Quo Vadis, Ekspor Benih Lobster
loading...
A
A
A
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
KELUARNYA Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No. 12/2020 yang mengenai pengelolaan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus spp.) wilayah Negara Republik Indonesia menandai terbukanya ekspor benih lobster. Permen ini otomatis menggugurkan Permen-KP No. 56/2016 yang melarang penangkapan dan ekspor benih lobster. Menariknya, ketentuan baru memberlakukan sistem kuota (pasal 3), dan penentuan harga beli terendah di tingkat nelayan (pasal 5) oleh KKP. Otomotis pemberlakuan kuota ini buat kepentingan eksportir saja. Bukan buat nelayan kecil. Ironisnya, belum lama aturan berlaku, pemerintah sudah merekomendasikan sembilan perusahaan eksportir lobster. Pertanyaannya, kapan mereka memanen berkelanjutan, membudidayakan dan melepasliarkan 2 persen? Apakah itu berdasarkan kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan? Ditambah penentuan harga terendah mengindikasikan pemerintah terkesan hendak berdagang sekaligus mencari rente ekonomi? Lalu eksportir wajib membudidayakan dalam konteks apa? Pembesaran ataukah pembenihan? Inilah soal-soal rancu pasca keluarnya permen ini.
Pemerintah mesti paham, hingga kini lobster masuk kategori plasma nutfah. Rilis Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP yang mengklaim jumlah telur lobster di perairan Indonesia 26,9 miliar per tahun dan larvanya 12,3 miliar per tahun patut dipertanyakan. Kapan dan dimana datanya diperoleh? Apakah menggunakan metode pendugaan stok, atau pengukuran tingkat kematangan gonad (TKG) pertama kali? Lalu apakah pengambilan samplingnya mewakili seluruh habitat lobster di perairan Indonesia? Jika hanya berdasarkan proxy, tidak bisa jadi rujukan pengambilan kebijakan.
KKP juga menyitir Peter Craven dan Cameron Parsons dari Institut Kelautan dan Studi Antartika (Institute for Marine and Antarctic Studies/IMAS) yang mengklaimsukses menetaskan lobster di hatchery. Pertanyaanya, sampai fase mana hasil penetasan itu bertahan hidup dan berapa persen yang mencapai fase baby lobster? Pasalnya, hingga kini belum ada yang berhasil mempertahankan hasil penetasan di hatchery hingga fase baby lobster (puerulus). Inilah masalahnya. Kalau negara yang sukses, mengapa Vietnam masih bergantung pasokan benih dari Indonesia? Mengapa juga Vietnam tidak bekerjasama saja dengan IMAS di Universitas Tasmania itu agar memproduksi benih dalam skala besar? Hemat penulis informasi itu perlu dikonfirmasi lagi keabsahannya secara ilmiah.
Siklus Hidup
Penelitian untuk membenihkan lobster sudah dilakukan berbagai pihak terutama kalangan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Kenyataannya belum ada yang berhasil membenihkannya hatchery hingga fase puerulus (baby lobster). Secara bioekologi, siklus hidup lobster dari sejak pertama matang gonad hingga menjadi baby lobster (puerulus) semuanya berlangsung di alam. Siklusnya adalah lobster dewasa (indukan betina), phyllosoma awal, phyllosoma, puerulus (baby lobster), juvenile dan lobster dewasa. Prosesnya membentuk siklus hidup alamiahnya secara berkelanjutan. Sebelum memasuki masa dewasa ia mesti melewati fase juvenile terlebih dahulu.
Secara keilmuan akuakultur, pembenihan adalah suatu tahapan kegiatan budidaya yang menentukan proses kehidupan berikutnya, yaitu pembesaran/pemeliharaan yang bertujuan menghasilkan benih. Benih tersebut sebagai komponen input dalam proses pembesaran (Effendi, 2004). Pembenihan ini lazimnya berlangsung di hatchery. Prosesnya ialah merekayasa fase-fase siklus hidup lobster lewat tehnik budidaya yang sistemik. Komponen yang direkayasa ialah habitat dan lingkungan perairan (biologi, fisika, dan kimia) hingga jenis pakan. Keberhasilan pembenihan bila mencapai fase puerulus (baby lobster) yang berwarna bening hingga juvenile. Kenyataannya pembenihan yang pernah dilakukan sejak menetas hanya bertahan hidup hingga fase phyllosoma dengan karapasnya kurang dari 2 milimeter, lalu mati semuanya. Kegagalan mencapai fase puerulus (baby lobster) yang berwarna bening inilah problem yang belum terpecahkan. Padahal bila sukses membenihkannya hingga baby lobster, tak masalah mengeekspornya. Penetasan 200.000 telur losbter yang pernah diuji di Situbondo, Jawa Timur ternyata bertahan hingga hari ke 45 hanya 760 ekor. Berarti tingkat survival rate (SR)-nya hanya 0,38 persen. Rendah dan tak layak secara ekonomi.
