Pendapat Yusril soal Kasus Penangkapan Aktivis Ravio Patra

Minggu, 26 April 2020 - 13:51 WIB
loading...
Pendapat Yusril soal Kasus Penangkapan Aktivis Ravio Patra
Pakar hukum tanta negara, Yusril Ihza Mahendra. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penangkapan aktivis sekaligus peneliti kebijakan publik Ravio Patra terus menuai polemik. Kasus ini bermula dari dugaan Ravio mengirimkan pesan berantai bernada hasutan.

Ravio sempat ditahan di Polda Metro Jaya. Kepada polisi, Ravio mengatakan telepon genggamnya telah diretas orang tidak dikenal.

Pada Jumat 24 April 2020, dia dibebaskan dengan status sebagai saksi. Sementara, laptop, ponsel dan KTP miliknya ditahan sebagai alat bukti polisi. Kasus ini pun masih dalam penyelidikan.

Pakar Hukum Yusril Ihza Mahendra menilai, polisi berwenang mengambil langkah preventif jika di media sosial beredar hasutan kepada publik untuk melakukan kerusuhan dan penjarahan.

“Andai kasus itu terjadi pada saya, pesan berisi hasutan menyebar dan hasil analisis polisi bahwa pesan itu berasal dari HP yang terdaftar atas nama saya, saya anggap wajar saja jika polisi mencari saya,” kata Yusril dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews, Minggu (26/4/2020).

Jika tidak merasa bersalah, siapa pun sebagai warga negara yang baik harus bersikap koperatif dengan aparat penegak hukum. Kemudian, beri penjelasan tidak pernah menulis pesan berantai yang bersifat menghasut itu.

“Minta polisi selidiki karena saya berkeyakinan seseorang telah meretas HP saya,” tutur pakar hukum tata negara ini.

Dalam konteks penyelidikan, kata dia, polisi berwenang untuk memanggil bersangkutan guna dimintai keterangan lebih dahulu. Jika polisi sudah punya bukti pendahuluan, bisa saja polisi memanggil sebagai saksi lebih dulu untuk didengar keterangannya.

Pemanggilan harus menggunakan surat. Setelah dipanggil dengan cara patut tetapi pihak yang dipanggil tidak datang maka polisi bisa memanggil paksa dengan dibekali surat penangkapan.

“Kalau saya ngeyel, polisi wajib menunjukkan surat perintah penangkapan kepada saya. Jadi prosedur itu harus kita pahami dan wajib dilaksanakan oleh polisi sebagai penegak hukum,” kata mantan Menteri Kehakiman dan HAM ini.

Namun, lanjut Yusril, prosedur tersebut terkadang kalah cepat dengan waktu. Pesan berantai berisi hasutan melakukan kerusuhan misalnya akan dilaksanakan tiga hari lagi. Pesan itu sudah meluas dan meresahkan.

Kalau polisi mengikuti prosedur normal melalui pemanggilan melalui surat, maka waktu tidak cukup lagi. Jika dibiarkan pesan itu terus beredar, pelakunya bebas berkeliaran, dan kerusuhan tersebut benar terjadi, maka polisi juga yang disalahkan publik lantaran tidak bertindak cepat dan antisipatif untuk nencegah.

“Polisi memang dilematis,” ujar dia.( )

Menurutn dia, Unit Cyber Crime Mabes Poliri juga akan segera dapat mengetahui bahwa ponsel tersebut diretas atau tidak. Kalau memang ternyata diretas, maka polisi bisa mempersilakan terduga untuk pulang.

“Bagus juga jika saat itu polisi dan saya mengadakan konferensi pers dan memberitahu publik bahwa pesan yang berisi hasutan itu bukan dari saya, dan HP saya terbukti diretas. Polisi juga sekaligus mengingatkan publik agar jangan terpengaruh dengan pesan yang berisi hasutan itu,” tuturnya. (Baca Juga: Polri: Dari 38 Ribu Napi Dapat Asimilasi, Cuma 39 Orang yang Berulah)

Yusril menegaskan, penegakan hukum harus fair, jujur dan adil. Selain itu, warga negara harus menghormati kewenangan polisi sebagai penegak hukum. Begitu juga polisi wajib menghormati setiap warga negara, meskipun mereka memiliki kecurigaan terhadap seseorang.

“Kalau hukum ditegakkan dengan cara yang benar dan warga negara juga menghormati proses penegakan hukum maka insya Allah akan selamatlah negara kita di tengah kr
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1710 seconds (0.1#10.140)