Dugaan Penyelewengan ACT, Perindo Nilai Perlu Ada Pembaruan Payung Hukum Lembaga Filantropi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Persatuan Indonesia (Perindo) kembali menggelar Podcast Aksi Nyata, #DariKamuUntukIndonesia. Kali ini, podcast yang tayang di YouTube Partai Perindo mengambil tema 'Dugaan Penyelewengan Dana Donasi ACT , Kok Bisa?'.
Hadir sebagai narasumber, Kepala Bidang Organisasi dan Kaderisasi DPP Partai Perindo, Yusuf Lakaseng. Dalam paparannya, terkait dugaan penyelewengan dana oleh ACT perlu ada perbaikan dalam dua hal.
Yang pertama, Yusuf menyebutkan kultur masyarakat Indonesia yang menginginkan menjadi kaya tanpa berkeringat. Mereka enggan berusaha dengan cara yang benar sehingga menghalalkan berbagai cara.
"ACT ini kalau melihat modusnya ini kan memperdagangkan konflik di Palestina, kemiskinan kaum duafa," ujar Yusuf dalam podcast tersebut, Kamis (7/7/2022).
"Oleh orang-orang yang seperti ACT ini melihat peluang pasar," sambungnya.
Kedua, Yusuf melanjutkan perlu ada pembaruan dalam payung hukum terkait lembaga filantropi. Menurutnya, dua peraturan yang terkait, yakni UU Nomor 9 Tahun 1961 dan PP Nomor 29 Tahun 1980 perlu ada pembaruan.
Dalam UU Nomor 9 Tahun 1961, menurut dia hanya mengatur terkait perizinan dan sanksinya cukup ringan. "Hanya mengatur soal perizinan, kalau misalnya lembaga itu wilayah kerjanya seluruh Indonesia maka yang ngeluarin izinnya Kemensos, kalau dia se-provinsi gubernur, kalau se-kabupaten cukup bupati/wali kota," jelasya.
"Sanksi hanya bagi yang menyelenggarakan tanpa izin lembaganya, sanksinya pun tahun 1961 kan, adalah tiga bulan kurungan dan denda Rp10 ribu," sambungnya.
Selanjutnya pada PP Nomor 29 Tahun 1980, ia menyebutkan belum adanya keterangan terkait sanksi bagi pelaku penyelewengan.
Lihat Juga: Jadi Ketua Bappilu, Ferry Kurnia Ajak Seluruh Kader Berjuang Raih Kemenangan Partai Perindo
Hadir sebagai narasumber, Kepala Bidang Organisasi dan Kaderisasi DPP Partai Perindo, Yusuf Lakaseng. Dalam paparannya, terkait dugaan penyelewengan dana oleh ACT perlu ada perbaikan dalam dua hal.
Yang pertama, Yusuf menyebutkan kultur masyarakat Indonesia yang menginginkan menjadi kaya tanpa berkeringat. Mereka enggan berusaha dengan cara yang benar sehingga menghalalkan berbagai cara.
"ACT ini kalau melihat modusnya ini kan memperdagangkan konflik di Palestina, kemiskinan kaum duafa," ujar Yusuf dalam podcast tersebut, Kamis (7/7/2022).
"Oleh orang-orang yang seperti ACT ini melihat peluang pasar," sambungnya.
Kedua, Yusuf melanjutkan perlu ada pembaruan dalam payung hukum terkait lembaga filantropi. Menurutnya, dua peraturan yang terkait, yakni UU Nomor 9 Tahun 1961 dan PP Nomor 29 Tahun 1980 perlu ada pembaruan.
Dalam UU Nomor 9 Tahun 1961, menurut dia hanya mengatur terkait perizinan dan sanksinya cukup ringan. "Hanya mengatur soal perizinan, kalau misalnya lembaga itu wilayah kerjanya seluruh Indonesia maka yang ngeluarin izinnya Kemensos, kalau dia se-provinsi gubernur, kalau se-kabupaten cukup bupati/wali kota," jelasya.
"Sanksi hanya bagi yang menyelenggarakan tanpa izin lembaganya, sanksinya pun tahun 1961 kan, adalah tiga bulan kurungan dan denda Rp10 ribu," sambungnya.
Selanjutnya pada PP Nomor 29 Tahun 1980, ia menyebutkan belum adanya keterangan terkait sanksi bagi pelaku penyelewengan.
Lihat Juga: Jadi Ketua Bappilu, Ferry Kurnia Ajak Seluruh Kader Berjuang Raih Kemenangan Partai Perindo
(kri)