Mitigasi Perubahan Iklim, 'Now or Never'!
loading...
A
A
A
Farah Mulyasari
Dosen Komunikasi Universitas Pertamina, Pakar pada Bidang Komunikasi Risiko Bencana dan Penerimaan Sosial dalam Transformasi Sistem Energi
SELAMA manusia tinggal dan beraktivitas di planet Bumi, isu lingkungan dan perubahan iklim tidak ada habisnya untuk dibahas dan ditanggulangi. Upaya mitigasi perubahan iklim (Climate Change Mitigation) pun telahberlangsung cukup lama. Hal tersebut ditandai oleh beberapa milestones seperti, Bali Roadmap, Climate Paris Agreement, dan yang terbaru adalah COP26 di Glasgow.
Namun hal tersebut di atas nampaknya belum memberikan dampak yang signifikan bagi penanganan pemanasan global yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim. Akibatnya terjadi penumpukan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer seiring dengan peningkatan emisi karbon, kenaikan suhu bumi, peningkatan permukaan air laut, dan bencana alam sebagai dampak dari perubahan iklim (climate-related disaster).
Pada intinya, pemanasan global adalah tantangan kognitif dan perubahan perilaku. Dukungan publik diperlukan untuk segera mengambil tindakan untuk menurunkan pemanasan global.
Masyarakat dapat berperan aktif dengan mulai mengimplementasikan pengurangan emisi dan program kesiapsiagaan iklim serta mendorong kebijakan baru. Bahkan jika kebijakan iklim baru diberlakukan, dalam jangka pendek mereka tidak mungkin menstabilkan emisi. Hal tersebut dikarenakan periode peningkatan yang panjang dan banyak tantangan terkait dengan implementasi.
Hal ini sangat memprihatinkan mengingat bukti terbaru menunjukkan pemanasan global terjadi lebih cepat dari perkiraan semula. Karbon dioksida dan emisi gas penangkap panas lainnya harus dikurangi secara dramatis sesegera mungkin.
Untuk mengatasi pemanasan global harus ada perubahan dalam pemikiran dan perilaku yang memotivasi orang dan organisasi untuk terlibat dalam pengurangan emisi dan kegiatan kesiapsiagaan iklim serta mendukung kebijakan baru.
Banyak bukti menunjukkan bahwa perubahan ini tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi juga merupakan bagian penting dari strategi nasional. Bahkan tindakan sederhana yang dilakukan di tingkat rumah tangga dan organisasi dapat dengan cepat dan signifikan mengurangi emisi karbon.
Para pemimpin dunia di semua tingkat pemerintahan, sektor swasta, organisasi nirlaba, dan masyarakat harus menyadari dan memanfaatkan dasar-dasar komunikasi iklim yang efektif, penjangkauan, dan mekanisme perubahan perilaku.
Kita tidak dapat membiarkan karbon dioksida dan gas penangkap panas lainnya menumpuk di atmosfer.
Bagaimana kita bisa mengatasi masalah yang tidak dapat kita lihat, sentuh, atau rasakan, namun berisiko besar bagi kehidupan di Bumi seperti yang kita ketahui?
Berurusan dengan risiko adalah sesuatu yang dilakukan orang sepanjang waktu. Persepsi orang tentang risiko tidak hanya didasarkan pada data faktual tetapi pada nilai dan pandangan dunia mereka. Akibatnya, cara-cara di mana risiko dibingkai dan bagaimana orang-orang di dalam jaringan sosial kita menanggapi bingkai tersebut sangat memengaruhi keputusan untuk bertindak.
Ketika berbicara tentang pemanasan global, pembingkaian membutuhkan pemikiran ulang yang mendasar tentang bagaimana kita hidup dan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung gaya hidup tersebut. Ini bukan tugas yang mudah. Mengatasi pemanasan global memerlukan perubahan keyakinan, asumsi, dan pemikiran tentang lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan.
Berbicara tentang kesejahteraan, masyarakat Indonesia yang tinggal di planet Bumi bersama tujuh miliar penduduk Bumi lainnya, tidak memandang perubahan iklim dan pemanasan global akibat dari ulah manusia.
Perusahaan data analitik berbasis di Inggris, YouGov, menyurvei 23 negara di dunia, termasuk Indonesia, mengenai negara yang memperhatikan perubahan iklim. Hasil dari survei tersebut menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pemanasan global dipicu oleh ulah/tindakan/aktivitas manusia. Rendahnya literasi ilmu pengetahuan atau sains masyarakat Indonesia ditengarai menjadi minimnya kesadaran masyarakat terhadap kerusakan lingkungan.
