Sosok KH Azhar Basyir, ‘Kiai Terakhir’ Muhammadiyah Putra Santri Pendiri NU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Satu dari sedikit tokoh Muhammadiyah yang mendapat sebutan atau panggilan kiai dari masyarakat adalah KH Ahmad Azhar Basyir. Dia merupakan ketua umum PP Muhammadiyah ke-11 yang menjabat pada 1990-1995.
Boleh dibilang Azhar Basyir adalah ”kiai terakhir” yang memimpin PP Muhammadiyah sejak didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912. Disebut terakhir karena ketua PP Muhammadiyah setelah Azhar Basyir lebih menonjol dengan rentetan gelar akademik.
Dikutip dari muhammadiyah.or.id, Ahmad Azhar Basyir lahir di Karangkajen, Yogyakarta pada 21 November 1928. Ayahnya, Muhammad Basyir adalah murid atau santri KH Hasyim Asy’ari, tokoh besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Secara khusus KH Hasyim Asyari mengutus Basyir untuk membantu KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Dari situlah Basyir berkenalan dengan pemikiran KH Ahmad Dahlan dan organisasi Muhammadiyah. Basyir pun melaksanakan tugas membantu KH Ahmad Dahlan sepanjang umurnya.
Ini pula yang membuat Azhar Basyir memulai pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Dari Sekolah Rendah Muhammadiyah Suronatan, Yogyakarta, Azhar Basyir lantas nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun berselang, Azhar Basyir berpindah ke Madrasah Al-Fallah Kauman dan menyelesaikan pendidikan tingkat menengah pertamanya pada 1944.
Pendidikan lanjutan ditempuh Azhar Basyir di Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta yang diselesaikan dalam dua tahun. Sempat bergabung dengan kesatuan TNI Hizbullah pada masa revolusi, Azhar Basyir kembali melanjutkan pendidikan di Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta tahun 1949. Tamat tahun 1952, Azhar Basyir melanjutkan ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta.
Di masa inlah, Azhar Basyir menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah pertama ketika didirikan tahun 1954. Dua tahun berselang, posisinya sebagai ketua dikukuhkan kembali pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang tahun 1956.
Azhar Basyir lalu mendapat beasiswa di Universitas Baghdad, Irak. Dia mengambil Jurusan Sastra Fakultas Adab lalu melanjutkan studinya ke Fakultas Dar Al ‘Ulum Universitas Kairo, serta belajar Islamic Studies sampai meraih gelar master. Tesisnya berjudul Sistem Warisan di Indonesia, antara Hukum Adat dan Hukum Islam. Selama masa studinya di Irak dan Mesir, Azhar Basyir diangkat menjdi dosen di Universitas Gadjah Mada.
Foto/ist
Di Muhammadiyah, karier Azhar Basyir dimulai sebagai juru tulis. Dia baru masuk jajaran Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai 1985. Azhar Basyir menggantikan KH AR Fachruddin sebagai ketua umum PP Muhammadiyah pada Muktamar Ke-42 pada 1990.
Kepemimpinan Azhar Basyir disebut menandai era baru Muhammadiyah. Masa kepemimpinan Azhar Basyir disebut sebagai era transformasi kepemimpinan ulama menuju kepemimpinan intelektual. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah banyak bergerak lebih aktif dan dinamis.
Ini sesuai dengan etos atau semangat yang ditekankan Azhar Basyir sendiri. Menurut dia, Muhammadiyah juga menganut tasawuf, sebagaimana yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan zikir.
Tak heran bila Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Azhar Basyir intens memunculkan kajian mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman.
Pemimpin Sederhana
Seperti kebanyakan pemimpin Muhammadiyah, Azhar Basyir juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan bersahaja. Dia tak ingin posisi tingginya merepotkan banyak orang dan membuat bengkak anggaran.
Dikisahkan dalam buku Anekdot Tokoh-Tokoh Muhammdiyah (Nur Cholis Huda, 2012) yang dikutip dari laman pwmu.co, suatu ketika Azhar Basyir menghadiri acara salah satu Ranting di Panceng, Gresik, sekitar 50 kilometer dari Surabaya. Acara ternyata baru selesai leps tengah malam.
Panitia pun mengantar Azhar Basyir kembali ke Surabaya dan diinapkan di sebuah hotel di tengah kota. Tetapi sesampainya di hotel, Azhar Basyir bertanya.
“Mengapa saya diinapkan di hotel? Apa sekarang sudah tidak ada warga Muhammadiyah yang rumahnya bersedia diinapi ketua PP,” tanya Azhar Basyir tersenyum.
Setelah dijawab bahwa niat panitia hanya menyediakan tempat istirahat yang nyaman dan bebas, Azhar Basyir kembali tersenyum.
“Kalau Ranting harus mengeluarkan biaya besar tiap kali pengajian, bisa mati pengajian di Ranting. Padahal, itu penting sekali. Pengajian di Ranting itu salah satu nafas kehidupan Persyarikatan,” katanya.
