Tamasya Intelektual dan Cerita Radikalisme yang Menyertainya
loading...
A
A
A
Qurrotul Uyun
Dosen Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Perjalanan akademik merupakan perjalanan sunyi. Sifatnya sangat privat dan kerapkali diwarnai dengan ritme emosional yang kuat. Tidak banyak orang mengisahkan perjalanan akademik karena fokus kehidupannya dihabiskan pada rentetan aktifitas untuk menghapi berbagai tantangan.
Selain persoalan waktu, kadang seorang pekerja pengetahuan (knowledge worker) lebih asyik menikmati kisahnya sendiri. Namun berbeda dengan kebanyakan orang. Wildani Hefni dan Rizqa Ahmadi justru menuliskan perjalanan akademiknya selama menempuh studi di Ibu Kota Australia, Canberra.
Bagi penulis buku ini, perjalanan akademik tak lain adalah tamasya intelektual yang harus dinikmati oleh banyak orang, tidak terbatas pada dirinya. Karena itu, buku ini mengungkap segala hal yang berkaitan dengan perjalanan kehidupan akademik mulai sejak di Carbella, Jakarta (Ibu kota Indonesia), dan Canberra (ibu kota Australia).
Buku yang ditulis dalam memoar perjalanan akademik ini lahir dari dua pelajar yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia, dalam hal ini Department of Foreign Affais and Trade (DFAT) dalam program beasiswa bernama Partnership in Islamic Education Scheme (PIES). PIES ini merupakan sinergi kerja sama antara Australian National University (ANU) Canberra dan Kementerian Agama yang didukung oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Pemerintah Australia (hal. 2).
Jamak diketahui, Australia merupakan negara yang banyak diminati oleh mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan studi. Terdapat beberapa perguruan tinggi di Australia yang menempati perguruan tinggi ranking dunia. Tentu, belajar di luar negeri, lebih-lebih di perguruan tinggi kelas dunia, merupakan impian bagi kaum pelajar. Selain bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas akademik, melanjutkan studi di luar negeri juga dapat memperluas jejaring akademik di kancah internasional.
Tamasya intelektual yang digambarkan dalam buku ini berkisar tentang dunia intelektualisme. Dalam lingkaran modal intelektual, berbagai gagasan, ide, khazanah keilmuan dan pengetahuan, dapat tersituasikan secara sosial dan dibentuk oleh pandangan dunia melalui berbagai macam pemikiran. Akan tetapi, hal itu tidak akan berjalan mulus jika dihadapkan dengan berbagai tantangan.
Penulis buku ini berhasil memadukan perjalanan akademik pada satu sisi, dan pada sisi yang lain menyuguhkan gambaran kehidupan keagamaan di panggung internasional saat menjadi kelompok minoritas. Buku ini dengan jeli membedah ancaman yang dihadapi oleh para pelajar, termasuk ancaman radikalisme.
Menguatnya imigran Muslim di negara-negara Barat, termasuk Australia, menjadi ancaman bagi para pelajar yang hidup menjadi minoritas. Superioritas dan supremasi kulit putih kerapkali mewarnai kehidupan dan membawa pekerja pengetahuan dalam ancaman radikalisme dan rasisme fasis (hal. 194).
Yang menarik dari buku ini, penulis berhasil mengisahkan dengan detail tentang kehidupan sosial serta budaya di Australia, berikut dengan segala tantangannya. Penulis buku ini mengalami situasi yang tak menentu disaat tragedi kemanusiaan Christchurch di New Zealand, pada 15 Maret 2019. Tragedi itu memang menghentak dunia internasional akibat ulah dari seorang pemuda dengan menyerang umat Islam yang sedang salat Jumat.
Dosen Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Perjalanan akademik merupakan perjalanan sunyi. Sifatnya sangat privat dan kerapkali diwarnai dengan ritme emosional yang kuat. Tidak banyak orang mengisahkan perjalanan akademik karena fokus kehidupannya dihabiskan pada rentetan aktifitas untuk menghapi berbagai tantangan.
Selain persoalan waktu, kadang seorang pekerja pengetahuan (knowledge worker) lebih asyik menikmati kisahnya sendiri. Namun berbeda dengan kebanyakan orang. Wildani Hefni dan Rizqa Ahmadi justru menuliskan perjalanan akademiknya selama menempuh studi di Ibu Kota Australia, Canberra.
Bagi penulis buku ini, perjalanan akademik tak lain adalah tamasya intelektual yang harus dinikmati oleh banyak orang, tidak terbatas pada dirinya. Karena itu, buku ini mengungkap segala hal yang berkaitan dengan perjalanan kehidupan akademik mulai sejak di Carbella, Jakarta (Ibu kota Indonesia), dan Canberra (ibu kota Australia).
Buku yang ditulis dalam memoar perjalanan akademik ini lahir dari dua pelajar yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia, dalam hal ini Department of Foreign Affais and Trade (DFAT) dalam program beasiswa bernama Partnership in Islamic Education Scheme (PIES). PIES ini merupakan sinergi kerja sama antara Australian National University (ANU) Canberra dan Kementerian Agama yang didukung oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Pemerintah Australia (hal. 2).
Jamak diketahui, Australia merupakan negara yang banyak diminati oleh mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan studi. Terdapat beberapa perguruan tinggi di Australia yang menempati perguruan tinggi ranking dunia. Tentu, belajar di luar negeri, lebih-lebih di perguruan tinggi kelas dunia, merupakan impian bagi kaum pelajar. Selain bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas akademik, melanjutkan studi di luar negeri juga dapat memperluas jejaring akademik di kancah internasional.
Tamasya intelektual yang digambarkan dalam buku ini berkisar tentang dunia intelektualisme. Dalam lingkaran modal intelektual, berbagai gagasan, ide, khazanah keilmuan dan pengetahuan, dapat tersituasikan secara sosial dan dibentuk oleh pandangan dunia melalui berbagai macam pemikiran. Akan tetapi, hal itu tidak akan berjalan mulus jika dihadapkan dengan berbagai tantangan.
Penulis buku ini berhasil memadukan perjalanan akademik pada satu sisi, dan pada sisi yang lain menyuguhkan gambaran kehidupan keagamaan di panggung internasional saat menjadi kelompok minoritas. Buku ini dengan jeli membedah ancaman yang dihadapi oleh para pelajar, termasuk ancaman radikalisme.
Menguatnya imigran Muslim di negara-negara Barat, termasuk Australia, menjadi ancaman bagi para pelajar yang hidup menjadi minoritas. Superioritas dan supremasi kulit putih kerapkali mewarnai kehidupan dan membawa pekerja pengetahuan dalam ancaman radikalisme dan rasisme fasis (hal. 194).
Yang menarik dari buku ini, penulis berhasil mengisahkan dengan detail tentang kehidupan sosial serta budaya di Australia, berikut dengan segala tantangannya. Penulis buku ini mengalami situasi yang tak menentu disaat tragedi kemanusiaan Christchurch di New Zealand, pada 15 Maret 2019. Tragedi itu memang menghentak dunia internasional akibat ulah dari seorang pemuda dengan menyerang umat Islam yang sedang salat Jumat.