Menurut Pike, dkk. (2010) untuk mengubah keyakinan, asumsi, dan pemikiran terkait lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan kita, sejumlah kesalahan umum pandangan harus diatasi;
(1) Kebanyakan orang mencari bukti yang menegaskan keyakinan yang ada dan cenderung menolak informasi yang kontradiktif (Confirmed-Bias),
(2) mudah untuk mengasumsikan masa depan akan serupa dengan masa lalu, sehingga sulit untuk mengidentifikasi kesalahan dan mengubah perilaku ketika kondisi berubah (Misplaced-Confidence),
(3) kita cenderung percaya hasil yang menguntungkan lebih mungkin terjadi daripada yang tidak diinginkan (Wishful Thinking),
(4) banyak yang memilih untuk bergaul hanya dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama (Belief Polarization).
Kita perlu mengevaluasi kembali beberapa pandangan terhadap dunia yang kita tinggali. Mayoritas dari kita mungkin menerima bahwa pemanasan global sedang terjadi, namun sebagian besar masyarakat justru semakin pasrah, terlebih ketidakmampuan dalam mengatasi pemanasan global. Bahkan orang-orang yang sudah peduli pun mengalami kesulitan.
Peran publik dalam menciptakan perubahan harus dibingkai ulang. Upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan dukungan publik. Keterlibatan publik yang sukses dalam pemanasan global membutuhkan dukungan bersama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, terutama bagi lingkungan.
Bagaimana perubahan dalam pemikiran dan perilaku terjadi? Apa yang diperlukan individu, organisasi, atau masyarakat untuk mengubah praktik mereka?
Terkadang emosi kerap digunakan untuk mengubah perilaku, seperti rasa bersalah, ketakutan, dan rasa malu. Sebagai contoh, menggaungkan pesan mengenai keterbatasan air di sejumlah daerah, hingga perubahan suhu ekstrem yang melanda sejumlah daerah.
Jika taktik ini tidak sukses, apa yang berhasil?Perilaku dibentuk oleh keyakinan dan nilai yang dipegang teguh tentang bagaimana dunia bekerja dan tempat kita di dalamnya. Banyak orang percaya bahwa alam memiliki kapasitas tak terbatas untuk menyediakan sumber daya bagi manusia dan juga kapasitas tak terbatas untuk menyerap limbah. Akibatnya dalam budaya kita menganut model Ambil-Buat-Sampah (Take-Make-Waste Model).
Orang yang menganut pandangan di atas secara otomatis merespons informasi yang tampak kontradiktif dengan mengabaikan, menyangkal, atau menantangnya. Mereka juga terus melakukan kebiasaan menghasilkan emisi, bahkan jika hal tersebut dapat merusak diri sendiri.
Untuk membantu individu, organisasi, dan masyarakat menantang pikiran dan perilaku otomatis mereka, outreach strategic harus memasukkan tiga elemen dasar perubahan. Dari berhenti merokok hingga mempromosikan perusahaan keberlanjutan. Program perubahan perilaku yang sukses menggambarkan bahwa harus ada tekanan, efikasi, dan manfaat yang cukup untuk membuat perubahan yang berarti (Pike dkk, 2010).
Merujuk kepada kisi-kisi di atas, masihkah kita bisa berdiam diri dan berasumsi bahwa bumi dan lingkungan sekitar baik-baik saja?
Sebagai institusi pendidikan yang berfokus dan peduli akan energi dan lingkungan, Universitas Pertamina mengajarkan kepada mahasiswanya untuk sadar, tahu, dan mampu menyusun outreach strategies dalam pengurangan pemanasan global dan mitigasi Perubahan Iklim yang nyata dan berdampak dalam mata kuliah Climate Change and Environmental Communication.
Upaya lainnya adalah pada ranah penelitian dan kontribusi kepada kemaslahatan masyarakat melalui proyek Carbon Capture Utilization and Storage/CCUS (Tangkap Simpan dan Penggunaan Karbon). Proyek tersebut akan dilaksanakan dalam waktu dekat di Indonesia sebagai yang pertama di Kawasan Asia Tenggara.
Keterlibatan Universitas Pertamina dalam studi social science for energy transition adalah dengan mengamati bagaimana penglibatan publik ditelaah dan dilibatkan untuk mendapatkan kebermanfaatan yang luas dan dapat menghasilkan nilai bersama (creating shared value) dari proyek CCUS.