Permasalahan inilah mestinya dipecahkan dan dikerjakan KKP bersama perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Kini membutuhkan penelitian mendalam lewat rekayasa habitat dan kelayakan lingkungan hingga mencapai fase baby lobster dengan tingkat SR melebihi minimal 30 persen. Pembenihan lobster persisikan sidat. Hingga kini belum ada yang berhasil dan bergantung tangkapan alam. Karena itu, pemerintah melarang ekspor benih sidat lewat Permen-KP No. 18/2009. Jepang dan Israel yang unggul dalam pembenihan ikan belum sukses membenihkan sidat. Akibatnya, lobster (Pallunirus spp) dan ikan sidat (Anguilla spp) tetap dianggap plasma nutfah.
Potensi Lestari
Stok sumber daya lobster Indonesia berdasarkan Permen-KP No. 46/2016 pada 11 wilayah pengelolaan perikanan Indonesia Negara Republik Indonesia (WPPNRI) sebesar 8,804 ton per tahun. Penangkapan lobster dewasa yang diperbolehkan 7,044 ton per tahun supaya terjamin kelestariannya. Menariknya, sembilan WPPNRI lobster sudah mengalami tangkap lebih melampaui 100 persen. Terkecuali, Samudera Hindia (54 persen) dan Laut Banda (96 persen). Rata-rata tingkat pemanfaatannya sebelas WPPNRI mencapai 113 persen (KKP, 2016). Berarti, penangkapan sumber daya lobster Indonesia mengkhawatirkan. Bukankah membebaskan ekspor dan membiarkan penangkapan benih lobster di seluruh perairan Indonesia sama saja mempercepat kepunahannya? Esensi, Permen-KP No. 56/2016 sejatinya mencegah itu. Larangan penangkapan dan mengekspor baby lobster bukan saja Indonesia. India,Inggris, Australia, Kanada, Nikaragua, dan Hondurassudah sejak lama menerapkannya. Aturan mereka lebih ketat ketimbang Indonesia utamanya betina yang sedang bertelur.
Membebaskan ekspor Lobster dan penangkapan baby lobster di perairan Indonesia berpotensi mematikan usaha budidayanya di Indonesia semisal di Lombok Timur, sekaligus menghancurkan sumber daya plasma nutfahnya. Pasalnya, mereka membutuhkan lobster berukuran juvenile hingga 40 gram per ekor. Nantinya lobster ini dibesarkan dikeramba jaring apung hingga mencapai ukuran ekonomis. Tindakan pembebasan ekspor dan penangkapan benihnya sama artinya membiarkan perampasan ruang hidup dan sumber daya nya (ocean grabbing) di Indonesia demi kepentingan perburuan rente ekonomi (Bennet et al 2015). Perampasan ini berupa perubahan rezim alokasi sumber daya dan pemanfaatan sumber daya lobster. Selama ini alokasi dan pemanafaatan hasil tangkapan baby lobster diperuntukkan bagi kepentingan pembesaran dalam negeri. Berubah peruntukkannya menjadi kepentinngan ekspor yang memasok kebutuhahn pembudidayaan negara lain secara masif. Perubahan alokasi dan pemanfaatan juga dari hanya dilakukan oleh masyarakat lokal yang menangkap benih menjadi kepentingan bisnis korporasi yang berorientasi ekspor.
Bagaimana Semestinya?
Supaya sumber daya lobster tetap lestari di Indonesia maka pertama, pemerintah harus menggalakan kolaborasi riset dengan penguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Tujuannya, agar berhasil membenihkan di hatchery hingga fase puerulus (baby lobster) dengan tingkat SR minimal 30 persen. Lalu mensertifikasi dan menstandarisasi kualitasnya. Keberhasilan ini bakal mereduksi ketegantungan pasokan benih dari hasil tangkapan di alam. Imbasnya, keberlajutan siklus hidup tetap terjamin. Ekspor pun tak perlu lagi dipersoalkan. Prosesnya memang memerlukan waktu lama. Tapi, bila mengerjakannya secara konsisten dan tekun dengan dukungan anggaran dan teknologi budidaya memadai penulis yakin pasti sukses. Kasus ikan kerapu tikus (cromileptes altivelis) sebelum tahun 2000-an belum berhasil dibenihkan. Berkat dukungan riset dan kerja yang telaten, beberapa tahun kemudian pembenihannya berhasil. Tak lagi mengandalkan penangkapan di alam.
