Gerindra Yakin Jokowi Sudah Kantongi Nama Menteri Layak Reshuffle
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono meyakini bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengantongi nama-nama anggota kabinet yang layak di-reshuffle. Hal tersebut dikatakannya menyikapi kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada rapat kabinet paripurna 18 Juni lalu.
"Begini, kalau siapa yang layak di- reshuffle , saya pikir Pak Jokowi sudah tahu, menteri-menteri mana yang lelet kerjanya dan tidak punya sense of crisis saat terjadinya dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional, keadaan sosial masyarakat, serta PHK buruh," ungkap Arief Poyuono kepada SINDOnews, Senin (29/6/2020). (Baca juga: Rata-rata Kinerja Menteri Buruk, Pengamat: Jokowi Langsung Saja Reshuffle)
Menurut Arief Poyuono, sebenarnya bekerja dengan pemimpin yang bertipe Presiden Jokowi paling enak bagi menteri-menterinya. Sebab, kata Arief, Presiden Jokowi seseorang yang berani mengambil resiko apapun untuk kepentingan rakyat dan negara.
"Contoh saja dia menawarkan kebijakan berupa perppu maupun perpres jika ada hambatan terhadap penanganan Covid-19 dan untuk menyelamatkan ekonomi kecil dan ancaman buruh yang di-PHK serta menciptakan pertahanan kesehatan (health security) bagi ancamam pandemi," ungkapnya.
Namun, lanjut dia, sangat disayangkan banyak menteri dan pimpinan lembaga dalam menghadapi pandemi Covid-19 tidak banyak melakukan tindakan atau kebijakan extraordinary, sehingga berdampak bagi tingkat kesejahteraan masyarakat, perekonomian nasional, dan health security bagi masyarakat.
Padahal, kata Arief, terkait pertumbuhan ekonomi nasional yang diprediksi akan mengalami minus, sudah membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berbusa-busa bicaranya. Namun, sambung Arief, apa yang terjadi instrumen-instrumen untuk mencegah minus pertumbuhan ekonomi, seperti belanja pemerintah untuk bansos sangat lamban dan belum mencapai 100%, belanja alkes dan APD juga sangat sedikit dan terlambat.
"Begitu juga realisasi dana penyelamatan ekonomi nasional akibat covid terutama untuk sektor UMKM, penyelamatan kredit macet korporasi akibat PSBB juga tak kunjung di eksekusi, padahal daya tahan pengusaha dan korporasi yang sehat itu hanya 4 bulanan untuk bisa tutup dan tetap mengaji pegawainya," paparnya.
Menurut dia, hal tersebut tentu berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. "Yang sangat disesalkan juga anggota, DPR RI dari parpol-parpol koalisi bukannya mendukung program-program pemerintah untuk membantu masyarakat akibat Covid-19 dan bisa mendapatkan semacam BLT, tapi justru malah banyak mempersulit dan mempolitisasi, misalnya saja program kartu prakerja yang sangat membantu masyarakat malah diobok-obok dianggap tidak transparan penerapannya. Padahal, dana dan pelatihan dari program prakerja sangat membantu masyarakat," ujarnya.
"Begini, kalau siapa yang layak di- reshuffle , saya pikir Pak Jokowi sudah tahu, menteri-menteri mana yang lelet kerjanya dan tidak punya sense of crisis saat terjadinya dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional, keadaan sosial masyarakat, serta PHK buruh," ungkap Arief Poyuono kepada SINDOnews, Senin (29/6/2020). (Baca juga: Rata-rata Kinerja Menteri Buruk, Pengamat: Jokowi Langsung Saja Reshuffle)
Menurut Arief Poyuono, sebenarnya bekerja dengan pemimpin yang bertipe Presiden Jokowi paling enak bagi menteri-menterinya. Sebab, kata Arief, Presiden Jokowi seseorang yang berani mengambil resiko apapun untuk kepentingan rakyat dan negara.
"Contoh saja dia menawarkan kebijakan berupa perppu maupun perpres jika ada hambatan terhadap penanganan Covid-19 dan untuk menyelamatkan ekonomi kecil dan ancaman buruh yang di-PHK serta menciptakan pertahanan kesehatan (health security) bagi ancamam pandemi," ungkapnya.
Namun, lanjut dia, sangat disayangkan banyak menteri dan pimpinan lembaga dalam menghadapi pandemi Covid-19 tidak banyak melakukan tindakan atau kebijakan extraordinary, sehingga berdampak bagi tingkat kesejahteraan masyarakat, perekonomian nasional, dan health security bagi masyarakat.
Padahal, kata Arief, terkait pertumbuhan ekonomi nasional yang diprediksi akan mengalami minus, sudah membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berbusa-busa bicaranya. Namun, sambung Arief, apa yang terjadi instrumen-instrumen untuk mencegah minus pertumbuhan ekonomi, seperti belanja pemerintah untuk bansos sangat lamban dan belum mencapai 100%, belanja alkes dan APD juga sangat sedikit dan terlambat.
"Begitu juga realisasi dana penyelamatan ekonomi nasional akibat covid terutama untuk sektor UMKM, penyelamatan kredit macet korporasi akibat PSBB juga tak kunjung di eksekusi, padahal daya tahan pengusaha dan korporasi yang sehat itu hanya 4 bulanan untuk bisa tutup dan tetap mengaji pegawainya," paparnya.
Menurut dia, hal tersebut tentu berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. "Yang sangat disesalkan juga anggota, DPR RI dari parpol-parpol koalisi bukannya mendukung program-program pemerintah untuk membantu masyarakat akibat Covid-19 dan bisa mendapatkan semacam BLT, tapi justru malah banyak mempersulit dan mempolitisasi, misalnya saja program kartu prakerja yang sangat membantu masyarakat malah diobok-obok dianggap tidak transparan penerapannya. Padahal, dana dan pelatihan dari program prakerja sangat membantu masyarakat," ujarnya.
(nbs)