Last but not least, kontribusi nyata lainnya dari Universitas Pertamina adalah menjadi bagian dari Tim Penyusun Regulasi KESDM Republik Indonesia mengenai Pelaksanaan CCS/CCUS di Indonesia yang diberlakukan pada Mei 2022 dan ditunggu-tunggu oleh pihak internasional sebagai pelopor kebijakan.
Terlepas dari upaya mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim, perlu juga diperhatikan ketika membahas tentang pemanasan global, sering ada perdebatan di antara para pemimpin iklim.
Hal yang mereka perdebatkan antara lain; apakah harus berfokus pada pengesahan dan adopsi kebijakan iklim, atau pada perubahan perilaku individu.
Mengingat kreativitas, inovasi, dan tekad yang diperlukan untuk memitigasi dan beradaptasi dengan dampak iklim, kedua pendekatan tersebut sangat ideal dan perlu. Keduanya akan terintegrasi secara strategis dan bekerja sama untuk membantu transisi menuju ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan.
Pike, dkk. (2010) menyarankan, daripada memiliki daftar lima puluh hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi pemanasan global, publik ingin mengetahui tentang dua atau tiga tindakan, yang jika dilakukan secara teratur, akan memiliki dampak terbesar.
Jika para pemimpin iklim dapat memberikan arahan tentang tindakan apa yang dapat dilakukan, menggambarkan bagaimana mengambil tindakan tersebut sesuai dengan gambaran yang lebih besar, dan memberikan umpan balik secara teratur mengenai kemajuan yang dibuat, publik kemungkinan besar tidak hanya akan mengurangi karbon tetapi juga mendukung kebijakan dengan melakukan hal yang sama.
Mungkin yang lebih penting, mengingat sifat jangka panjang dari masalah ini, terlibat dalam perubahan perilaku individu membantu membangun jenis nilai sosial yang mendasari pengambilan keputusan yang berkelanjutan akan dapat menghasilkan dukungan untuk penegakan kebijakan iklim yang lebih baik, adil, dan bermanfaat.
Planet Bumi sebagai tempat tinggal kita hanya ada satu, yang harus dipelihara dan dijaga dengan baik. We do our part, when is yours?
Baca Juga: koran-sindo.com
Dosen Komunikasi Universitas Pertamina, Pakar pada Bidang Komunikasi Risiko Bencana dan Penerimaan Sosial dalam Transformasi Sistem Energi
SELAMA manusia tinggal dan beraktivitas di planet Bumi, isu lingkungan dan perubahan iklim tidak ada habisnya untuk dibahas dan ditanggulangi. Upaya mitigasi perubahan iklim (Climate Change Mitigation) pun telahberlangsung cukup lama. Hal tersebut ditandai oleh beberapa milestones seperti, Bali Roadmap, Climate Paris Agreement, dan yang terbaru adalah COP26 di Glasgow.
Namun hal tersebut di atas nampaknya belum memberikan dampak yang signifikan bagi penanganan pemanasan global yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim. Akibatnya terjadi penumpukan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer seiring dengan peningkatan emisi karbon, kenaikan suhu bumi, peningkatan permukaan air laut, dan bencana alam sebagai dampak dari perubahan iklim (climate-related disaster).
Pada intinya, pemanasan global adalah tantangan kognitif dan perubahan perilaku. Dukungan publik diperlukan untuk segera mengambil tindakan untuk menurunkan pemanasan global.
Masyarakat dapat berperan aktif dengan mulai mengimplementasikan pengurangan emisi dan program kesiapsiagaan iklim serta mendorong kebijakan baru. Bahkan jika kebijakan iklim baru diberlakukan, dalam jangka pendek mereka tidak mungkin menstabilkan emisi. Hal tersebut dikarenakan periode peningkatan yang panjang dan banyak tantangan terkait dengan implementasi.
Hal ini sangat memprihatinkan mengingat bukti terbaru menunjukkan pemanasan global terjadi lebih cepat dari perkiraan semula. Karbon dioksida dan emisi gas penangkap panas lainnya harus dikurangi secara dramatis sesegera mungkin.
Untuk mengatasi pemanasan global harus ada perubahan dalam pemikiran dan perilaku yang memotivasi orang dan organisasi untuk terlibat dalam pengurangan emisi dan kegiatan kesiapsiagaan iklim serta mendukung kebijakan baru.