Kedua, pemerintah mestinya memprioritaskan pembesaran, dan ketimbang mengekspor benih alam sebelum sukses membenihkannya. Pasalnya tindakan ini, memicu tragedy of common sumber daya lobster di Indonesia. Sekarang saja tingkat eksploitasi lobster dewasa melampaui 100 persen. Bukankan jika benihnya tangkap lagi deplesi sumber dayanya kian merosot? Tak menutup kemungkinan dalam kurun waktu tertentu status lobster di Indonesia masuk kategori CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Indonesia meratifikasinya lewat Keputusan Pemerintah No. 43/1978. Pun, ekspor benih lobster berpotensi memicu ancaman krisis pasokan benih dari alam. Bukankah pada gilirannya mengancam keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pembudidaya lobster?
Ketiga, pemerintah bersama aparat keamanan mestinya memprioritaskan pemberantasan mafia lobster yang menyelundupkan ke Vietnam dan Singapura sebagai bentuk illegal dan unreported fishing. Mereka inilah biang kerok merugikan negara dan mempercepat deplesi sumber daya lobster. Apalagi, dibelakangnya di becking dan didukung oknum pemburu rente yang meraup keuntungan dari bisnis ilegal ini.
Melarang ekspor benih lobster bukanlah kebijakan keliru. Negara tak bakal kehilangan devisa. Lobster dewasa pun diekspor dengan harga kompetitif di pasar internasional. Di sisi lain, aktivitas budidaya-pembesaran tetap bergairah. Imbasnya, lapangan kerja tersedia dan menciptakan sumber penghidupan (pendapatan) bagi pembudidanya. Bukankah keluarnya Permen-KP No. 12/2020 jadi langkah mundur bagi pemerintah? Quo vadis!
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
KELUARNYA Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No. 12/2020 yang mengenai pengelolaan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus spp.) wilayah Negara Republik Indonesia menandai terbukanya ekspor benih lobster. Permen ini otomatis menggugurkan Permen-KP No. 56/2016 yang melarang penangkapan dan ekspor benih lobster. Menariknya, ketentuan baru memberlakukan sistem kuota (pasal 3), dan penentuan harga beli terendah di tingkat nelayan (pasal 5) oleh KKP. Otomotis pemberlakuan kuota ini buat kepentingan eksportir saja. Bukan buat nelayan kecil. Ironisnya, belum lama aturan berlaku, pemerintah sudah merekomendasikan sembilan perusahaan eksportir lobster. Pertanyaannya, kapan mereka memanen berkelanjutan, membudidayakan dan melepasliarkan 2 persen? Apakah itu berdasarkan kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan? Ditambah penentuan harga terendah mengindikasikan pemerintah terkesan hendak berdagang sekaligus mencari rente ekonomi? Lalu eksportir wajib membudidayakan dalam konteks apa? Pembesaran ataukah pembenihan? Inilah soal-soal rancu pasca keluarnya permen ini.
Pemerintah mesti paham, hingga kini lobster masuk kategori plasma nutfah. Rilis Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP yang mengklaim jumlah telur lobster di perairan Indonesia 26,9 miliar per tahun dan larvanya 12,3 miliar per tahun patut dipertanyakan. Kapan dan dimana datanya diperoleh? Apakah menggunakan metode pendugaan stok, atau pengukuran tingkat kematangan gonad (TKG) pertama kali? Lalu apakah pengambilan samplingnya mewakili seluruh habitat lobster di perairan Indonesia? Jika hanya berdasarkan proxy, tidak bisa jadi rujukan pengambilan kebijakan.
