Membenahi Jakarta Sepeninggalan Ibu Kota

Senin, 01 Agustus 2022 - 11:09 WIB
loading...
Membenahi Jakarta Sepeninggalan...
Nirwono Joga. FOTO/DOK SINDO
A A A
Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan

Daya dukung DKI Jakarta sebagaiIbu Kota Negara(IKN) sudah tidak mampu dikembangkan lagi. Pasalnya, memperbaiki Jakarta sebagai Ibu Kota lebih mahal daripada membangun Ibu Kota Negara yang baru.

Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)Basuki Hadimuljonodi Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (11/7) lalu.

Menurut Basuki, masalah yang dihadapi Jakarta bukan hanya banjir, tetapi masih banyak persoalan lain yang dihadapi, seperti ketersediaan air minum, pengambilan air tanah berlebihan. Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) sepanjang 46 kilometer di wilayah pesisir bukan untuk banjir tapi untukenvironmental remediation.

Selain itu, 13 sungai yang melintas Kota Jakarta berpotensi tidak mampu lagi mengalirkan air ke laut pada 2040, karena terjadi penurunan tanah. “Kalau kami berdasarkan kajian itu, (ibu kota negara) harus pindah,” tegas Basuki Hadimuljono.

Ibu Kota Negara (IKN) boleh saja pindah, tetapi Jakarta akan terus berkembang dinamis sejajar dengan kota-kota besar dunia (yang bukan sebagai IKN). Memindahkan IKN keluar Jakarta dan membenahi Jakarta ibarat dua sisi dari satu koin yang sama. Lalu, apa saja yang harus dibenahi?

Pertama, banjir masih menjadi persoalan utama Jakarta, seperti terjadi lagi saat banjir kiriman permukiman di bantaran kali (2020), banjir lokal di kawasan pusat kota (2021), serta banjir rob di pesisir pantai utara (2022). Maka siapa pun kelak yang akan memimpin Jakarta sebaiknya ia fokus pada beberapa langkah mengatasi banjir yang dilakukan secara paralel dan bertahap dengan indikator kinerja jelas.

Untuk mengurangi banjir kiriman, pembenahan seluruh bantaran 13 sungai meliputi pengerukan, pelebaran badan sugai, pemindahan/relokasi permukiman warga ke rumah susun/rusun terdekat, serta penghijauan bantaran sungai. Selain itu didukung dengan revitalisasi situ/danau/embung waduk (SDEW) melalui pengerukan, pelebaran, penghijauan tepi badan SDEW, serta pemindahan permukiman warga ke rusun (jika ada).

Dalam upaya mengatasi banjir lokal, Pemerintah DKI Jakarta harus merehabilitasi/memperbesar seluruh saluran air kota agar mampu menampung air hujan sesuai besaran curah hujan yang semakin ekstrim dampak dari perubahan iklim. Pada saat sama merevitalisasi jalur pejalan kaki/trotoar dan memindahkan seluruh jaringan utilitas (kabel listrik, telekomunikasi, serat optik; pipa gas, air bersih, air limbah) ke dalam tanah, sehingga saluran air tidak perlu lagi tersumbat berbagai jaringan utilitas yang semrawut.

Adapun untuk penanganan banjir rob, kawasan pesisir pantai utara Jakarta harus direstorasi melalui penghutanan kembali (reforestasi) kawasan pantai/hutan mangrove. Kawasan tepi pantai selebar minimal 500 meter dari tepi laut ke arah daratan harus bebas banguan dan permukiman. Kawasan itu dibangun hutan mangrove sebagai benteng alami atasi banjir rob, abrasi pantasi, intrusi air laut, terjangan tsunami, serta mencegah Jakarta tenggelam.