Banyak bukti menunjukkan bahwa perubahan ini tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi juga merupakan bagian penting dari strategi nasional. Bahkan tindakan sederhana yang dilakukan di tingkat rumah tangga dan organisasi dapat dengan cepat dan signifikan mengurangi emisi karbon.
Para pemimpin dunia di semua tingkat pemerintahan, sektor swasta, organisasi nirlaba, dan masyarakat harus menyadari dan memanfaatkan dasar-dasar komunikasi iklim yang efektif, penjangkauan, dan mekanisme perubahan perilaku.
Kita tidak dapat membiarkan karbon dioksida dan gas penangkap panas lainnya menumpuk di atmosfer.
Bagaimana kita bisa mengatasi masalah yang tidak dapat kita lihat, sentuh, atau rasakan, namun berisiko besar bagi kehidupan di Bumi seperti yang kita ketahui?
Berurusan dengan risiko adalah sesuatu yang dilakukan orang sepanjang waktu. Persepsi orang tentang risiko tidak hanya didasarkan pada data faktual tetapi pada nilai dan pandangan dunia mereka. Akibatnya, cara-cara di mana risiko dibingkai dan bagaimana orang-orang di dalam jaringan sosial kita menanggapi bingkai tersebut sangat memengaruhi keputusan untuk bertindak.
Ketika berbicara tentang pemanasan global, pembingkaian membutuhkan pemikiran ulang yang mendasar tentang bagaimana kita hidup dan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung gaya hidup tersebut. Ini bukan tugas yang mudah. Mengatasi pemanasan global memerlukan perubahan keyakinan, asumsi, dan pemikiran tentang lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan.
Berbicara tentang kesejahteraan, masyarakat Indonesia yang tinggal di planet Bumi bersama tujuh miliar penduduk Bumi lainnya, tidak memandang perubahan iklim dan pemanasan global akibat dari ulah manusia.
Perusahaan data analitik berbasis di Inggris, YouGov, menyurvei 23 negara di dunia, termasuk Indonesia, mengenai negara yang memperhatikan perubahan iklim. Hasil dari survei tersebut menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pemanasan global dipicu oleh ulah/tindakan/aktivitas manusia. Rendahnya literasi ilmu pengetahuan atau sains masyarakat Indonesia ditengarai menjadi minimnya kesadaran masyarakat terhadap kerusakan lingkungan.
Menurut Pike, dkk. (2010) untuk mengubah keyakinan, asumsi, dan pemikiran terkait lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan kita, sejumlah kesalahan umum pandangan harus diatasi;
(1) Kebanyakan orang mencari bukti yang menegaskan keyakinan yang ada dan cenderung menolak informasi yang kontradiktif (Confirmed-Bias),
(2) mudah untuk mengasumsikan masa depan akan serupa dengan masa lalu, sehingga sulit untuk mengidentifikasi kesalahan dan mengubah perilaku ketika kondisi berubah (Misplaced-Confidence),
(3) kita cenderung percaya hasil yang menguntungkan lebih mungkin terjadi daripada yang tidak diinginkan (Wishful Thinking),
(4) banyak yang memilih untuk bergaul hanya dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama (Belief Polarization).
Kita perlu mengevaluasi kembali beberapa pandangan terhadap dunia yang kita tinggali. Mayoritas dari kita mungkin menerima bahwa pemanasan global sedang terjadi, namun sebagian besar masyarakat justru semakin pasrah, terlebih ketidakmampuan dalam mengatasi pemanasan global. Bahkan orang-orang yang sudah peduli pun mengalami kesulitan.
Peran publik dalam menciptakan perubahan harus dibingkai ulang. Upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan dukungan publik. Keterlibatan publik yang sukses dalam pemanasan global membutuhkan dukungan bersama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, terutama bagi lingkungan.
Bagaimana perubahan dalam pemikiran dan perilaku terjadi? Apa yang diperlukan individu, organisasi, atau masyarakat untuk mengubah praktik mereka?
Terkadang emosi kerap digunakan untuk mengubah perilaku, seperti rasa bersalah, ketakutan, dan rasa malu. Sebagai contoh, menggaungkan pesan mengenai keterbatasan air di sejumlah daerah, hingga perubahan suhu ekstrem yang melanda sejumlah daerah.
