal ini penting sebab pendidikan akan mampu membekali individu dengan penanaman nilai-nilai yang berperan penting dalam dunia kerja.
Dari ketiga sosok di atas selaku inisiator Kawasan “Haradukuh” (yang diplesetkan dari nama Kawasan Harajuku di Jepang), ketiganya merupakan remaja putus sekolah dan tak berpendidikan tinggi. Artinya Bonge, Jeje dan Roy termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka, yang jumlahnya mencapai 5,83% pada Februari 2022 versi Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS juga mencatat, sebanyak 22,40% kaum muda Indonesia pada 2021 justru termasuk golongan tidak produktif. Dengan kata lain, lebih dari seperlima penduduk Indonesia yang berusia 15-24 tahun justru tidak melakukan apa-apa. Padahal di usia tersebut, mereka seharusnya sedang mengenyam pendidikan atau berada di level pekerjaan tertentu. Mereka inilah yang masuk kategori NEET (Not Employment, Education or Training) yaitu mereka yang tidak masuk pasar tenaga kerja, tidak bersekolah dan tidak sedang mengikuti pelatihan.
Pada 2021, angka NEET untuk kaum muda berusia 15-24 tahun dengan tingkat pendidikan SD ke bawah adalah 30,44%. Angka ini paling tinggi bila dibandingkan para pengangguran untuk tingkat pendidikan SMP yakni 12,35%; tingkat pendidikan SMA sebesar 27,76% dan tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu 27,75%. Dari angka di atas dapat disimpulkan bahwa angka NEET tertinggi ada pada kaum muda dengan tingkat pendidikan rendah (SD ke bawah).
Apa dampaknya? Dengan tingginya angka NEET pada kaum muda dengan tingkat pendidikan rendah, akan memunculkan kurang optimalnya produktivitas sehingga akan menimbulkan masalah pengangguran pada generasi muda (Magdalena, 2022). Besarnya jumlah pengangguran di usia muda pun akan berpengaruh pada kualitas bonus demografi yang akan diterima Indonesia pada 2030.
Menurut penjelasan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, setelah puncak bonus demografi, Indonesia akan menghadapi aging population atau populasi yang menua. Jika bonus demografi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, sementara sudah masuk populasi yang menua, maka Indonesia akan mengalami middle income trap atau terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah (Kompas, 2022).
Tambahan lagi, maraknya generasi sandwich di era pascapandemi ini. Saat ini, banyak populasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi di sekitarnya, yakni orang tua, diri sendiri dan anaknya (Miller, 1981 dalam DeRigne dan Ferrrante, 2012). Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa generasi sandwich bertanggung jawab pula dalam urusan orang tua, orang yang dituakan dan juga dirinya sebagai pekerja profesional (Keene dan Prokos, 2007 dalam DeRigne dan Ferrrante, 2012).
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memprediksi pada 2030 mendatang, akan terjadi limpahan penduduk usia tua dengan pendidikan rata-rata 8,3 tahun dan 80% di antaranya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Karena itulah, remaja saat ini menjadi faktor penentu di masa depan.
Pada 2035, generasi muda akan menyokong kelompok lanjut usia dengan ekonomi yang rendah. Jika kualitas remaja saat ini tidak terbangun dengan baik, dikhawatirkan akselerasi pendapatan per kapita di Indonesia di masa datang akan berat (Kompas, 2022).
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah terutama untuk mengurangi tingkat pengangguran pada kelompok usia muda? Dengan membangun sumber daya manusia yang berkualitas lewat pemerataan pendidikan. Hal ini penting sebab pendidikan akan mampu membekali individu dengan penanaman nilai-nilai yang berperan penting dalam dunia kerja.