Strategi Akselerasi dan Keharusan Protokol Kesehatan
loading...
A
A
A
Akselerasi Terkontrol
Perjalanan pandemi mengajarkan prinsip krusial: setiap penatalaksanaan mesti menyeimbangkan aspek kesehatan dan aspek lain, terutama ekonomi. Harus ada keseimbangan dinamis antarsektor. Prioritas berlebihan sektor kesehatan, termasuk melakukan restriksi berlebihan, jelas mendestruksi sektor ekonomi. Malaysia, Selandia Baru, dan Vietnam adalah contoh negara yang sempat melakukan restriksi sangat ketat, termasuk berkali-kali lockdown. Akibatnya, aspek ekonomi negara-negara ini sempat terpuruk. Faktanya, hingga saat ini profil epidemiologis negara-negara ini masih berfluktuasi. Belum ada eliminasi konstan. Artinya, tidak ada jaminan bahwa restriksi maksimal bisa mengontrol pandemi.
Sebagian ahli sepakat bahwa metode penanggulangan terbaik saat ini adalah tarik-ulur. Restriksi diperketat bila profil epidemiologi memburuk dan diperlunak bila profil membaik. Penatalaksanaan ini menyeimbangkan iklim ekonomi dengan kesehatan.
Di Indonesia pasca-Omicron tampak pemerintah mulai mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan. Berbagai kegiatan internasional digelar, termasuk ajang di Mandalika dan Formula E. Demikian pula relaksasi Idulfitri, protokol bepergian dan pariwisata. Bukan hanya mengaktifkan, pemerintah tampak menggerakkan dan mengakselerasi maksimal. Mereka ingin menggerakkan roda ekonomi yang mengalami stagnasi signifikan selama pandemi.
Bermodal iklim positif yang ada saat ini, upaya pemerintah mengaktifkan dan mengakselerasi gerbong-gerbong kehidupan dapat dipahami. Memang tidak perlu menunggu jumlah kasus dan kematian menjadi sangat rendah untuk kembali bergeliat karena kondisi ini membutuhkan waktu lama. Meski demikian, upaya pengaktifan dan akselerasi ini mesti bersifat akselerasi terkontrol; bukan akselerasi ugal-ugalan.
Artinya, di satu sisi dilakukan pengaktifan intens, di sisi lain dilakukan proteksi terhadap potensi sekuel pandemi. Meski melakukan akselerasi, selayaknya protokol kesehatan standar tidak dilepas semua. Apalagi protokol yang sudah terbukti baik dan telah dipraktikkan oleh masyarakat. Kebiasaan menggunakan masker dan mencuci tangan sebaiknya tidak diutak-atik, apalagi memberikan himbauan melepas masker atau menghentikan cuci tangan. Masyarakat sudah terbiasa melakukan perilaku positif yang ditelurkan oleh pandemi ini. Biarkan masyarakat terus membudayakan perilaku ini secara konsisten. Perilaku ini bermanfaat bukan hanya untuk Covid-19 tetapi juga untuk berbagai penyakit lainnya. Ada atau tidaknya Covid-19, kebiasaan ini amat diperlukan.
Juga perlu terus gaungkan perlunya vaksinasi. Jangan karena akselerasi kegiatan, program vaksinasi ditinggalkan. Vaksinasi adalah backbone penanganan yang urgensinya sangat krusial. Jadi ketiga elemen (menggunakan masker, mencuci tangan dan vaksinasi) mesti menjadi fixed price. Dalam fixed price, tidak ada tawar-menawar apalagi diskon.
Baca Juga: koran-sindo.com
Perjalanan pandemi mengajarkan prinsip krusial: setiap penatalaksanaan mesti menyeimbangkan aspek kesehatan dan aspek lain, terutama ekonomi. Harus ada keseimbangan dinamis antarsektor. Prioritas berlebihan sektor kesehatan, termasuk melakukan restriksi berlebihan, jelas mendestruksi sektor ekonomi. Malaysia, Selandia Baru, dan Vietnam adalah contoh negara yang sempat melakukan restriksi sangat ketat, termasuk berkali-kali lockdown. Akibatnya, aspek ekonomi negara-negara ini sempat terpuruk. Faktanya, hingga saat ini profil epidemiologis negara-negara ini masih berfluktuasi. Belum ada eliminasi konstan. Artinya, tidak ada jaminan bahwa restriksi maksimal bisa mengontrol pandemi.
Sebagian ahli sepakat bahwa metode penanggulangan terbaik saat ini adalah tarik-ulur. Restriksi diperketat bila profil epidemiologi memburuk dan diperlunak bila profil membaik. Penatalaksanaan ini menyeimbangkan iklim ekonomi dengan kesehatan.
Di Indonesia pasca-Omicron tampak pemerintah mulai mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan. Berbagai kegiatan internasional digelar, termasuk ajang di Mandalika dan Formula E. Demikian pula relaksasi Idulfitri, protokol bepergian dan pariwisata. Bukan hanya mengaktifkan, pemerintah tampak menggerakkan dan mengakselerasi maksimal. Mereka ingin menggerakkan roda ekonomi yang mengalami stagnasi signifikan selama pandemi.
Bermodal iklim positif yang ada saat ini, upaya pemerintah mengaktifkan dan mengakselerasi gerbong-gerbong kehidupan dapat dipahami. Memang tidak perlu menunggu jumlah kasus dan kematian menjadi sangat rendah untuk kembali bergeliat karena kondisi ini membutuhkan waktu lama. Meski demikian, upaya pengaktifan dan akselerasi ini mesti bersifat akselerasi terkontrol; bukan akselerasi ugal-ugalan.
Artinya, di satu sisi dilakukan pengaktifan intens, di sisi lain dilakukan proteksi terhadap potensi sekuel pandemi. Meski melakukan akselerasi, selayaknya protokol kesehatan standar tidak dilepas semua. Apalagi protokol yang sudah terbukti baik dan telah dipraktikkan oleh masyarakat. Kebiasaan menggunakan masker dan mencuci tangan sebaiknya tidak diutak-atik, apalagi memberikan himbauan melepas masker atau menghentikan cuci tangan. Masyarakat sudah terbiasa melakukan perilaku positif yang ditelurkan oleh pandemi ini. Biarkan masyarakat terus membudayakan perilaku ini secara konsisten. Perilaku ini bermanfaat bukan hanya untuk Covid-19 tetapi juga untuk berbagai penyakit lainnya. Ada atau tidaknya Covid-19, kebiasaan ini amat diperlukan.
Juga perlu terus gaungkan perlunya vaksinasi. Jangan karena akselerasi kegiatan, program vaksinasi ditinggalkan. Vaksinasi adalah backbone penanganan yang urgensinya sangat krusial. Jadi ketiga elemen (menggunakan masker, mencuci tangan dan vaksinasi) mesti menjadi fixed price. Dalam fixed price, tidak ada tawar-menawar apalagi diskon.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)