Jika taktik ini tidak sukses, apa yang berhasil?Perilaku dibentuk oleh keyakinan dan nilai yang dipegang teguh tentang bagaimana dunia bekerja dan tempat kita di dalamnya. Banyak orang percaya bahwa alam memiliki kapasitas tak terbatas untuk menyediakan sumber daya bagi manusia dan juga kapasitas tak terbatas untuk menyerap limbah. Akibatnya dalam budaya kita menganut model Ambil-Buat-Sampah (Take-Make-Waste Model).
Orang yang menganut pandangan di atas secara otomatis merespons informasi yang tampak kontradiktif dengan mengabaikan, menyangkal, atau menantangnya. Mereka juga terus melakukan kebiasaan menghasilkan emisi, bahkan jika hal tersebut dapat merusak diri sendiri.
Untuk membantu individu, organisasi, dan masyarakat menantang pikiran dan perilaku otomatis mereka, outreach strategic harus memasukkan tiga elemen dasar perubahan. Dari berhenti merokok hingga mempromosikan perusahaan keberlanjutan. Program perubahan perilaku yang sukses menggambarkan bahwa harus ada tekanan, efikasi, dan manfaat yang cukup untuk membuat perubahan yang berarti (Pike dkk, 2010).
Merujuk kepada kisi-kisi di atas, masihkah kita bisa berdiam diri dan berasumsi bahwa bumi dan lingkungan sekitar baik-baik saja?
Sebagai institusi pendidikan yang berfokus dan peduli akan energi dan lingkungan, Universitas Pertamina mengajarkan kepada mahasiswanya untuk sadar, tahu, dan mampu menyusun outreach strategies dalam pengurangan pemanasan global dan mitigasi Perubahan Iklim yang nyata dan berdampak dalam mata kuliah Climate Change and Environmental Communication.
Upaya lainnya adalah pada ranah penelitian dan kontribusi kepada kemaslahatan masyarakat melalui proyek Carbon Capture Utilization and Storage/CCUS (Tangkap Simpan dan Penggunaan Karbon). Proyek tersebut akan dilaksanakan dalam waktu dekat di Indonesia sebagai yang pertama di Kawasan Asia Tenggara.
Keterlibatan Universitas Pertamina dalam studi social science for energy transition adalah dengan mengamati bagaimana penglibatan publik ditelaah dan dilibatkan untuk mendapatkan kebermanfaatan yang luas dan dapat menghasilkan nilai bersama (creating shared value) dari proyek CCUS.
Last but not least, kontribusi nyata lainnya dari Universitas Pertamina adalah menjadi bagian dari Tim Penyusun Regulasi KESDM Republik Indonesia mengenai Pelaksanaan CCS/CCUS di Indonesia yang diberlakukan pada Mei 2022 dan ditunggu-tunggu oleh pihak internasional sebagai pelopor kebijakan.
Terlepas dari upaya mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim, perlu juga diperhatikan ketika membahas tentang pemanasan global, sering ada perdebatan di antara para pemimpin iklim.
Hal yang mereka perdebatkan antara lain; apakah harus berfokus pada pengesahan dan adopsi kebijakan iklim, atau pada perubahan perilaku individu.
Mengingat kreativitas, inovasi, dan tekad yang diperlukan untuk memitigasi dan beradaptasi dengan dampak iklim, kedua pendekatan tersebut sangat ideal dan perlu. Keduanya akan terintegrasi secara strategis dan bekerja sama untuk membantu transisi menuju ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan.
Pike, dkk. (2010) menyarankan, daripada memiliki daftar lima puluh hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi pemanasan global, publik ingin mengetahui tentang dua atau tiga tindakan, yang jika dilakukan secara teratur, akan memiliki dampak terbesar.
Jika para pemimpin iklim dapat memberikan arahan tentang tindakan apa yang dapat dilakukan, menggambarkan bagaimana mengambil tindakan tersebut sesuai dengan gambaran yang lebih besar, dan memberikan umpan balik secara teratur mengenai kemajuan yang dibuat, publik kemungkinan besar tidak hanya akan mengurangi karbon tetapi juga mendukung kebijakan dengan melakukan hal yang sama.
Mungkin yang lebih penting, mengingat sifat jangka panjang dari masalah ini, terlibat dalam perubahan perilaku individu membantu membangun jenis nilai sosial yang mendasari pengambilan keputusan yang berkelanjutan akan dapat menghasilkan dukungan untuk penegakan kebijakan iklim yang lebih baik, adil, dan bermanfaat.
Planet Bumi sebagai tempat tinggal kita hanya ada satu, yang harus dipelihara dan dijaga dengan baik. We do our part, when is yours?
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)