Reshuffle Menteri Dinilai Pilihan Dilematis bagi Jokowi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terang-terangan membuka peluang untuk melakukan pengocokan ulang atau reshuffle kabinetnya. Pernyataan itu disampaikan Jokowi di depan para Menteri Kabinet Indonesia Maju pada Kamis (18/6/2020) dan diunggah ke kanal YouTube, Minggu (28/6/2020).
Jokowi menyampaikan rasa kecewanya atas kinerja para menteri yang dinilai tidak memiliki progres kemajuan yang signifikan. "Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle, sudah kepikiran ke mana-mana saya. Entah buat Perppu yang lebih penting lagi, kalau memang diperlukan," kata Jokowi dalam sebuah video yang diunggah melalui kanal YouTube sekretariat Presiden.
Menanggapi kemungkinan reshuffle tersebut, Pengamat Komunikasi Politik Telkom University dan Universitas Muhammadiyah Jakarta Dedi Kurnia Syah mengatakan, pilihan reshuffle sebenarnya dilematis bagi Jokowi. (Baca juga; Jokowi Semprot Para Menteri, PKS: Rakyat Sudah Alami Krisis Covid-19 )
Menurut dia, reshuffle ini bisa dimaknai dua hal. Pertama, ini menunjukkan bahwa Jokowi gagal mengkoordinasi kementerian yang sejak awal terlalu dibangga-banggakan, baik formasi maupun tokoh-tokoh yang dipilih. Kedua, ada sikap jumawa dari para menteri yang merasa dipilih karena berjasa dalam pemenangan atau merasa dekat dengan lingkaran Jokowi secara politis.
"Dua hal ini memicu lambannya kinerja, atau justru ada pola ketiga, yakni Jokowi gagal mengimplementasikan kepemimpinan kepala negara sehingga kerja kabinet tidak terstruktur dan berjalan sendiri," ujar Dedi, Senin (29/6/2020).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini mengatakan, wacana reshuffle ini juga memberikan makna bahwa pesan Jokowi kala memulai periode kedua menyebutkan bahwa "tidak ada visi misi menteri", sama sekali tidak didengar para menteri itu sendiri.
"Meskipun, kerja pemerintah seharusnya kolektif, produktif atau tidaknya bergantung Presiden, kekecewaan Presiden pada menteri, sama saja kecewa pada diri sendiri," katanya. (Baca juga; Marzuki Alie: Pak Jokowi Jangan Marah, Nanti Sakit, yang Rugi Rakyat )
Terkait dengan ancaman reshuffle tersebut, Dedi menyebutkan bahwa para menteri harus menunjukkan prestasi, sekurang-kurangnya meyakinkan Presiden jika rencana-rencana strategis kementerian segera tercapai paling lambat sebelum Agustus.
"Prestasi para menteri sebenarnya sederhana, yakni menjalankan kebijakan dengan imbas pada publik dan negara. Kementerian yang hanya habiskan waktu untuk kunjungan dan pidato, ada baiknya mulai berkemas," pungkasnya.
Jokowi menyampaikan rasa kecewanya atas kinerja para menteri yang dinilai tidak memiliki progres kemajuan yang signifikan. "Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle, sudah kepikiran ke mana-mana saya. Entah buat Perppu yang lebih penting lagi, kalau memang diperlukan," kata Jokowi dalam sebuah video yang diunggah melalui kanal YouTube sekretariat Presiden.
Menanggapi kemungkinan reshuffle tersebut, Pengamat Komunikasi Politik Telkom University dan Universitas Muhammadiyah Jakarta Dedi Kurnia Syah mengatakan, pilihan reshuffle sebenarnya dilematis bagi Jokowi. (Baca juga; Jokowi Semprot Para Menteri, PKS: Rakyat Sudah Alami Krisis Covid-19 )
Menurut dia, reshuffle ini bisa dimaknai dua hal. Pertama, ini menunjukkan bahwa Jokowi gagal mengkoordinasi kementerian yang sejak awal terlalu dibangga-banggakan, baik formasi maupun tokoh-tokoh yang dipilih. Kedua, ada sikap jumawa dari para menteri yang merasa dipilih karena berjasa dalam pemenangan atau merasa dekat dengan lingkaran Jokowi secara politis.
"Dua hal ini memicu lambannya kinerja, atau justru ada pola ketiga, yakni Jokowi gagal mengimplementasikan kepemimpinan kepala negara sehingga kerja kabinet tidak terstruktur dan berjalan sendiri," ujar Dedi, Senin (29/6/2020).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini mengatakan, wacana reshuffle ini juga memberikan makna bahwa pesan Jokowi kala memulai periode kedua menyebutkan bahwa "tidak ada visi misi menteri", sama sekali tidak didengar para menteri itu sendiri.
"Meskipun, kerja pemerintah seharusnya kolektif, produktif atau tidaknya bergantung Presiden, kekecewaan Presiden pada menteri, sama saja kecewa pada diri sendiri," katanya. (Baca juga; Marzuki Alie: Pak Jokowi Jangan Marah, Nanti Sakit, yang Rugi Rakyat )
Terkait dengan ancaman reshuffle tersebut, Dedi menyebutkan bahwa para menteri harus menunjukkan prestasi, sekurang-kurangnya meyakinkan Presiden jika rencana-rencana strategis kementerian segera tercapai paling lambat sebelum Agustus.
"Prestasi para menteri sebenarnya sederhana, yakni menjalankan kebijakan dengan imbas pada publik dan negara. Kementerian yang hanya habiskan waktu untuk kunjungan dan pidato, ada baiknya mulai berkemas," pungkasnya.
(wib)