KKP juga menyitir Peter Craven dan Cameron Parsons dari Institut Kelautan dan Studi Antartika (Institute for Marine and Antarctic Studies/IMAS) yang mengklaimsukses menetaskan lobster di hatchery. Pertanyaanya, sampai fase mana hasil penetasan itu bertahan hidup dan berapa persen yang mencapai fase baby lobster? Pasalnya, hingga kini belum ada yang berhasil mempertahankan hasil penetasan di hatchery hingga fase baby lobster (puerulus). Inilah masalahnya. Kalau negara yang sukses, mengapa Vietnam masih bergantung pasokan benih dari Indonesia? Mengapa juga Vietnam tidak bekerjasama saja dengan IMAS di Universitas Tasmania itu agar memproduksi benih dalam skala besar? Hemat penulis informasi itu perlu dikonfirmasi lagi keabsahannya secara ilmiah.
Siklus Hidup
Penelitian untuk membenihkan lobster sudah dilakukan berbagai pihak terutama kalangan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Kenyataannya belum ada yang berhasil membenihkannya hatchery hingga fase puerulus (baby lobster). Secara bioekologi, siklus hidup lobster dari sejak pertama matang gonad hingga menjadi baby lobster (puerulus) semuanya berlangsung di alam. Siklusnya adalah lobster dewasa (indukan betina), phyllosoma awal, phyllosoma, puerulus (baby lobster), juvenile dan lobster dewasa. Prosesnya membentuk siklus hidup alamiahnya secara berkelanjutan. Sebelum memasuki masa dewasa ia mesti melewati fase juvenile terlebih dahulu.
Secara keilmuan akuakultur, pembenihan adalah suatu tahapan kegiatan budidaya yang menentukan proses kehidupan berikutnya, yaitu pembesaran/pemeliharaan yang bertujuan menghasilkan benih. Benih tersebut sebagai komponen input dalam proses pembesaran (Effendi, 2004). Pembenihan ini lazimnya berlangsung di hatchery. Prosesnya ialah merekayasa fase-fase siklus hidup lobster lewat tehnik budidaya yang sistemik. Komponen yang direkayasa ialah habitat dan lingkungan perairan (biologi, fisika, dan kimia) hingga jenis pakan. Keberhasilan pembenihan bila mencapai fase puerulus (baby lobster) yang berwarna bening hingga juvenile. Kenyataannya pembenihan yang pernah dilakukan sejak menetas hanya bertahan hidup hingga fase phyllosoma dengan karapasnya kurang dari 2 milimeter, lalu mati semuanya. Kegagalan mencapai fase puerulus (baby lobster) yang berwarna bening inilah problem yang belum terpecahkan. Padahal bila sukses membenihkannya hingga baby lobster, tak masalah mengeekspornya. Penetasan 200.000 telur losbter yang pernah diuji di Situbondo, Jawa Timur ternyata bertahan hingga hari ke 45 hanya 760 ekor. Berarti tingkat survival rate (SR)-nya hanya 0,38 persen. Rendah dan tak layak secara ekonomi.
Permasalahan inilah mestinya dipecahkan dan dikerjakan KKP bersama perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Kini membutuhkan penelitian mendalam lewat rekayasa habitat dan kelayakan lingkungan hingga mencapai fase baby lobster dengan tingkat SR melebihi minimal 30 persen. Pembenihan lobster persisikan sidat. Hingga kini belum ada yang berhasil dan bergantung tangkapan alam. Karena itu, pemerintah melarang ekspor benih sidat lewat Permen-KP No. 18/2009. Jepang dan Israel yang unggul dalam pembenihan ikan belum sukses membenihkan sidat. Akibatnya, lobster (Pallunirus spp) dan ikan sidat (Anguilla spp) tetap dianggap plasma nutfah.
Potensi Lestari
Stok sumber daya lobster Indonesia berdasarkan Permen-KP No. 46/2016 pada 11 wilayah pengelolaan perikanan Indonesia Negara Republik Indonesia (WPPNRI) sebesar 8,804 ton per tahun. Penangkapan lobster dewasa yang diperbolehkan 7,044 ton per tahun supaya terjamin kelestariannya. Menariknya, sembilan WPPNRI lobster sudah mengalami tangkap lebih melampaui 100 persen. Terkecuali, Samudera Hindia (54 persen) dan Laut Banda (96 persen). Rata-rata tingkat pemanfaatannya sebelas WPPNRI mencapai 113 persen (KKP, 2016). Berarti, penangkapan sumber daya lobster Indonesia mengkhawatirkan. Bukankah membebaskan ekspor dan membiarkan penangkapan benih lobster di seluruh perairan Indonesia sama saja mempercepat kepunahannya? Esensi, Permen-KP No. 56/2016 sejatinya mencegah itu. Larangan penangkapan dan mengekspor baby lobster bukan saja Indonesia. India,Inggris, Australia, Kanada, Nikaragua, dan Hondurassudah sejak lama menerapkannya. Aturan mereka lebih ketat ketimbang Indonesia utamanya betina yang sedang bertelur.