28 Juni 1994, Kiai Azhar Basyir wafat pada usia 66 tahun setelah dirawat di RSUP dr. Sarjito, Yogyakarta karena mengalami radang usus, gula, komplikasi jantung. Dia Dimakamkan di pemakaman umum Karangkajen, Yogyakarta.
Boleh dibilang Azhar Basyir adalah ”kiai terakhir” yang memimpin PP Muhammadiyah sejak didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912. Disebut terakhir karena ketua PP Muhammadiyah setelah Azhar Basyir lebih menonjol dengan rentetan gelar akademik.
Dikutip dari muhammadiyah.or.id, Ahmad Azhar Basyir lahir di Karangkajen, Yogyakarta pada 21 November 1928. Ayahnya, Muhammad Basyir adalah murid atau santri KH Hasyim Asy’ari, tokoh besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Secara khusus KH Hasyim Asyari mengutus Basyir untuk membantu KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Dari situlah Basyir berkenalan dengan pemikiran KH Ahmad Dahlan dan organisasi Muhammadiyah. Basyir pun melaksanakan tugas membantu KH Ahmad Dahlan sepanjang umurnya.
Ini pula yang membuat Azhar Basyir memulai pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Dari Sekolah Rendah Muhammadiyah Suronatan, Yogyakarta, Azhar Basyir lantas nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun berselang, Azhar Basyir berpindah ke Madrasah Al-Fallah Kauman dan menyelesaikan pendidikan tingkat menengah pertamanya pada 1944.
Pendidikan lanjutan ditempuh Azhar Basyir di Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta yang diselesaikan dalam dua tahun. Sempat bergabung dengan kesatuan TNI Hizbullah pada masa revolusi, Azhar Basyir kembali melanjutkan pendidikan di Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta tahun 1949. Tamat tahun 1952, Azhar Basyir melanjutkan ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta.
Di masa inlah, Azhar Basyir menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah pertama ketika didirikan tahun 1954. Dua tahun berselang, posisinya sebagai ketua dikukuhkan kembali pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang tahun 1956.
Azhar Basyir lalu mendapat beasiswa di Universitas Baghdad, Irak. Dia mengambil Jurusan Sastra Fakultas Adab lalu melanjutkan studinya ke Fakultas Dar Al ‘Ulum Universitas Kairo, serta belajar Islamic Studies sampai meraih gelar master. Tesisnya berjudul Sistem Warisan di Indonesia, antara Hukum Adat dan Hukum Islam. Selama masa studinya di Irak dan Mesir, Azhar Basyir diangkat menjdi dosen di Universitas Gadjah Mada.
Foto/ist
Di Muhammadiyah, karier Azhar Basyir dimulai sebagai juru tulis. Dia baru masuk jajaran Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai 1985. Azhar Basyir menggantikan KH AR Fachruddin sebagai ketua umum PP Muhammadiyah pada Muktamar Ke-42 pada 1990.
Kepemimpinan Azhar Basyir disebut menandai era baru Muhammadiyah. Masa kepemimpinan Azhar Basyir disebut sebagai era transformasi kepemimpinan ulama menuju kepemimpinan intelektual. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah banyak bergerak lebih aktif dan dinamis.
Ini sesuai dengan etos atau semangat yang ditekankan Azhar Basyir sendiri. Menurut dia, Muhammadiyah juga menganut tasawuf, sebagaimana yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan zikir.
Tak heran bila Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Azhar Basyir intens memunculkan kajian mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman.
Pemimpin Sederhana
Seperti kebanyakan pemimpin Muhammadiyah, Azhar Basyir juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan bersahaja. Dia tak ingin posisi tingginya merepotkan banyak orang dan membuat bengkak anggaran.
Dikisahkan dalam buku Anekdot Tokoh-Tokoh Muhammdiyah (Nur Cholis Huda, 2012) yang dikutip dari laman pwmu.co, suatu ketika Azhar Basyir menghadiri acara salah satu Ranting di Panceng, Gresik, sekitar 50 kilometer dari Surabaya. Acara ternyata baru selesai leps tengah malam.
Panitia pun mengantar Azhar Basyir kembali ke Surabaya dan diinapkan di sebuah hotel di tengah kota. Tetapi sesampainya di hotel, Azhar Basyir bertanya.
Baca Juga
“Mengapa saya diinapkan di hotel? Apa sekarang sudah tidak ada warga Muhammadiyah yang rumahnya bersedia diinapi ketua PP,” tanya Azhar Basyir tersenyum.
Setelah dijawab bahwa niat panitia hanya menyediakan tempat istirahat yang nyaman dan bebas, Azhar Basyir kembali tersenyum.
“Kalau Ranting harus mengeluarkan biaya besar tiap kali pengajian, bisa mati pengajian di Ranting. Padahal, itu penting sekali. Pengajian di Ranting itu salah satu nafas kehidupan Persyarikatan,” katanya.
28 Juni 1994, Kiai Azhar Basyir wafat pada usia 66 tahun setelah dirawat di RSUP dr. Sarjito, Yogyakarta karena mengalami radang usus, gula, komplikasi jantung. Dia Dimakamkan di pemakaman umum Karangkajen, Yogyakarta.
(muh)