KHDPK Dinilai sebagai Inovasi Bernas, Harus Dilihat Secara Holistik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konsep Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus atau KHDPK berdasarkan nama memang tidak punya nomenklatur ilmiah, tetapi punya nilai inovasi yang bernas. Hal ini dikatakan oleh Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof San Afri Awang.
"Kenapa bernas karena KHDPK akan menyelesaikan hal hal seperti penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul, dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya," kata Prof San Afri, Rabu (27/7/2022).
Berikutnya, menyelesaikan masalah permukiman dalam kawasan hutan yang jumlahnya lebih dari 1.000 titik masalah, menyelesaikan kebutuhan tanah untuk pembangunan non kehutanan dan ketahanan pangan nasional.
"Mendukung program strategis nasional. Enam poin ini tidak mungkin diselesaikan oleh perhutani karena perhutani hanya operator kebijakan saja," jelasnya.
Menurut Prof San Afri, pasti banyak orang mengatakan bagaimana dengan lingkungan hidup di Pulau Jawa? Lingkungan hidup di pulau jawa yang sering terganggu adalah bencana iklim yaitu banjir.
"Banjir itu penyebabnya banyak, salah satunya adalah adanya lahan kritis seluas 470 ribu ha di dalam kawasan hutan negara. Lahan kritis ini bukan karena adanya KHDPK, justru KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini. Perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total. Sebelum ada KHDPK lingkungan alamnya sudah rusak," ungkapnya.
Ditegaskan Prof San Afri, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holistic ekosistem Pulau Jawa. Pulau Jawa luasnya sekitar 13 juta ha terdiri dari 3,4 juta ha hutan negara, sekitar 3 juta ha hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain.
Menurutnya, hilangnya angka kecukupan luas hutan minimal 30% dari luas darata/DAS dalam UUCK No.11/2020 harus dibaca dengan cerdas dan inovatif. Khusus Pulau Jawa hilangnya angka 30% memang satu keniscayaan sebab banyak masalah yang harus diselesaikan di Pulau Jawa.
"PP 23/2021 dan Permen LHK Nomor 9/2021 memastikan, hutan rakyat harus dihitung sebagai bentuk tutupan lahan di pulau jawa yang luasnya sekitar 3 juta. Sistem registrasi akan dikenakan pada hutan rakyat dengan insenttif bagi pemilik hutan rakyat. Kekhawatiran publik Jawa akan kekurangan tutupan vegetasi terjawab dengan diakomodirnya hutan rakyat bagian dari tutupan vegetasi di Pulau jawa," tuturnya.
Dengan hutan rakyat lanjut Prof San Afri, maka Pulau Jawa memiliki tutupan vegetasi seluas 6,4 juta ha (45%) berasal dari areal perhutani 1,4 juta ha areak perhutani, areal hutan rakyat 3 juta ha, areal konservasi 1 juta ha dan areal KHDPK sekitar 1 juta ha.
"Mari kita melihat Pulau Jawa dan lingkungan serta ekosistem Pulau Jawa dalam satu kesatuan utuh pulau dan segala isinya, jangan hanya melihat dari sisi pandang hutan negara saja. Terima kasih pada rakyat yang telah membangun hutan rakyat secara mandiri dan secara bantuan pemerintah," ajak Prof San Arfi ini.
"Dengan hutan rakyat dan hutan negara di kalkulasi secara bersama sama telah menjadikan daya dukung alam lingkungan di Pulau Jawa membaik," sambungnya.
Menurut Prof San Afri, masa depan pengelolaan hutan di Pulau Jawa terbukti tidak dapat hanya menyandarkan pada peran hutan negara saja (apalagi hutan negaranya sudah rusak). Hutan rakyat bagian dari pengisi landscape pulau Jawa harus dimasukkan dalam pengelolaan landscape hutan di Jawa.
"Hutan negara dalam model KHDPK salah satunya untuk memperbaiki potensi sumberdaya hutannya yang sekaligus memecahkan masalah sosial rakyat yang miskin, kurang beruntung dan hidup di sekitar kawasan hutan negara," ucapnya.