Membebaskan ekspor Lobster dan penangkapan baby lobster di perairan Indonesia berpotensi mematikan usaha budidayanya di Indonesia semisal di Lombok Timur, sekaligus menghancurkan sumber daya plasma nutfahnya. Pasalnya, mereka membutuhkan lobster berukuran juvenile hingga 40 gram per ekor. Nantinya lobster ini dibesarkan dikeramba jaring apung hingga mencapai ukuran ekonomis. Tindakan pembebasan ekspor dan penangkapan benihnya sama artinya membiarkan perampasan ruang hidup dan sumber daya nya (ocean grabbing) di Indonesia demi kepentingan perburuan rente ekonomi (Bennet et al 2015). Perampasan ini berupa perubahan rezim alokasi sumber daya dan pemanfaatan sumber daya lobster. Selama ini alokasi dan pemanafaatan hasil tangkapan baby lobster diperuntukkan bagi kepentingan pembesaran dalam negeri. Berubah peruntukkannya menjadi kepentinngan ekspor yang memasok kebutuhahn pembudidayaan negara lain secara masif. Perubahan alokasi dan pemanfaatan juga dari hanya dilakukan oleh masyarakat lokal yang menangkap benih menjadi kepentingan bisnis korporasi yang berorientasi ekspor.
Bagaimana Semestinya?
Supaya sumber daya lobster tetap lestari di Indonesia maka pertama, pemerintah harus menggalakan kolaborasi riset dengan penguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Tujuannya, agar berhasil membenihkan di hatchery hingga fase puerulus (baby lobster) dengan tingkat SR minimal 30 persen. Lalu mensertifikasi dan menstandarisasi kualitasnya. Keberhasilan ini bakal mereduksi ketegantungan pasokan benih dari hasil tangkapan di alam. Imbasnya, keberlajutan siklus hidup tetap terjamin. Ekspor pun tak perlu lagi dipersoalkan. Prosesnya memang memerlukan waktu lama. Tapi, bila mengerjakannya secara konsisten dan tekun dengan dukungan anggaran dan teknologi budidaya memadai penulis yakin pasti sukses. Kasus ikan kerapu tikus (cromileptes altivelis) sebelum tahun 2000-an belum berhasil dibenihkan. Berkat dukungan riset dan kerja yang telaten, beberapa tahun kemudian pembenihannya berhasil. Tak lagi mengandalkan penangkapan di alam.
Kedua, pemerintah mestinya memprioritaskan pembesaran, dan ketimbang mengekspor benih alam sebelum sukses membenihkannya. Pasalnya tindakan ini, memicu tragedy of common sumber daya lobster di Indonesia. Sekarang saja tingkat eksploitasi lobster dewasa melampaui 100 persen. Bukankan jika benihnya tangkap lagi deplesi sumber dayanya kian merosot? Tak menutup kemungkinan dalam kurun waktu tertentu status lobster di Indonesia masuk kategori CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Indonesia meratifikasinya lewat Keputusan Pemerintah No. 43/1978. Pun, ekspor benih lobster berpotensi memicu ancaman krisis pasokan benih dari alam. Bukankah pada gilirannya mengancam keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pembudidaya lobster?
Ketiga, pemerintah bersama aparat keamanan mestinya memprioritaskan pemberantasan mafia lobster yang menyelundupkan ke Vietnam dan Singapura sebagai bentuk illegal dan unreported fishing. Mereka inilah biang kerok merugikan negara dan mempercepat deplesi sumber daya lobster. Apalagi, dibelakangnya di becking dan didukung oknum pemburu rente yang meraup keuntungan dari bisnis ilegal ini.
Melarang ekspor benih lobster bukanlah kebijakan keliru. Negara tak bakal kehilangan devisa. Lobster dewasa pun diekspor dengan harga kompetitif di pasar internasional. Di sisi lain, aktivitas budidaya-pembesaran tetap bergairah. Imbasnya, lapangan kerja tersedia dan menciptakan sumber penghidupan (pendapatan) bagi pembudidanya. Bukankah keluarnya Permen-KP No. 12/2020 jadi langkah mundur bagi pemerintah? Quo vadis!
(ras)