Kedua, penambahan luas ruang terbuka hijau (RTH) harus dilakukan untuk menambah kemampuan daya serap air alami sekaligus mengembangkan paru-paru kota untuk memperbaiki kualitas udara. Pemerintah DKI Jakarta dapat menambah luas RTH 9,98% pada 2020 menjadi minimal 30% di 2030. Bandingkan dengan kota Amsterdam (13%), Hamburg dan Shanghai (16%), Moskow (18%), New York (27%), Seoul (28%), Kuala Lumpur (30%), London (33%), Hong Kong (40%), Tokyo dan Vienna (45%), Singapura (47 %).

Badan tepian air (sungai, SDEW), hutan kota, taman lingkungan/kota, jalur hijau bantaran rel kereta api/kolong jalan layang/bawah, dan SUTET merupakan lahan potensial penambahan RTH. Jaringan infrastruktur RTH membentuk poros ekologis hulu-tengah-hilir, dari kawasan Puncak (hutan lindung, sumber mata air), kawasan perkotaan (hutan kota di Bogor, Depok, Jakarta), hingga ke hilir Pantai Utara Jakarta (hutan mangrove di sepanjang pesisir).

Ketiga, Pemerintah DKI Jakarta perlu segera menerapkan zona larangan air tanah, dimulai dari kawasan pesisir pantai utara, mempercepat pembanguan jaringan perpipaan sistem penyediaan air minum (SPAM) dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) domestik/komunal. Penyediaan air bersih harus terjamin kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air baku. Pembatasan/pelarangan pengambilan air tanah akan memperlambat penurunan tanah dan mencegah ancaman tenggelam kawasan pesisir.

Sumber-sumber air baku harus dilestarikan, bebas dari pencemaran sampah dan limbah, serta bebas bangunan dan permukiman. Pelestarian sumber air permukaan (situ/danau/embung/waduk), air mengalir (sungai, kanal), air dangkal dan dalam (air tanah), air hujan (ditampung), proses desalinasi air laut, hingga rekayasa teknologi tepat guna untuk mendaurulang air bekas pakai.

Keempat, kualitas udara Jakarta yang terus masuk terburuk di dunia menjadi pekerjaan rumah utama yang juga harus dituntaskan. Pemerintah DKI Jakarta dapat menerapkan berbagai kebijakan untuk memperbaiki kualitas udara secara signifikan dan mengembangkan transportasi perkotaan rendah karbon.

Selain itu, perluasan pembatasan pergerakan semua jenis kendaraan pribadi (ganjil genap, parkir progresif, jalan berbayar elektronik), peralihan gaya hidup (naik transportasi publik untuk jarak sedang-jauh, jalan kaki/bersepeda untuk jarak dekat), pengembangan kawasan terpadu berbasis transportasi massal (transit oriented development/TOD).

Di samping itu, persyaratan bangunan hijau dan penertiban kawasan industri terhadap emisi gas buangan. Penggunan bahan bakar energi baru terbarukan (listrik, biogas, hidrogen) dimulai dari transportasi publik dan kendaraan operasional pemerintah, serta insentif menarik bagi pengguna kendaraan pribadi.

Kelima, setelah tidak menjadi Ibu Kota, Jakarta tetap mampu sejajar dengan kota-kota pusat dunia, seperti kota New York dengan Washington DC, Shanghai dan Beijing, Mumbai dan New Delhi, Sydney dan Canberra, Putrajaya dan Kuala Lumpur, Sejong dan Seoul, Osaka dan Tokyo. Jakarta dapat dikembangkan sebagai sebagai kota bisnis, keuangan dan perdagangan (Hong Kong, Singapura, Tokyo Raya, London Raya, New York Raya); kota seni-budaya (Paris, Milan, Melbourne, Barcelona); kota ekonomi kreatif digital (Sydney, London, Los Angeles, Seoul).

Kawasan industri secara bertahap harus dikurangi dan pengetatan jenis industrinya yang bersih dan padat modal. Jakarta harus segera berpacu mengejar ketinggalannya dari kota-kota tetangga seperti Singapura, Kuala Lumpur, Sydney, Melbourne, New Delhi, Seoul, Shanghai.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3468 seconds (0.1#10.140)