Kemenkominfo Tekankan Pentingnya Literasi Digital untuk Hadapi Gangguan Informasi

Senin, 25 Juli 2022 - 21:47 WIB
loading...
Kemenkominfo Tekankan...
Direktur Jenderal Aplikasi Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan menekankan pentingnya literasi digital untuk menghadapi gangguan informasi. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Perkembangan teknologi yang begitu cepat, terkadang membuat beredarnya konten atau informasi hoaks cepat menyebar. Bahkan, hoaks kian meningkat di masa pandemi Covid-19.

Bermacam kalimat dan konten serta cuplikan berita kerap diputarbalikkan dari fakta ataupun berupa gambar-gambar yang telah didesain ulang dari gambar aslinya.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, massifnya pengguna internet di Indonesia harus menjadi perhatian karena membawa berbagai risiko, seperti penipuan online, hoaks, cyber bully dan konten negatif lainnya.



“Karena itu, peningkatan teknologi digital perlu diimbangi kapasitas literasi digital yang mumpuni, agar masyarakat dapat memanfaatkan dengan produktif, bijak dan tepat guna,” jelas Semuel.



Sementara itu, Relawan Mafindo Yogyakarta Violita Siska Mutiara menyadari hoaks soal Covid-19 semakin merajarela belakangan ini. Dari penyebab, cara pengobatan hingga yang terbaru mengenai vaksin.

"Pandemi ini banyak sekali hoaks yang beredar, ada tentang vaksin, meninggal karena vaksin. Bahkan misalnya ada di WhatsApp, sosial media lain itu banyak sekali beredar," kata Violita dalam webinar Kelas Kebal Hoaks, Jakarta, Senin (25/7/2022).

Masyarakat terkadang dihadapkan informasi yang salah dan menyesatkan bercampur baur dengan fakta atau benar, menyebabkan terjadinya problem dikenal sebagai polusi atau gangguan informasi.

Violita mengemukakan, gangguan informasi memiliki berbagai dimensi yang tidak dapat digeneralisir secara sederhana. Terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya misinformasi, disinformasi dan malinformasi.

"Miss informasi itu adalah informasi yang salah, namun orang yang membagikannya percaya bahwa itu benar. Terutama sering terjadi di grup WhatsApp banyak yang membagikan ada kejadian terbaru padahal belum tahu kebenerannya," jelasnya.

Sementara disinformasi, merupakan informasi yang salah dan orang-orang yang membagikannya telah mengetahuinya bahwa itu salah, tapi justru disengaja. "Sehingga menyebabkan keresahan di masyarakat," ucap Violita.

Sedangkan malinformasi memiliki unsur kebenaran, baik dalam penggalan atau seluruh fakta objektif. Namun penyajiannya dikemas sedemikian rupa untuk melakukan tindakan merugikan bagi pihak lain. "Jadi beritanya benar, tapi pengemasannya itu merugikan bagi pihak lain. Jadi disengaja, beritanya diselewengkan," terangnya.

Senada, Tim Kalimasada Mafindo Arief Putra Ramadhan mengatakan, audit media social itu merupakan metode untuk mengecek apakah profil dan konten yang dievaluasi layak dipercaya atau tidak. "Tujuan audit media sosial untuk memperkaya informasi tentang profil orang lain, harus nencermati postingannya, agar kita tahu apakah akun tersebut bisa kita percayai atau tidak," cetus Arief.

Mengapa metode itu menjadi penting, sebab saat ini banyak sekali akun bodong tujuannya untuknya mendapat keuntungan. Seperti akun tokoh besar, penjualan, online. "Maka itu pentingnya kita mengaudit media sosial. Jangan sampai kita gampang terlena oleh suatu akun, tapi harus diaudit terlebih dahulu," pesannya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1786 seconds (0.1#10.140)