"KHDPK harus dibangun dengan paradigma kemanusiaan dalam proses membangun hutannya. Integrasi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan, dan ekonomi produktif menjadi bahan utama mengelola dan membangun hutan di wilayah KHDPK," tutupnya.
"Kenapa bernas karena KHDPK akan menyelesaikan hal hal seperti penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul, dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya," kata Prof San Afri, Rabu (27/7/2022).
Berikutnya, menyelesaikan masalah permukiman dalam kawasan hutan yang jumlahnya lebih dari 1.000 titik masalah, menyelesaikan kebutuhan tanah untuk pembangunan non kehutanan dan ketahanan pangan nasional.
"Mendukung program strategis nasional. Enam poin ini tidak mungkin diselesaikan oleh perhutani karena perhutani hanya operator kebijakan saja," jelasnya.
Menurut Prof San Afri, pasti banyak orang mengatakan bagaimana dengan lingkungan hidup di Pulau Jawa? Lingkungan hidup di pulau jawa yang sering terganggu adalah bencana iklim yaitu banjir.
"Banjir itu penyebabnya banyak, salah satunya adalah adanya lahan kritis seluas 470 ribu ha di dalam kawasan hutan negara. Lahan kritis ini bukan karena adanya KHDPK, justru KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini. Perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total. Sebelum ada KHDPK lingkungan alamnya sudah rusak," ungkapnya.
Ditegaskan Prof San Afri, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holistic ekosistem Pulau Jawa. Pulau Jawa luasnya sekitar 13 juta ha terdiri dari 3,4 juta ha hutan negara, sekitar 3 juta ha hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain.
Menurutnya, hilangnya angka kecukupan luas hutan minimal 30% dari luas darata/DAS dalam UUCK No.11/2020 harus dibaca dengan cerdas dan inovatif. Khusus Pulau Jawa hilangnya angka 30% memang satu keniscayaan sebab banyak masalah yang harus diselesaikan di Pulau Jawa.
"PP 23/2021 dan Permen LHK Nomor 9/2021 memastikan, hutan rakyat harus dihitung sebagai bentuk tutupan lahan di pulau jawa yang luasnya sekitar 3 juta. Sistem registrasi akan dikenakan pada hutan rakyat dengan insenttif bagi pemilik hutan rakyat. Kekhawatiran publik Jawa akan kekurangan tutupan vegetasi terjawab dengan diakomodirnya hutan rakyat bagian dari tutupan vegetasi di Pulau jawa," tuturnya.
Dengan hutan rakyat lanjut Prof San Afri, maka Pulau Jawa memiliki tutupan vegetasi seluas 6,4 juta ha (45%) berasal dari areal perhutani 1,4 juta ha areak perhutani, areal hutan rakyat 3 juta ha, areal konservasi 1 juta ha dan areal KHDPK sekitar 1 juta ha.
"Mari kita melihat Pulau Jawa dan lingkungan serta ekosistem Pulau Jawa dalam satu kesatuan utuh pulau dan segala isinya, jangan hanya melihat dari sisi pandang hutan negara saja. Terima kasih pada rakyat yang telah membangun hutan rakyat secara mandiri dan secara bantuan pemerintah," ajak Prof San Arfi ini.
"Dengan hutan rakyat dan hutan negara di kalkulasi secara bersama sama telah menjadikan daya dukung alam lingkungan di Pulau Jawa membaik," sambungnya.
Menurut Prof San Afri, masa depan pengelolaan hutan di Pulau Jawa terbukti tidak dapat hanya menyandarkan pada peran hutan negara saja (apalagi hutan negaranya sudah rusak). Hutan rakyat bagian dari pengisi landscape pulau Jawa harus dimasukkan dalam pengelolaan landscape hutan di Jawa.
"Hutan negara dalam model KHDPK salah satunya untuk memperbaiki potensi sumberdaya hutannya yang sekaligus memecahkan masalah sosial rakyat yang miskin, kurang beruntung dan hidup di sekitar kawasan hutan negara," ucapnya.
"KHDPK harus dibangun dengan paradigma kemanusiaan dalam proses membangun hutannya. Integrasi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan, dan ekonomi produktif menjadi bahan utama mengelola dan membangun hutan di wilayah KHDPK," tutupnya.
(maf)