Gunakan Keadilan Restoratif, Kejaksaan Agung Hentikan 1.334 Perkara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan telah melaksanakan penghentian sebanyak 1.334 penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Hal ini sebagai upaya menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi hukum yang bertumpu pada tujuan kemanfaatan.
“Sampai saat ini, Kejaksaan telah melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap 1.334 perkara tindak pidana umum dari total 1.454 permohonan,” ungkap Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam Webinar Diskusi Bersama Praktisi “Restorative Justice, Apakah Solutif?” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu,(16/07/2022).
Burhanuddin menyampaikan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dapat menjadi sebagai salah satu bentuk diskresi penuntutan oleh penuntut umum.
Ketentuan ini diharapkan dapat digunakan Jaksa untuk melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan asas kemanfaatan yang hendak dicapai.
"Artinya suatu perkara jika diajukan ke Pengadilan tidak hanya semata-mata berdasarkan pelanggaran aturan hukum yang berlaku, namun juga difokuskan pada kemanfaatannya bagi masyarakat," ujarnya.
Selanjutnya, Burhanuddin menyampaikan sebagai bentuk pelibatan unsur masyarakat dalam setiap upaya perdamaian dengan pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan pihak korban, Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain maka dibentuklah wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ.
“Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif,” tuturnya.
Diketahui, pemberlakuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan selektif, dengan beberapa syarat antara lain: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana,
tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000.
Selain itu, dalam penghentian penuntutan ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu kepentingan korban, penghindaran stigma negatif bagi pelaku, respons masyarakat dan kepatutan, serta ketertiban umum.
Lihat Juga: Siapa Hendry Lie yang Diringkus Kejagung di Soetta? Ini Profil, Kekayaan, dan Proses Hukumnya
“Sampai saat ini, Kejaksaan telah melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap 1.334 perkara tindak pidana umum dari total 1.454 permohonan,” ungkap Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam Webinar Diskusi Bersama Praktisi “Restorative Justice, Apakah Solutif?” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu,(16/07/2022).
Burhanuddin menyampaikan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dapat menjadi sebagai salah satu bentuk diskresi penuntutan oleh penuntut umum.
Ketentuan ini diharapkan dapat digunakan Jaksa untuk melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan asas kemanfaatan yang hendak dicapai.
"Artinya suatu perkara jika diajukan ke Pengadilan tidak hanya semata-mata berdasarkan pelanggaran aturan hukum yang berlaku, namun juga difokuskan pada kemanfaatannya bagi masyarakat," ujarnya.
Selanjutnya, Burhanuddin menyampaikan sebagai bentuk pelibatan unsur masyarakat dalam setiap upaya perdamaian dengan pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan pihak korban, Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain maka dibentuklah wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ.
“Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif,” tuturnya.
Diketahui, pemberlakuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan selektif, dengan beberapa syarat antara lain: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana,
tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000.
Selain itu, dalam penghentian penuntutan ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu kepentingan korban, penghindaran stigma negatif bagi pelaku, respons masyarakat dan kepatutan, serta ketertiban umum.
Lihat Juga: Siapa Hendry Lie yang Diringkus Kejagung di Soetta? Ini Profil, Kekayaan, dan Proses Hukumnya
(hab)