3 Ajudan Soeharto yang Kariernya Meroket hingga Menjadi Kapolri
loading...
A
A
A
Dikutip dari buku "Pak Harto The Untold Stories", Dibyo Widodo mengatakan belajar banyak dari Soeharto, terutama cara memimpin. Dia juga menyebut tidak pernah melihat Soeharto marah.
Setelah menjadi ajudan Soeharto, Dibyo menjadi Wakapolda Nusa Tenggara, Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya, dan kemudian Kapolri.
Jenderal Polisi Dibyo Widodo menjadi Kapolri sejak 15 Maret 1996 hingga 28 Juni 1998. Posisinya digantikan oleh Jenderal Polisi Roesmanhadi.
Dibyo Widodo meninggal di Singapura pada 15 Maret 2012. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMPNU) Kalibata.
3. Sutanto
Sutanto lahir di Comal, Pemalang, Jawa Tengah. Sutanto menempuh pendidikan Akademi Kepolisian (Akpol) selepas mengenyam pendidikan sekolah menengah. Dia lulus pada 1973 dengan menyandang gelar mentereng sebagai lulusan terbaik atau disebut Adhi Makayasa.
Bintang Sutanto di kepolisian bersinar terang. Mengawali karier sebagai Pamapta di jajaran Polda Metro Jaya, seiring berjalannya waktu dia dipromosikan sebagai Kapolsek Kebayoran Lama, Kapolsek Kebayoran Baru, Kapolres Sumenep, dan Kapolres Sidoarjo.
Setelah memimpin teritorial, Sutanto ditarik ke Mabes Polri sebagai Paban Asrena Polri (1994-1995). Polisi kelahiran 30 September ini selanjutnya diutus ke Istana, menjadi ajudan Presiden Soeharto pada 1995-1998.
Sutanto menjadi saksi bagaimana Soeharto menghadapi hari-hari akhir sebagai orang nomor satu di negeri ini. Menurut Sutanto dalam buku "Pak Harto The Untold Stories", Pak Harto dengan rasional lebih mengedepankan aspirasi rakyat, menjunjung tinggi demokrasi, dan menghormati hukum.
Selepas menjadi ajudan Soeharto, karier Sutanto terus melejit. Dia tercatat dipercaya sebagai Wakapolda Metro Jaya. Setelah itu dipromosikan sebagai Kapolda Sumatera Utara. Kepemimpinan Sutanto di Sumut mengukir catatan tersendiri. Di masanya itulah perang melawan perjudian dilakukan habis-habisan.