Koalisi PKB-PKS Rapuh, Pengamat: Di Bawah seperti Minyak dengan Air
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ) dan Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) sepakat menggagas Koalisi Semut Merah (KSM). Namun koalisi ini dinilai rapuh mengingat basis massa kedua partai politik (parpol) berbeda, bahkan diibaratkan minyak dengan air yang sulit menyatu.
Analis Politik Voxpol Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengakui ada perbedaaan spektrum ideologis antara PKB dan PKS, kendati sama-sama berbasis massa Islam. Sementara PKB identik dengan NU dan massa Islam tradisional, PKS adalah Islam perkotaan. Karena itu bila koalisi ini serius ditindaklanjuti, tantangannya adalah perbedaan basis massa pendukungnya dan ceruk pemilih tersebut.
“Basis grassroot-nya, sama-sama partai Islam tapi berbeda, ceruk pemilihnya juga berbeda. NU tradisional kalau PKB, kalau PKS Islam perkotaan, ini tentu kadang-kadang sulit juga ketemu di grassroot. Walaupun elitenya menyatukan tapi di bawah bagaikan minyak dan air itu,” kata pria yang akrab disapa Ipang ini saat dihubungi, Selasa (14/6/2022).
Meskipun begitu, Ipang belum melihat koalisi PKB-PKS seserius yang dipikirkan orang. Menurut dia, sangat jarang koalisi politik dibentuk berdasarkan pertimbangan ideologis. Lebih seringnya adalah kepentingan pragmatis dan transaksional.
Dengan kata lain, lanjut Ipang, koalisi dibentuk dengan tujuan terpenting bisa memenangkan pemilu, memenangkan pilpres dan mendapat jatah menteri. Inilah yang membuat koalisi rapuh karena tidak ada ikatan di luar kepentingan transaksional.
Dia mencontohkan ketika PKB dan PKS bersama-sama mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004 dan 2009. Ujungnya pun rapuh. “Koalisi yang rapuh sih memang, grassroot belum tentu juga mengikuti yang diarahkan, diperintahkan elite-elite partai. Itu belum tentu. Mungkin saja ada masalah nanti,” ujar Ipang.
Dosen UIN Jakarta ini mengakui, parpol manapun bisa bertemu dan membentuk koalisi dalam perbedaan ideologi. Tetapi meskpun faktor ideologis disebut tidak relevan lagi, faktanya hubungan PKS dengan Demokrat belum cair sampai sekarang. Ada sekat ideologis yang masih mengganjal.
Sementara, kata dia, jika koalisi dibangun atas dasar transaksional, pragmatis dan populisme, maka koalisi itu mencari bagaimana caranya agar menang dan bagaimana berkuasa. Soal perbedaan basis massa dan ceruk pemilih akan dikesampingkan dan dipaksa cair. Apalagi, PKS ini nampak haus keinginan untuk menang dan berkuasa, sama halnya dengan PAN dan Partai Demokrat.
Analis Politik Voxpol Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengakui ada perbedaaan spektrum ideologis antara PKB dan PKS, kendati sama-sama berbasis massa Islam. Sementara PKB identik dengan NU dan massa Islam tradisional, PKS adalah Islam perkotaan. Karena itu bila koalisi ini serius ditindaklanjuti, tantangannya adalah perbedaan basis massa pendukungnya dan ceruk pemilih tersebut.
“Basis grassroot-nya, sama-sama partai Islam tapi berbeda, ceruk pemilihnya juga berbeda. NU tradisional kalau PKB, kalau PKS Islam perkotaan, ini tentu kadang-kadang sulit juga ketemu di grassroot. Walaupun elitenya menyatukan tapi di bawah bagaikan minyak dan air itu,” kata pria yang akrab disapa Ipang ini saat dihubungi, Selasa (14/6/2022).
Meskipun begitu, Ipang belum melihat koalisi PKB-PKS seserius yang dipikirkan orang. Menurut dia, sangat jarang koalisi politik dibentuk berdasarkan pertimbangan ideologis. Lebih seringnya adalah kepentingan pragmatis dan transaksional.
Dengan kata lain, lanjut Ipang, koalisi dibentuk dengan tujuan terpenting bisa memenangkan pemilu, memenangkan pilpres dan mendapat jatah menteri. Inilah yang membuat koalisi rapuh karena tidak ada ikatan di luar kepentingan transaksional.
Dia mencontohkan ketika PKB dan PKS bersama-sama mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004 dan 2009. Ujungnya pun rapuh. “Koalisi yang rapuh sih memang, grassroot belum tentu juga mengikuti yang diarahkan, diperintahkan elite-elite partai. Itu belum tentu. Mungkin saja ada masalah nanti,” ujar Ipang.
Dosen UIN Jakarta ini mengakui, parpol manapun bisa bertemu dan membentuk koalisi dalam perbedaan ideologi. Tetapi meskpun faktor ideologis disebut tidak relevan lagi, faktanya hubungan PKS dengan Demokrat belum cair sampai sekarang. Ada sekat ideologis yang masih mengganjal.
Sementara, kata dia, jika koalisi dibangun atas dasar transaksional, pragmatis dan populisme, maka koalisi itu mencari bagaimana caranya agar menang dan bagaimana berkuasa. Soal perbedaan basis massa dan ceruk pemilih akan dikesampingkan dan dipaksa cair. Apalagi, PKS ini nampak haus keinginan untuk menang dan berkuasa, sama halnya dengan PAN dan Partai Demokrat.