Tujuan dan Isi Tak Sinkron, UGM: Cara Pikir RUU HIP Perlu Overhaul
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa tujuan dan isi Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila ( RUU HIP ) kurang sinkron. Menurut lembaga di bawah UGM ini, sejatinya RUU HIP berusaha menjawab kebutuhan untuk memperkuat kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara, berikut lembaga yang bertugas untuk itu, yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
”Namun cara berpikir yang membentuk isi dan pasal pasal RUU HIP nampaknya perlu diganti (overhaul), atau ditingkatkan (upgrade),” demikian penggalan salah satu kesimpulan dalam hasil kajian yang diterima SINDOnews, Minggu (28/6/2020).
Hasil kajian yang ditandatangani Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Agus Wahyudi itu menyatakan, alasan utama lahirnya inisiatif RUU HIP sejatinya adalah penataan lembaga nasional yang menangani Pancasila seperti BPIP.
(Baca: Segala Pembahasan RUU Terkait Pancasila Harus Dihentikan)
Pertanyaan-pertanyaan menyangkut posisi, kedudukan hukum dan peranannya, dan bagaimana menentukan dengan saksama batas-batas wewenang dan kekuasaannya membutuhkan aturan yang seharusnya menjadi perhatian warga negara dan siapapun yang terdampak dengan aturan atau kebijakan ini.
Akan tetapi, fakta menunjukkan adanya perbedaan penilaian di dalam masyarakat, termasuk para akademisi. Hal itu sangat mungkin terjadi karena di antara para akademisi yang pernyataannya saling bertentangan berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Karena itu, upaya untuk memperbaiki isi RUU HIP perlu dilakukan lewat cara yang lebih terbuka. ”Melalui proses atau tata acara aturan demokrasi yang semakin kuat dan terpercaya,” bunyi hasil kajian itu.
(Baca: Fadli Zon: BPIP Itu Harusnya Dibubarkan, Pancasila Sudah Final)
Karena itu, Pusat Studi Pancasila UGM memberikan beberapa saran dan masukan. Pertama, meminta para akademisi tidak terlalu tergesa gesa dan ceroboh mengeluarkan pernyataan tanpa dukungan bukti atau informasi yang lebih lengkap, relevan, dan pertimbangan perspektif yang luas. Hal ini terutama untuk sebuah perkara yang membutuhkan pemikiran yang mendalam dan saksama (thoughtful) ketika hendak menentukan sikap politik atau sikap akademik, dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, pernyataan para akademisi yang kemungkinan bias perspektif dan bias dalam menyeleksi bukti-bukti atau argumen pendukung selalu bisa dipertanyakan ulang dan tidak dapat dianggap sebagai kesimpulan yang pasti (absolute).
Ketiga, diperlukan usaha bersama sama dalam memahami persoalan-persoalan dasar RUU HIP berdasarkan analisis yang kritis dan cermat dari sejak “initial intent” (maksud utama) para penyusun Naskah Akademik dan RUU HIP serta implikasi selanjutnya bagi kehidupan bersama yang lebih demokratik dan berkeadilan sosial di Indonesia.
”Namun cara berpikir yang membentuk isi dan pasal pasal RUU HIP nampaknya perlu diganti (overhaul), atau ditingkatkan (upgrade),” demikian penggalan salah satu kesimpulan dalam hasil kajian yang diterima SINDOnews, Minggu (28/6/2020).
Hasil kajian yang ditandatangani Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Agus Wahyudi itu menyatakan, alasan utama lahirnya inisiatif RUU HIP sejatinya adalah penataan lembaga nasional yang menangani Pancasila seperti BPIP.
(Baca: Segala Pembahasan RUU Terkait Pancasila Harus Dihentikan)
Pertanyaan-pertanyaan menyangkut posisi, kedudukan hukum dan peranannya, dan bagaimana menentukan dengan saksama batas-batas wewenang dan kekuasaannya membutuhkan aturan yang seharusnya menjadi perhatian warga negara dan siapapun yang terdampak dengan aturan atau kebijakan ini.
Akan tetapi, fakta menunjukkan adanya perbedaan penilaian di dalam masyarakat, termasuk para akademisi. Hal itu sangat mungkin terjadi karena di antara para akademisi yang pernyataannya saling bertentangan berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Karena itu, upaya untuk memperbaiki isi RUU HIP perlu dilakukan lewat cara yang lebih terbuka. ”Melalui proses atau tata acara aturan demokrasi yang semakin kuat dan terpercaya,” bunyi hasil kajian itu.
(Baca: Fadli Zon: BPIP Itu Harusnya Dibubarkan, Pancasila Sudah Final)
Karena itu, Pusat Studi Pancasila UGM memberikan beberapa saran dan masukan. Pertama, meminta para akademisi tidak terlalu tergesa gesa dan ceroboh mengeluarkan pernyataan tanpa dukungan bukti atau informasi yang lebih lengkap, relevan, dan pertimbangan perspektif yang luas. Hal ini terutama untuk sebuah perkara yang membutuhkan pemikiran yang mendalam dan saksama (thoughtful) ketika hendak menentukan sikap politik atau sikap akademik, dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, pernyataan para akademisi yang kemungkinan bias perspektif dan bias dalam menyeleksi bukti-bukti atau argumen pendukung selalu bisa dipertanyakan ulang dan tidak dapat dianggap sebagai kesimpulan yang pasti (absolute).
Ketiga, diperlukan usaha bersama sama dalam memahami persoalan-persoalan dasar RUU HIP berdasarkan analisis yang kritis dan cermat dari sejak “initial intent” (maksud utama) para penyusun Naskah Akademik dan RUU HIP serta implikasi selanjutnya bagi kehidupan bersama yang lebih demokratik dan berkeadilan sosial di Indonesia.
(muh)