Rocky Gerung Sebut Scientific Research Jadi Penentu Kasus Brigadir J
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akademisi dan Intelektual Publik Rocky Gerung menilai langkah Kepolisian dalam memproses kasus baku tembak ajudan di Rumah Dinas Kepala Divisi Propam nonaktif Irjen Ferdy Sambo berjalan profesional dan transparan. Diketahui, Brigadir J atau Nopriansyah Yosua Hutabarat meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.
"Saya kira kepolisian masih dalam tahap profesionalisme, yakni mengakui bahwa ada dua korban dalam kasus ini," ujar Rocky saat dihubungi wartawan, Senin (1/8/2022).
Ia menjelaskan, korban pertama tentu Brigadir J alias Yosua. Dia menjadi korban dan karena itu tubuhnya akan punya hak untuk mengucapkan jejak kriminalitas melalui bahasa yang disebut sebagai autopsi.
Forensik, lanjut Rocky, adalah bahasa dari korban untuk mengucapkan apa yang telah terjadi pada tubuhnya, dengan keahlian forensik, korban berbicara kepada para ahli. "Jadi ini yang kita harus hormati, bahwa hak korban meski telah menjadi jenazah, dia bisa tetap mengucapkan pengetahuan dia tentang apa yang terjadi pada tubuhnya melalui ilmu forensik," jelas Rocky.
Menurut salah satu Founder Setara Institute ini, kini semua pihak secara profesional telah tiba pada satu titik kesepakatan, bahwa scientific research akan menjadi cara yang digunakan untuk mengungkapkan peristiwa kematian Brigadir J. Kemudian soal korban kedua, yakni istri Irjen Ferdy Sambo.
Menurutnya, perlindungan terhadap korban kedua harus dihargai sebagai hak privasi yang memerlukan proteksi hukum, dan itu berlaku di dalam prinsip human rights, terutama yang disebut hak asasi perempuan. Hal tersebut perlu diproteksi karena perempuan rentan untuk dibully, dimanfaatkan tubuhnya melalui prinsip yang disebut femme fatale, suatu doktrin dalam peradaban yang menganggap tiap kejahatan di belakangnya selalu ada perempuan.
"Ini yang mesti kita hindari. jadi sensasi terhadap femme fatale, yaitu keterlibatan perempuan dan biasanya berkaitan dengan isu sensasi seksual itu mesti kita hilangkan dulu," katanya.
Hal tersebut penting dilakukan agar semua pihak bisa masuk dalam kasus ini lewat penelitian yang betul-betul scientfic. "Kita dorong supaya proses pembuktian itu semata-mata berdasarkan pada substansi perkara itu. Dan demi itu, metodologi scientific kita ajukan lebih dahulu," ucapnya.
"Jadi hilangkan segala macam phantasmagoria, semacam keinginan untuk menimbulkan sensasi dangkal terhadap satu peristiwa kriminal, terutama yang di dalamnya ada aspek keperempuanan," imbuhnya.
Ia juga menambahkan, dalam kasus baku tembak ajudan ini, Rocky mengimbau agar pers memberlakukan peristiwa ini sebagai peristiwa kriminal tanpa bumbu-bumbu sensasi, tanpa bumbu-bumbu politik. "Ini penting kita ucapkan sejak sekarang, izinkan Polri untuk melakukan scientific research berdasarkan prinsip ilmu pengetahuan kriminal, yaitu pembuktian berdasarkan fakta, bukan berdasarkan asumsi," demikian Rocky Gerung.
"Saya kira kepolisian masih dalam tahap profesionalisme, yakni mengakui bahwa ada dua korban dalam kasus ini," ujar Rocky saat dihubungi wartawan, Senin (1/8/2022).
Ia menjelaskan, korban pertama tentu Brigadir J alias Yosua. Dia menjadi korban dan karena itu tubuhnya akan punya hak untuk mengucapkan jejak kriminalitas melalui bahasa yang disebut sebagai autopsi.
Forensik, lanjut Rocky, adalah bahasa dari korban untuk mengucapkan apa yang telah terjadi pada tubuhnya, dengan keahlian forensik, korban berbicara kepada para ahli. "Jadi ini yang kita harus hormati, bahwa hak korban meski telah menjadi jenazah, dia bisa tetap mengucapkan pengetahuan dia tentang apa yang terjadi pada tubuhnya melalui ilmu forensik," jelas Rocky.
Menurut salah satu Founder Setara Institute ini, kini semua pihak secara profesional telah tiba pada satu titik kesepakatan, bahwa scientific research akan menjadi cara yang digunakan untuk mengungkapkan peristiwa kematian Brigadir J. Kemudian soal korban kedua, yakni istri Irjen Ferdy Sambo.
Menurutnya, perlindungan terhadap korban kedua harus dihargai sebagai hak privasi yang memerlukan proteksi hukum, dan itu berlaku di dalam prinsip human rights, terutama yang disebut hak asasi perempuan. Hal tersebut perlu diproteksi karena perempuan rentan untuk dibully, dimanfaatkan tubuhnya melalui prinsip yang disebut femme fatale, suatu doktrin dalam peradaban yang menganggap tiap kejahatan di belakangnya selalu ada perempuan.
"Ini yang mesti kita hindari. jadi sensasi terhadap femme fatale, yaitu keterlibatan perempuan dan biasanya berkaitan dengan isu sensasi seksual itu mesti kita hilangkan dulu," katanya.
Hal tersebut penting dilakukan agar semua pihak bisa masuk dalam kasus ini lewat penelitian yang betul-betul scientfic. "Kita dorong supaya proses pembuktian itu semata-mata berdasarkan pada substansi perkara itu. Dan demi itu, metodologi scientific kita ajukan lebih dahulu," ucapnya.
"Jadi hilangkan segala macam phantasmagoria, semacam keinginan untuk menimbulkan sensasi dangkal terhadap satu peristiwa kriminal, terutama yang di dalamnya ada aspek keperempuanan," imbuhnya.
Ia juga menambahkan, dalam kasus baku tembak ajudan ini, Rocky mengimbau agar pers memberlakukan peristiwa ini sebagai peristiwa kriminal tanpa bumbu-bumbu sensasi, tanpa bumbu-bumbu politik. "Ini penting kita ucapkan sejak sekarang, izinkan Polri untuk melakukan scientific research berdasarkan prinsip ilmu pengetahuan kriminal, yaitu pembuktian berdasarkan fakta, bukan berdasarkan asumsi," demikian Rocky Gerung.
(rca)